"Mba, diapelin lagi tuh. Cieeehh..." Hilda dan Mba Win menyambut kedatangan Mona dengan ekspresi jahil. "Rajin banget ngapelnya sampe beberapa hari sekali."
Mona mendecakkan lidahnya. Ia betul-betul kesal.
"Wartawan itu datang lagi?" Roy yang kebetulan sedang bersamanya karena mereka sama-sama baru kembali dari storage, menunjukkan ekspresi tertarik.
Hilda mengangguk senang. Mona merasa semakin sebal saja melihat teman-temannya seolah saling bersekongkol untuk meledeknya.
Dalam beberapa minggu ini, entah sudah berapa kali Yasa mampir ke kantornya. Awalnya kegiatan 'mampir sebentar' itu dilakukan karena Ada selalu menolak untuk diantar atau dijemput oleh lelaki itu. Mona sebetulnya tak ingin memedulikan penolakan Ada, namun entah kenapa ia merasakan sedikit iba untuk mantan suaminya. Terutama setelah Yasa dengan takut-takut mengakui kalau ia sering diam-diam mengamati Ada dari kejauhan.
Dalam pikirannya yang paling liar sekalipun, tak pernah Mona berpikir kalau Yasa akan memberi perhatian seperti ini pada puterinya.
Mungkin itu yang menyebabkan hatinya melemah. Pemikiran bahwa pada saat ini Yasa sedang mencoba berperan menjadi ayah yang baik.
Mona-lah yang bertugas menghubungi sekolah tiap kali Yasa sedang punya waktu untuk mengantar atau menjemput Ada. Mau tak mau, Mona juga harus sedikit terlambat bekerja karena terpaksa menemani Yasa mengantar Ada. Jika hanya Yasa sendirian, Ada pasti tak akan mau ikut. Merepotkan memang. Namun karena Mona sudah menawarkan bantuan, mau tak mau ia harus menerima kondisi ini.
Demikian pula saat Yasa sedang bisa menjemput Ada, Mona juga harus izin beberapa kali. Yasa berkata kalau ia ingin mengajak Ada berjalan-jalan sebentar setelah pulang sekolah. Mengingat kondisi mereka, maka Mona harus ikut pergi juga.
Mereka sempat jalan bertiga beberapa kali. Namun jika pekerjaannya sedang tak bisa ditinggal, Ada dan Yasa akan ikut Mona ke kantornya. Di sana, Mona bekerja di dalam ruangan sementara pasangan ayah dan anak itu bermain-main di taman atau berkeliling museum.
Perlahan keakraban itu pun tercipta. Setelah beberapa kali menerapkan antar-jemput yang dipaksakan, Ada sudah bisa menerima kehadiran Yasa. Pada saat itu terjadi, Yasa sudah terbiasa bolak-balik kantor Mona. Awalnya ia memang hanya datang bersama Ada namun lama-kelamaan, lelaki itu mulai datang sendirian.
Saat itu dunia pergosipan kantor sudah semakin hot. Beberapa rekannya berspekulasi kalau Yasa adalah calon suami Mona. Menggelikan sekali. Namun mereka sudah pasti tak akan mengira kalau lelaki itu adalah ayah kandung Ada sebab semua orang di kantor mengenal Aditya.
Mona menyambut kedatangan Yasa dengan biasa-biasa saja. Awalnya. Namun sekarang ia mulai jengkel tak terkira. Gosip-gosip liar itu, meski tak pernah ia pedulikan, namun entah bagaimana selalu sampai ke telinganya.
Oleh karena itu hari ini Mona menerima ajakan makan siang dari Yasa. Ia ingin mengajak Yasa berbicara.
"Kamu kenapa semakin sering ke kantorku? Bukannya Ada sedang bersama Mirna sekarang?"
Kebetulan Yasa sedang tidak punya waktu saat bocah itu bubar sekolah. Jadi hari ini Ada pulang dengan bus sekolah.
"Memangnya kenapa?" Lelaki itu bertanya cuek.
"Kedatangan kamu bikin gosip yang enggak-enggak. Orang-orang mengira kalau kita punya hubungan." Nada suaranya menyadarkan Yasa kalau wanita itu terganggu.
"Tapi kita kan memang punya hubungan. Kita orang tua dari anak yang sama."
"Tapi orang-orang ga mikir ke sana. Mending setelah ini kamu ga usah datang-datang lagi deh."
"Bukannya ini tempat publik? Semua orang boleh datang kan?"
"Tapi kamu ga beli tiket jadi posisi kamu jelas-jelas berbeda dari para pengunjung museum."
"Oke, kalo gitu mulai besok aku akan selalu beli tiket."
Mona memandangnya geram. "Bukan gitu maksudnya, Mas!"
