Jika kemarin Mona bisa bersikap segarang Te Ka, maka hari ini ia sejinak Te Fiti. Mona mengambil analogi menggelikan itu karena tadi Mirna menyetelkan Moana untuk menemani sarapan pagi Ada yang tengah rewel.
Kebetulan itu memang film favorit puterinya. Bukan karena Ada mengerti makna mendalam di balik ceritanya, namun hanya sebatas karena nama pemeran utamanya yang mirip dengan nama sang Mama.
Namun kini Mona bukanlah seorang Moana. Ia adalah Maui yang kehilangan mata kailnya. Lemah. Bahkan Mona rasa mungkin ia bisa pingsan meski Bu Tanti hanya menghembuskan nafas ke arahnya. Entah hilang kemana keyakinan menggebu-gebu kemarin itu. Hari ini Mona malah tak yakin masih bisa melewati sore dengan karir yang masih utuh. Karena setelah dipikir-pikir lagi, bicaranya keterlaluan kepada Bu Tanti.
Mona menghela nafas setelah berhasil menahan kuap. Alih-alih istirahat seperti yang disarankan Yasa, Mona malah terjaga sepanjang malam. Pikirannya dipenuhi persoalan apa saja yang entah kenapa memaksa masuk pikirannya malam itu juga. Mulai dari masalah pribadi hingga masalah kantor.
Yasa adalah sumber kegundahannya yang pertama.
Mona menyadari bukan hanya dirinya yang semakin merasa nyaman dengan keberadaan lelaki itu, puterinya juga. Tadinya Mona pikir, tak apa membiarkan Yasa dan Ada berhubungan. Selain karena keduanya memang berhak dan wajib untuk saling mengenal, Mona juga cukup percaya diri kalau kedua orang tak akan menjadi dekat.
Bagaimanapun Yasa adalah ayah yang tak memedulikan keberadaan puterinya sedari janin, sementara Ada seorang pendukung setia Papa Aditya-nya. Paling-paling saat Yasa mulai bosan berperan sebagai ayah yang baik, hubungan mereka akan kembali seperti semula. Asing terhadap satu sama lain.
Tapi lihatlah sekarang. Tampaknya darah memang lebih kental daripada air. Entah bagaimana tahu-tahu ayah dan anak itu seolah tak terpisahkan. Bahkan saat Yasa sibuk kemarin, Mona harus berkali-kali menebalkan kuping karena Ada terus-menerus memberondongnya dengan pertanyaan dimana Om Yasa. Bahkan video call rutin yang biasanya diinisiasi Yasa, sudah mulai sering dimulai Ada.
Dengan berat hati Mona harus mengakui puterinya mulai terikat dengan ayah kandungnya.
Dan ini berbahaya.
Apa yang akan ia lakukan pada Ada kalau-kalau Yasa kembali ke dirinya yang sebenarnya? Apa yang akan dijawabnya tiap kali Ada mempertanyakan kemana Om Yasa yang tiba-tiba menghilang?
Mungkin Mona terlihat paranoid tanpa sebab namun ada banyak hal yang dapat menjadi pemicu asumsinya itu.
Lelaki itu tiba-tiba merasa bosan, adalah pemicu pertama. Pada saat ia terlalu terbiasa dengan Ada, bukan tak mungkin Yasa akan berpaling dan mencari 'mainan' baru lagi. Bukan sekali dua kali Mona mengalami hal serupa dalam perjalanan rumah tangga mereka yang singkat.
Ada masanya Yasa tiba-tiba menjadi suami perhatian dan sering menghabiskan waktu di rumah. Perasaan Mona sudah melambung tinggi saat itu, hanya untuk menemukan bahwa alasannya cuma karena perempuan itu sedang dinas di luar kota. Yasa kembali menjadi dirinya yang biasa lagi saat kekasih tercintanya sudah berada dalam jangkauan.
Bagi Mona, rasa sakit di hatinya pada saat itu sungguh tak tertahankan. Dan ia tak akan ikhlas jika Ada juga harus mengalaminya.
Pemicu kedua terlalu mengerikan untuk dipikirkan. Kematian Mama Naina. Meski mengerikan, namun Mona tahu hal itu tak terelakkan. Dan hal yang tak terelakkan pula bahwa setelah tak ada lagi Mama Naina, Yasa pun juga akan berbalik dari mereka. Untuk apa ia tetap mempertahankan mantan isteri dan puterinya saat tak ada lagi Mama yang harus ia senang-senangkan perasaannya?
Pemicu pertama atau pun kedua, Ada akan selalu jadi pihak yang terluka. Jangan sampai puterinya mengulang sejarah yang tak perlu dikenang ini. Tak ada cara lain. Sang puteri harus belajar menjauh dari ayahnya.
Tapi bagaimana meminta pengertian Yasa akan hal itu??
