Koleksi 23

189 16 1
                                    


Bang Daus terlihat mengkeret di dalam ruangannya sendiri padahal biasanya lelaki itu bersikap seperti raja tanpa rakyat yang memerintah kerajaan laboratorium konservasi dengan tangan besi. Ia semakin gugup setelah tamunya pergi beberapa menit yang lalu, meninggalkan dirinya hanya berdua dengan Mona.

"Eh ini dia yang diomongin udah dateng..." Hanya begitu tanggapan Krisna ketika mereka berdua menyadari kehadiran Mona.

Mona memberi lelaki itu tatapan membunuh.

"Oke deh kalo gitu..." Dengan santai Krisna bangkit dari duduknya. "Gue pergi dulu, Bro..." Ia menepuk bahu Bang Daus dengan akrab sebelum beranjak dari ruangan yang auranya tiba-tiba berubah aneh itu.

Seharusnya Mona menahan kepergian lelaki itu sebelum ia mendapatkan penjelasan. Apa maksudnya mengatai Mona mata duitan, pakai menyebut-nyebut keluarga mertuanya matre pula. Walaupun itu memang kenyataan, tapi Mona tak suka masalah pribadinya menjadi konsumsi publik seperti ini. Tapi Mona membiarkan Krisna melenggang bebas. Ia jijik dengan lelaki itu. Toh ia punya pilihan. Ada orang lain yang bisa ditanyainya tentang maksud pembicaraan tadi.

Ekspresi Bang Daus bertambah ngeri. Di matanya Mona terlihat seperti Medusa tanpa rambut ular. Wanita itu memang cuma diam sambil menyilangkan tangan di depan dada, tapi tatapannya begitu mematikan hingga seakan bisa mengubah siapa pun menjadi batu. Atau menjadi sesuatu yang lebih mengerikan lagi. Menjadi konservator yang sebentar lagi tak akan menjabat konservator lagi, misalnya.

"Lo...ehem..." Lelaki itu akhirnya menemukan suaranya lagi. Tapi suaranya masih terdengar seret jadi ia harus berdeham dulu, "...lo mau ambil koleksi ya, Mon?"

Bang Daus mencoba memainkan peran pura-pura tak ada apa pun yang terjadi.

"Iya..."

Jawaban Mona itu memberi Bang Daus ekspresi lega.

"...tapi ada hal lain yang lebih penting."

Mona lantas duduk di kursi di depan Bang Daus untuk memaksanya bercerita. Si tersangka malah kesulitan menjawab sementara tubuhnya berkhianat dengan memproduksi lebih banyak keringat dingin.

*

Jika biasanya Mona memilih mengambil jalur paling dekat manakala hendak menuju storage koleksi, maka kali ini ia mengambil jalan memutar yang lebih sepi. Ia sedang tak ingin bertemu manusia mana pun. Apalagi manusia yang ia tahu persis sedang menjadikannya objek fitnah.

Fitnah.

Mona pikir tak berlebihan jika merasa dirinya sedang difitnah.

Satu-satunya manusia yang ditemui Mona dalam perjalanan singkat itu adalah salah satu security yang kebetulan sedang melakukan kontrol di area seputar storage. Mereka hanya saling melempar senyum, tapi Mona yakin dalam hatinya, security itu sedang berpikir yang tidak-tidak mengenai dirinya.

Ya ampun, ia jadi paranoid sekarang.

Mona meraih kartu aksesnya dan mencoba membuka pintu. Suara bip pelan menandakan kalau pintu besi nan berat itu telah terbuka. Saat ini nama 'Ramona Tara Laksmi-Kepala Kurator' pasti telah tercatat di log sebagai orang yang memasuki storage pada jam ini. Jika ada kasus kehilangan koleksi pada saat ini atau beberapa jam setelahnya maka ia pasti akan...

Oh stop it, Mona!

Suara pintu tertutup menjadi musik yang menyambut Mona setelah ia melangkahkan kaki ke dalam. Lampu-lampu menyala otomatis, menjadikan ruangan tersebut terang-benderang. Dengung mesin pendingin yang terus menyala selama dua puluh empat jam setiap harinya menjadikan ruangan tersebut luar biasa dingin.

(Tak) HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang