Jadi ini yang namanya nano-nano?
Yasa sungguh tak tahu bagaimana perasaannya, senang atau sedih. Awalnya ia merasa senang karena bisa bertemu Ada secara langsung, meski Mona berkata gadis itu masih belum mau mengakui orang lain sebagai ayahnya. Adakah yang lebih menyakitkan daripada dianggap sebagai 'orang lain' oleh anak sendiri? Tapi tak apa. Yasa sedang menikmati buah dari dosa-dosanya, kan?
Puterinya itu terlihat luar biasa menggemaskan dengan rambut yang dikuncir kuda dan pipi merah jambu. Ia juga pintar sekali bicara. Melihat itu, Yasa sungguh bahagia.
Lalu ia kembali merasa sedih setelah kehadirannya ditolak secara terang-terangan.
"Tapi Ada ga mau, Om. Ada udah punya Papa."
Mungkin Mona memang benar. Ia bukan seorang ayah, cuma seorang penyumbang sperma.
Setelah sempat berkecil hati, Yasa merasa senang lagi. Siapa yang bisa menyangka? Orang itu, orang yang tak pernah ia kenal tapi selalu dianggapnya saingan itu, ternyata sudah tak ada lagi di dunia ini!
Yasa pasti benar-benar seorang pendosa karena merasa senang dengan kematian seseorang. Namun ia tak dapat menahan euforia itu.
Apakah itu tidak manusiawi?
Tapi Yasa tak mampu membendung perasaan senang ini. Karena itu artinya Mona sekarang janda, sama seperti dirinya yang duda. Duda dan janda bertemu. Alangkah indahnya. Ini seperti takdir yang sudah dipersiapkan Tuhan.
Tapi puteri mereka akan menjadi penghalang yang tidak mudah. Yasa tak hanya harus berjuang menaklukkan hati sang Ibu, tapi juga harus berusaha keras mendekati sang puteri. Mungkin dirinyalah satu-satunya ayah kandung yang harus melakukan pendekatan bak calon ayah tiri saat ingin merebut hati ibu dari anak kandungnya sendiri.
Mungkin ia memang kena karma...
Tapi terserahlah. Bagaimanapun sulitnya, Yasa sudah bertekad. Miliknya yang sudah hilang, harus kembali padanya bagaimanapun caranya.
*
Oh ya ampun Mona merasa malu sekali.
Bisa-bisanya puterinya mengira kalau 'Om' Yasa ingin menjadi ayah tirinya. Tentu saja hal itu tidak mungkin. Selain karena lelaki itu ayah kandung puterinya, Mona juga cukup yakin tak akan ada hubungan selain mantan antara ia dan Yasa.
Setelah Ada menangis, Mona menggendongnya hingga tertidur. Mama Naina menawarinya membaringkan Ada di kamar Yasa, kamar yang sering ditempatinya dulu. Mona enggan tentu saja. Terlalu banyak kenangan di kamar itu. Kenangan yang tak ingin Mona ingat lagi.
Lalu Mbok Asih menawarkan salah satu kamar kosong di lantai dua. Awalnya Mona ingin langsung menerima dengan senang hati namun Mama melarang karena kamar itu terlalu jauh. Bisa-bisa mereka tak akan mendengar kalau Ada memanggil-manggil saat anak itu bangun nanti.
Akhirnya Ada tetap dibaringkan di kamar ayahnya sementara lelaki itu dipaksa Mama Naina keluar rumah.
"Kenapa, Ma? Aku bahkan udah tukar libur sama Bang Saur supaya bisa seharian di rumah."
"Karena Mama mau ngobrol dengan Mona dan Mona pasti ga akan nyaman bicara kalau ada kamu di sini." Mama Naina menjawab apa adanya.
Yasa bersungut-sungut tetapi ia juga mengerti. Mama pasti sama penasaran seperti dirinya mengenai kehidupan Mona enam tahun terakhir. Terutama tentang almarhum suaminya. Jika ingin sukses dalam mendekati Mona dan Ada, ia butuh semua informasi apa pun. Mama pasti akan menjadi sumber informasi yang sangat berguna.
Meski berat hati, Yasa masuk ke kamarnya untuk berganti baju. Di sana ia melihat sang puteri tertidur di atas ranjang yang biasa ia tiduri. Seketika hatinya menghangat. Dengan berjingkat-jingkat, Yasa berjalan mendekati tempat tidur lalu mencium wajah puterinya. Ini pertama kalinya ia bisa menyentuh anaknya sendiri. Rasa haru itu kembali. Diciumnya sang puteri sekali lagi sebelum berganti baju dan keluar.
