Mona menatap lurus ke depan. Diam. Jari-jemarinya saling membelit, menunjukkan kondisi hatinya saat ini yang sedang tidak baik-baik saja. Sementara di sebelahnya, lelaki itu sedang menyetir dengan tenang sembari bersiul mengikuti irama lagu di radio. Sepertinya ia sedang senang, berbanding terbalik dengan perasaan Mona.
Bagaimana bisa ia begitu bodoh?!
Selama ini, orang-orang di kantornya memang tahu ia punya puteri dan pernah punya suami yang kini sudah meninggal dunia, tapi tak ada yang tahu lebih dari itu. Termasuk Roy, satu-satunya rekan kerja yang keluarganya juga mengenal keluarga Mona. Tapi sekarang, sia-sia sudah upaya Mona untuk selalu menjaga agar kehidupan pribadi dan kehidupan profesionalnya sebisa mungkin tidak saling bersentuhan. Dan semua itu gara-gara lelaki menyebalkan ini!
Mona memandang Yasa sengit, berharap matanya bisa mengeluarkan sinar laser yang bisa membumihanguskan mantan suaminya jadi abu.
Mantan suami sialan!
Tapi Mona lebih marah pada dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia lalai sampai tak sadar sudah membahas hal pribadi di kantor. Mana Yasa pakai acara menyebut-nyebut soal cinta pula. Malu-maluin banget.
Rasanya tak mampu membayangkan bagaimana menghadapi seisi kantornya besok. Teman-teman yang cukup akrab dengannya pasti tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk meledek habis-habisan. Belum lagi ciwi-ciwi bocil penggemar Yasa yang super kepo itu. Ya ampun, pengen berhenti kerja dan nikah aja rasanya.
...doain ya, supaya temen Mba cepet luluh dan mau nikah sama saya. Soalnya saya cinta banget sama dia.
Mona bergidik teringat kata-kata Yasa tadi. TIDAK! Menikah sudah pasti tidak akan menyelesaikan masalah. Bukti nyatanya adalah lelaki di sebelahnya ini. Tapi... kenapa sekarang dirinya malah berada di mobil lelaki itu??
Seingat Mona, ia tadi izin pulang sekitar setengah jam lebih cepat karena Mirna punya janji makan malam di rumah calon mertua jadi Ada tak ada yang menjaga. Siapa sangka, dengan pulang cepat itu dirinya malah menemui kesialan. Kalau saja pulang seperti biasa, pasti Mona akan keluar ruangan bersama Roy, mungkin juga dengan Hilda, jadi Yasa tak akan punya kesempatan berbicara berdua dengannya.
Tapi itu tetap tak menjelaskan kenapa Mona bisa berada di mobil Yasa.
Mungkin... ini karena Mona yang sudah terlalu malu di tengah rekan-rekan kantornya sehingga tak kepikiran menolak Yasa saat menarik tangannya mengajak pulang. Mona juga terlalu gugup jadi iya-iya saja saat Yasa menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Dan di sinilah mereka sekarang.
Dasar Mona bodoh!
Yah Mona harus mengakui kalau dirinya memang bodoh. Kalau dirinya pintar, ia pasti akan menolak membicarakan hal pribadi di kantor. Ia seharusnya mencari tempat yang lebih private jika tak berhasil mengusir laki-laki itu dari sana. Tapi mau bagaimana lagi. Mereka sudah terlanjur melakukan pembicaraan itu di kantor dan Mona juga tak punya mata di belakang kepala, jadi mana bisa ia melihat kapan teman-temannya datang.
Kecuali...
"Ouuchh...sakit, Sayang."
Tak ada angin tak ada hujan, Mona menyarangkan sikutnya ke rusuk Yasa. Untung lelaki itu masih waspada jadi mobil mereka tak kenapa-kenapa.
"Salahku apa?" Dengan wajah minta dikasihani, Yasa mengelus-elus rusuk kirinya. Mona kalem-kalem begitu tapi ternyata sikutannya sakit juga.
"Kamu sengaja kan?!" Tuding wanita itu dengan berapi-api.
"Sengaja apanya?" Yasa menunjukkan ekspresi tak mengerti.
"Kamu lihat kalau teman-temanku jalan ke arah kita. Kamu sengaja ngomong cinta-cintaan ga jelas itu supaya mereka dengar. Iya kan?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
(Tak) Hilang
Chick-LitMona, seorang kurator museum di usia awal tiga puluhan, harus berhadapan dengan dua hal saling kontradiktif di waktu bersamaan: 1. Koleksi yang ia harapkan tetap terpajang manis di ruang pamer, hilang secara misterius semalam. 2. Seseorang dari masa...