"...jadi saya harap rekan-rekan sekalian mampu bekerja dengan baik dan presisi sehingga seluruh rencana dan agenda-agenda kita ke depannya akan terselenggara dengan...sempurna."
Sosok yang sedang berdiri di podium kecil itu mengucapkan kata 'sempurna' dengan gaya yang dilebih-lebihkan sehingga terdengar seperti 'sempurnaah...' Mendengar itu, Mona memutar kedua bola matanya malas.
"Mari kita wujudkan Mutara yang maju dan semakin terdepan dalam dunia permuseuman di Indonesia."
Kini tak hanya malas, Mona juga harus menahan kantuk dan muntah. Kenapa ia seakan mendengar omong kosong rutin politikus tiap lima tahun sekali?
Mona jadi mempertanyakan apa sekarang dirinya memang betul-betul sedang berada di dunia nyata. Apakah orang yang berdiri di depan itu memang betul-betul Yang Mulia Madam Tanti Fajarina atau ada setan entah dari mana yang semasa hidup terobsesi menang pemilu legislatif tapi tidak kesampaian dan mati penasaran lalu sekarang berhasil mencuri tubuh kepala museum mereka??
Itu bukan pemikiran tanpa dasar, karena Bu Tanti memang terlihat seperti caleg yang tiba-tiba baik demi menarik pendukung. Tak ada angin tak ada hujan, pemegang tahta tertinggi di Mutara itu menapakkan kakinya di kantor tepat jam SEMBILAN pagi! Bayangkan! Mona bahkan nyaris memelototkan mata saat mendengar kabar itu. Padahal baru kemarin wanita itu masuk kantor. Minggu sebelumnya ia juga datang sekitar dua atau tiga hari. Mana pernah--dalam sejarah singkat Mutara--seorang Tanti Fajarina serajin ini.
Tak berhenti di situ, Bu Tanti juga berinisiatif mengadakan rapat staf. Butuh peristiwa luar biasa untuk membuatnya mau melakukan itu. Kasus pencurian koleksi beberapa bulan lalu adalah salah satu contohnya. Namun biasanya, memimpin rapat staf adalah tugas yang selalu ia bebankan seenaknya ke pundak Mona.
Memang sih, mereka tengah berpacu dengan waktu untuk pembukaan Ruang Marini. Tapi selama ini, kegiatan sebesar apa pun tak pernah berhasil menggerakkan bokong malasnya itu. Pameran kerjasama dengan Kedutaan Belanda adalah salah satu contohnya. Jadi kenapa sekarang berbeda?
"...bisa dimengerti, Mona?"
Mona yang sedang setengah melamun langsung gelagapan begitu mendengar namanya disebut.
"Bisa, Bu." Jawabnya asal.
"Memangnya tadi saya bilang apa?" Wanita itu memberi pandangan menantang.
Sh*t!
Tadinya Mona menduga Bu Tanti sudah melupakan kejadian asal tuduh seenaknya waktu itu. Tapi sekarang ia haqqul yakin kalau sang bos masih dendam padanya.
Jantung Mona bertalu. Ia tak ingin Bu Tanti merasa puas karena telah berhasil mempermalukannya di depan forum, apalagi Krisna juga menampilkan senyum meledek. Tapi ia juga sama sekali tak menyimak perkataan Bu Tanti beberapa menit sebelumnya.
"...koleksi Marini..."
Akhirnya pertolongan itu datang dalam wujud Roy yang berbisik pelan di sebelahnya. Mona harus ingat untuk mentraktirnya nanti.
"Ah, tentang koleksi Ruang Marini, sekarang semuanya sudah keluar dari Ruang Transit dan tersimpan aman di storage. Koleksi-koleksi unggulan yang akan dipamerkan di ruang pameran nanti juga sudah dipilih. Di antaranya mangkuk Dinasti Ching yang diolah di Kota Terlarang, piring buatan Picasso, dan juga moon flask biru putih dari masa Dinasti Ming ..."
Semasa hidup, Marini Soedarmadji bukan hanya sekali-dua kali berurusan dengan balai lelang semacam Sotheby's. Namanya bahkan cukup dikenal sebagai kolektor keramik terkemuka. Jika teman-teman sosialitanya punya beberapa tas Hermés seharga ratusan juta, maka Marini tak pernah peduli hal itu. Tak berbeda dari sang suami, ia lebih suka menghabiskan uang untuk keramik-keramik mahal dan langka.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Tak) Hilang
Literatura FemininaMona, seorang kurator museum di usia awal tiga puluhan, harus berhadapan dengan dua hal saling kontradiktif di waktu bersamaan: 1. Koleksi yang ia harapkan tetap terpajang manis di ruang pamer, hilang secara misterius semalam. 2. Seseorang dari masa...