Koleksi 10

277 27 1
                                    


"Apa kabar, Bunda?"

Mona selalu bingung jika berhadapan dengan Bundanya Adit. Haruskah ia masih menganggapnya sebagai mertua? Atau sekarang mereka sudah menjadi mantan mertua dan menantu seperti dirinya dan Mama Naina?

"Baik." Wanita berusia enam puluhan yang masih terlihat bugar itu hanya menjawab dingin.

Mona menghela nafas. Dua kali ia memiliki ibu mertua, tetapi sikap keduanya sungguh bertolak belakang. Namun Mona tak bisa sepenuhnya menyalahkan Bunda. Ibu mana yang mau terima jika anak lajangnya yang tampan dan mapan malah mendapat jodoh seorang janda beranak satu. Dan yang lebih menggelikan lagi, anak itu baru berumur beberapa bulan saat pernikahan terjadi. Akibatnya keluarga mereka jadi sasaran gosip karena orang-orang mengira Aditya menghamili wanita di luar pernikahan.

"Aku dan Ada sedang sarapan tadi. Bunda sudah sarapan? Mau aku siapkan?"

Bagaimanapun sikap Bunda, Mona mencoba tetap memperlakukannya dengan baik demi menghormati almarhum suaminya.

"Ga perlu. Bunda sedang buru-buru makanya datang pagi-pagi."

Mona mengangguk sungkan.

"Nenek?"

Ada tampaknya sudah selesai sarapan sehingga Mirna membawanya ke ruang tamu.

"Salim dulu sama Neneknya, Sayang..." Pinta Mona.

Puterinya itu bergerak patuh dan mengambil tangan sang Nenek—yang diserahkan dengan setengah enggan—lalu mencium punggung tangannya dengan dahi.

"Dek, film kartun kesukaan kamu kayaknya sudah mulai. Ajak Mba Mirna nonton bareng, Sayang..."

Meski ingin Ada tetap bersikap sopan pada Sang Nenek, namun bukan berarti Mona ikhlas jika anaknya terus-terusan jadi sasaran ketidaksukaan orang dewasa di sekitarnya.

Selain cerdas, Ada juga perasa. Ia yakin puterinya pasti tahu kalau orang yang ia panggil dengan sebutan Nenek itu tak pernah menyukainya.

"Bunda sedang butuh uang."

Mona menghela nafas sekali lagi. Pembicaraan dengan Bunda pasti selalu berkisar soal uang.

Padahal Adit tidak meninggalkan seluruh warisannya untuk Mona dan Ada. Mona hanya mendapatkan haknya sebagai isteri dan Ada mendapatkan wasiat dari Papanya dengan jumlah yang tak seberapa. Bunda dan adik-adik Aditya juga mendapatkan bagian mereka. Bagian yang Mona tahu jumlahnya tidak bisa dibilang kecil.

Adit sendiri yang mengaturnya karena sadar mungkin dirinya tak punya banyak waktu. Oleh karena itu ia tak mau meninggalkan Mona dan puterinya tanpa mendapatkan apa-apa. Adit tahu persis bagaimana sifat keluarganya itu.

"Kamu bisa jual tanah yang di Sawangan."

Itu perintah, bukan permintaan.

Padahal Bunda dan para ipar mendapatkan beberapa bisnis Adit, rumah mereka di Depok, dan sejumlah bidang tanah. Mona tak tahu apa yang mereka lakukan dengan semua harta itu hingga seperti tak bersisa sedikit pun.

"Tapi itu peninggalan Mas Adit untuk Ada, Bun..."

"Bagaimanapun Bunda lebih berhak karena Ada kan bukan..."

"Bunda!" Mona tahu Bunda akan berbicara apa jadi ia memotongnya. "Bunda ingin tanah itu? Baik. Silahkan ambil! Tapi ini yang terakhir. Aku ga akan membiarkan Bunda mengusik bagianku karena bagaimanapun aku ini isteri sah Mas Adit!"

Mona tak ingin menjadi seperti orang yang rakus harta jadi selama ini ia selalu mengalah. Meskipun wasiat itu tertulis hitam di atas putih sehingga Ada memiliki posisi hukum yang kuat, tapi ia sadar kalau puterinya memang tak punya hak waris.

(Tak) HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang