Ardha Candra Kirana.
Nama itu terdengar sangat istimewa di telinga Yasa. Berapa kali pun ia mengucapkannya, keistimewaan itu tak juga hilang.
Karena itu nama puterinya.
Mona yang mengatakannya pada Yasa saat mereka berbicara di telepon tadi.
Ardha Candra Kirana Wijaya
Mungkin itu akan menjadi nama puterinnya jika ia terlahir di tengah pernikahan mereka yang bahagia. Sayangnya, itu cuma angan semata. Mona tentu tak akan mau repot-repot menambahkan nama belakang mantan suaminya. Terlebih jika mengingat bagaimana sikapnya pada pertemuan terakhir mereka di gedung pengadilan agama. Sekarang, Yasa hanya bisa merasa bersyukur karena Mona tak sebenci itu padanya dengan menambahkan nama belakang suami keduanya.
Tapi apa pun nama puterinya, gadis kecil itu lebih suka menyebut dirinya sendiri sebagai Ada. Besok Yasa akan bertemu dengan Ada.
Sungguh ia kesulitan tidur malam ini. Selain cemas karena akan bertemu puterinya secara langsung untuk pertama kali, ia juga merasa berkecil hati tiap kali mengingat kejadian beberapa jam yang lalu.
Ia dan Mona sudah berbicara dengan Mama sebelum sang Ibu keluar dari rumah sakit tadi sore. Mereka sengaja melakukannya di rumah sakit agar jika–amit-amit--terjadi apa-apa, pertolongan dokter bisa dengan mudah didapat.
Mama menyaksikan kedatangan mereka berdua ke kamar rawatnya dengan mata berbinar. Ada mimpi di balik binar mata itu. Melihat dirinya dan Mona rujuk adalah keinginan terpendam sang Ibu meski mereka berdua tahu hal itu tak akan terjadi. Yasa tentu tak sudi melakukan hal bodoh dengan menjadi perebut istri orang.
Kening ibunya sedikit berkerut melihat putera dan mantan menantunya bersikap canggung dengannya. Namun ia masih diam, menantikan salah satu dari mereka berdua bicara.
"Kami mau bicara dengan Mama." Mona membuka pembicaraan.
Ibunya tetap diam menunggu.
"Mona punya anak, Ma..."
Ibunya mengangguk. Ia sudah tahu fakta ini sebelumnya.
"Itu anakku, Ma." Yasa akhirnya turut membuka mulut. Dilihatnya sang Ibu menahan nafas saking terkejutnya.
"Mona sudah hamil beberapa minggu sebelum perceraian kami terjadi." Mona melanjutkan dengan takut-takut. Khawatir jika kabar mengejutkan yang dibawanya ini akan memperburuk kesehatan Mama Naina. "Maaf karena Mona tidak memberi tahu Mama."
Mama masih tetap diam. Mereka berdua begitu khawatir kalau diamnya sang Ibu karena kenapa-kenapa. Apakah ini gagasan yang buruk? Haruskah mereka membiarkan saja agar Mama dan Ada tak perlu saling mengenal?
"Kamu...kamu tahu?" Mama bertanya lirih pada Yasa.
Ia mengangguk.
Tiba-tiba terdengar tangis pilu dari wanita tua itu. Isakan yang terdengar begitu memilukan sukma. Mona beranjak dari duduknya dan memeluk mantan mertuanya. Kembali mereka bertangis-tangisan berdua.
Hati Yasa mencelus.
Lagi, dua wanita yang ia cintai menangis. Dan penyebabnya masih tetap dirinya.
"Maafkan Mona, Ma. Maaf..."
Mama menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mencoba melepaskan diri dari pelukan Mona.
"Tega kamu, Yasa." Mama Naina menunjuk-nunjuk puteranya. "Bisa-bisanya kamu enggak kasih tahu Mama kalau Mama punya cucu. Bisa-bisanya kamu tetap menceraikan Mona padahal kamu tahu dia hamil. Apa yang ada dalam pikiran kamu? Bisa kamu membuang semuanya demi perempuan itu?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
(Tak) Hilang
ChickLitMona, seorang kurator museum di usia awal tiga puluhan, harus berhadapan dengan dua hal saling kontradiktif di waktu bersamaan: 1. Koleksi yang ia harapkan tetap terpajang manis di ruang pamer, hilang secara misterius semalam. 2. Seseorang dari masa...