*
Kedua wanita itu memperhatikan kepergian Yasa dengan wajah yang biasa-biasa saja. Setelah menjawab kata-kata pamit lelaki itu, mereka berdua masih diam. Hening yang tidak biasa. Bersama Mama Naina biasanya tidak pernah sepi. Wanita itu bisa berbicara apa saja dan Mona akan dengan senang hati menimpali. Tapi kali ini...
Kediaman itu dipecahkan dengan suara denting porselen beradu kaca saat Mbok Asih meletakkan cangkir teh baru di atas meja. Kompak, kedua wanita itu mengambil cangkir dan meneguk isinya bersamaan. Mereka juga meletakkan cangkir itu di atas tatakannya dalam jeda waktu yang tak jauh berbeda.
"Jadi..." Akhirnya Mama Naina memutuskan menjadi yang pertama kali bersuara. "Papanya Ada...meninggalnya kapan?"
Mona sadar, mantan mertuanya itu pasti sangat penasaran. Pertanyaan-pertanyaan tentang hidupnya selama enam tahun ini, mau tak mau akan ditanyakan. Mona tak bisa bilang kalau ia suka dengan situasi ini. Itulah sebabnya ia tak menceritakan kematian Aditya.
Jika keluarga mantan suaminya mengira Mona masih bersuami, jarak di antara mereka pasti akan tetap ada. Mama Naina dan lelaki itu pasti akan merasa segan jika berupaya masuk lagi ke dalam hidupnya. Namun karena kini kedoknya sudah dibongkar oleh puterinya sendiri, Mona tak punya pilihan lain selain menjawab pertanyaan-pertanyaan penuh rasa penasaran itu.
Mona tentu tak akan melabeli Mama Naina sebagai perempuan tua yang suka kepo dan ghibah. Mama Naina sangat jauh dari semua penggambaran itu. Mantan mertuanya bersikap seperti ini hanya karena berkaitan dengan Mona dan cucunya.
"Sekitar setahun yang lalu, Ma..."
"Kalian sudah lama menikah?"
"Waktu usia Ada sekitar lima bulan."
Mama Naina menghela nafasnya. Pantas saja cucunya itu sangat menyayangi almarhum Papanya. Lelaki itu sudah menyayangi dan merawat cucunya sejak ia lahir. Hatinya sungguh sakit membayangkan orang lain mengisi posisi puteranya. Tapi mengingat semua itu akibat ulah puteranya sendiri, ia tak bisa bilang apa-apa.
"Dia pasti sangat mencintai kamu..."
Mona hanya menggumam, tak ingin membenarkan ataupun menyangkal pernyataan mantan mertuanya. Semua orang pasti akan beranggapan seperti itu. Apalagi yang bisa membuat seorang lelaki lajang dan mapan berkeras menikahi seorang janda yang baru saja melahirkan beberapa bulan sebelumnya? Keputusan itu pasti melibatkan rasa cinta yang sangat besar. Tapi bagaimanapun pernikahannya dan Aditya, biarlah itu menjadi rahasia mereka berdua saja. Mona bersiteguh akan membawanya hingga ke liang kubur.
"Mama sangat bersyukur kamu bertemu orang seperti Aditya. Saat itu pasti berat sekali untuk kamu..." Lagi-lagi Mama Naina ingin mengutuk tingkah puteranya.
Mona mengangguk karena semua itu memang benar. Awal-awal kelahiran Ada adalah saat yang sangat berat untuk Mona, dan Aditya sangat membantu meringankan bebannya. Itu juga yang membuatnya menyetujui pernikahan. Pernikahan mereka jelas bukan pernikahan karena cinta, hanya marriage of convenience. Tapi Mona sudah pernah melakukannya sekali. Kenapa tidak melakukannya sekali lagi?
Seperti itulah pemikirannya saat memutuskan untuk bersikap egois demi dirinya dan puterinya. Mona bahkan mengacuhkan ketidaksetujuan keluarga pria itu.
"Mona..." Tiba-tiba tangannya sudah berada di dalam genggaman Mama Naina. "Mama tahu anak Mama itu memang bodoh. Tapi...tapi boleh kan kalau kami berdua masih bisa terlibat dalam hidup Ada?"
Tanpa ragu, Mona mengangguk. Kali ini ia tak akan egois lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Tak) Hilang
ChickLitMona, seorang kurator museum di usia awal tiga puluhan, harus berhadapan dengan dua hal saling kontradiktif di waktu bersamaan: 1. Koleksi yang ia harapkan tetap terpajang manis di ruang pamer, hilang secara misterius semalam. 2. Seseorang dari masa...