"Sebaiknya kamu tidak usah mendekati kami lagi. Cukup pura-pura saja di depan Mama."
Jika ia berkata seperti itu maka bisa-bisa Yasa akan kembali berusaha meyakinkan Mona dengan cintanya lagi. Hal itu sungguh membuat tidak nyaman. Ia tak suka kalau laki-laki itu terus-menerus berbohong padahal Mona sudah tahu kebenarannya. Rasanya seperti kembali ke masa lalu.
Yasa adalah pembohong ulung. Mona mengetahui hal itu dengan pahit setelah beberapa bulan mereka menikah. Lelaki yang sebelum menikah sering merayunya dengan kata-kata cinta, ternyata melakukan itu hanya supaya Mona bersedia 'menikah' dengannya.
"Mungkin kita memang belum saling mencintai. Tapi aku yakin kita akan saling cinta setelah menikah nanti..."
"Bukannya kamu punya pacar?"
"Aku sudah cukup lama menjomblo. Saat ini, cuma kamu wanita yang dekat denganku."
Dan Mona menerima kata-kata itu mentah-mentah dengan euforia ala Cinderella yang baru bertemu pangeran. Mungkin ini takdirnya, begitu pikirnya saat itu. Mungkin Yasa memang pangerannya. Mungkin setelah perjalanan hidup yang berat, akhirnya ia akan hidup bahagia selamanya.
Persiapan menjelang pernikahan adalah masa-masa manis yang membuat Mona serasa hidup di negeri dongeng. Namun dongeng singkat itu langsung tamat padahal ia kira mereka baru saja memulai bab ke dua. Seakan dimantrai penyihir jahat, pangerannya yang ramah dan baik hati berubah menjadi suami yang dingin tepat setelah mereka menikah.
Yasa bahkan tidak tidur dengannya di honeymoon suite pada saat malam pertama. Entah dimana suaminya saat itu.
Mona baru tahu jawabannya setelah tak sengaja memergoki suaminya dengan wanita yang sangat ia kenali. Si pacar semasa kuliah. Gadis yang hanya dengan kecantikannya saja bisa membuatnya pantas bersanding dengan Yasa yang tampan. Dulu ia selalu mengagumi keserasian mereka.
Tapi itu dulu. Saat wanita itu bersama dengan lelaki yang belum jadi suaminya. Menjadi isteri yang sah di mata agama dan negara telah memberikan Mona privilege untuk merasakan sakit yang teramat sangat ketika menyaksikan kebersamaan kedua orang itu. Rasa sakit yang Mona rasakan saat itu bahkan jauh lebih besar daripada rasa sakit yang ia terima dari keluarga tantenya selama mereka tinggal bersama.
Terlebih, saat ia mengkonfrontasi suaminya setelah lelaki itu pulang kerja, yang ia dapati bukanlah rasa takut dan bersalah. Yasa hanya bersikap santai dan masa bodoh seakan-akan perselingkuhannya bukanlah masalah besar. Lelaki itu seakan meminta Mona memaklumi apa yang ia lakukan.
"Mau bagaimana lagi, Ririn adalah cinta pertama dan terakhirku sementara kamu bukan siapa-siapa. Kalau ga suka, kamu bisa minta cerai..."
Ia seorang isteri tapi dianggap bukan siapa-siapa?!
Sejak saat itu Mona menjadi isteri tolol yang hanya bisa mengelus dada tiap kali melihat perselingkuhan suaminya. Namun ia juga harus berperan sebagai isteri yang bahagia tiap kali bertemu dengan mertuanya.
Tak ada yang lebih menyakitkan dari itu dan Mona tak akan sudi kalau harus mengalaminya sekali lagi.
"Saya sudah di ruangan."
Mona menghela nafas lelah begitu melihat apa yang tertera di WA-nya. Kini saatnya menghadapi kegundahannya yang kedua.
Bersama dengan Roy, mereka berjalan dalam diam menuju Ruang Kamus. Meski deg-degan, Mona mencoba menguatkan hatinya. Setidaknya Bu Tanti bersedia datang. Itu artinya wanita tersebut sedikit banyak khawatir kalau harus kehilangan dirinya dan Roy.
"Masuk!" Suara tegas dan jutek menyambut mereka dari dalam.
Hati Mona mencelus. Apakah ia terlalu cepat merasa tenang?
Sorry for being MIA
Tapi ya ampun aku mager banget
KAMU SEDANG MEMBACA
(Tak) Hilang
Literatura FemininaMona, seorang kurator museum di usia awal tiga puluhan, harus berhadapan dengan dua hal saling kontradiktif di waktu bersamaan: 1. Koleksi yang ia harapkan tetap terpajang manis di ruang pamer, hilang secara misterius semalam. 2. Seseorang dari masa...