Yasa senyum-senyum mendengar kemarahan itu. Mungkin mantan isterinya tak sadar, tapi untuk pertama kalinya Yasa bisa mendengar Mona memanggilnya 'Mas' lagi.
"Maksud aku, kamu tuh ga usah datang-datang lagi untuk urusan apapun. Kamu jadi kelihatan kayak lagi pedekate ke aku. Konyol banget tahu ga." Mona menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan geram.
"Gimana kalo ternyata sama sekali ga konyol...?"
Mona menunjukkan ekspresi tak mengerti campur jengkel.
"Gimana kalo ternyata aku memang lagi pedekate ke kamu? Gimana kalau ternyata aku memang mencintai kamu?"
*
"Kenapa sih Om sering antar-jemput Ada? Om betulan mau jadi Papa-nya Ada ya?"
Setelah beberapa kali berangkat bersama, Yasa terbiasa disambut dengan wajah jutek, sikap dingin, dan mulut membisu. Akhirnya kini ia bisa mendengar suara dari mulut menggemaskan itu. Jutek dan dinginnya sih masih tetap sama.
"Kenapa Ada bilang kayak gitu?"
"Kata Tasya, dulu Om Iwan juga sering antar jemput dia sebelum jadi Papanya."
"Emang kenapa sih? Ada ga suka kalau Om jadi Papanya Ada?"
"Kata Tasya, Om Iwan dulu baik tapi langsung berubah galak setelah jadi Papa. Ada ga mau punya Papa galak. Papa Ada baik."
Dalam hati Yasa ingin mengutuk Iwan entah siapa yang sudah membuat puterinya trauma terhadap ayah tiri.
Untungnya Ada punya ayah tiri yang baik.
No no no! Yasa menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Jangan ingat-ingat orang itu!
"Tapi Om Yasa baik, lho. Nanti kalau dipanggil Papa, Om pasti bakal jadi lebih baik lagi. Ada mau ga panggil Om Papa?" Please...
"Ga mau." Jawab Ada tegas.
Ya ampun sejak kapan anaknya jadi terlihat sedewasa ini. Membuat Yasa makin patah hati saja.
*
Setelah beberapa kedai es krim, restoran ayam goreng yang selalu memancing ketidaksukaan Mona, serta beberapa mal kemudian, akhirnya hubungan Yasa dan Ada mulai mencair. Namun bukan berarti posisinya sudah aman. Ada baru sampai di tahap menerima keberadaan Yasa, belum sampai ke tahap menyukai kehadirannya.
Seiring dengan membaiknya hubungan dengan sang puteri, hubungan dengan Mona juga membaik. Yasa mulai merasa terbiasa jalan bareng dengan mantan isterinya atau nongkrong di kafe entah mana. Dengan jumawa-nya ia merasa Mona mulai menyukai kehadirannya.
Setidaknya Yasa berharap mereka menjalankan co-parenting yang bahagia.
Dan suatu saat nanti mereka juga akan menjadi orangtua yang bahagia SERTA berada di bawah mahligai pernikahan yang sama.
Semoga.
But reality bites. Justru Mona mulai terlihat jengkel dengan kehadirannya. Tampaknya sepasang ibu dan anak itu sangat sulit ditaklukkan. Untung sayang...
"Gimana kalo ternyata aku memang lagi pedekate ke kamu? Gimana kalau ternyata aku memang mencintai kamu?"
Entah keberanian dari mana, Yasa akhirnya mampu mengungkapkan perasaan yang telah bertahun-tahun ia simpan.
Please bilang kalau kamu juga punya perasaan yang sama.
Please.
Atau setidaknya kamu kasih senyuman manis aja.
"Kamu gila?!"
Hati Yasa mencelos. Ditilik dari kata-kata dan nadanya, Mona sudah pasti tidak merasakan hal yang sama. Malah wanita itu langsung bangkit dari kursinya seakan bantalan empuk berlapis kulit tersebut tiba-tiba berubah jadi bara api.
"Aku banyak pekerjaan jadi harus balik sekarang. Ingat kata-kataku. Jangan datang-datang lagi ke museum!" Mona melengkapi ancamannya dengan jari telunjuk yang teracung sebelum beranjak pergi dengan buru-buru.
Yasa memandangi kepergian wanita yang bertahun-tahun mencuri hatinya dengan perasaan masygul.
Perjuangan masih panjang, Jenderal!
KAMU SEDANG MEMBACA
(Tak) Hilang
Literatura FemininaMona, seorang kurator museum di usia awal tiga puluhan, harus berhadapan dengan dua hal saling kontradiktif di waktu bersamaan: 1. Koleksi yang ia harapkan tetap terpajang manis di ruang pamer, hilang secara misterius semalam. 2. Seseorang dari masa...