Mona menatap sebal pada sesosok manusia yang berani-beraninya menjumpai dirinya sepulang kantor.
"Mau apa lagi sih?" Saking kesalnya Mona langsung memberondong orang itu. Ia bahkan tak mau repot-repot bertanya tentang alasan kenapa lelaki itu sampai mendatanginya. "Kan aku udah bilang..."
"Kamu bilang supaya aku mengurangi intensitas pertemuanku dengan Ada. Tapi kamu ga pernah bilang untuk ga menemui kamu sama sekali." Yasa menjawabnya dengan enteng sambil mempersembahkan senyum licik.
Mona tak bisa mencegah mulutnya ternganga. Laki-laki ini sungguh menyebalkan sekali.
"Aku ke sini demi Mama, Mon." Lanjut lelaki itu sebelum Mona mengusirnya. "Mama kangen cucu. Sedang aku kangen kamu..."
Mona makin tak sanggup bersuara. Apa ia sudah pernah bilang kalau Yasa menyebalkan?
"...kangen anakku juga. Aku mohon jangan menjauhkan Ada dari Mama, Mon. Pihak yang bersalah di sini cuma aku."
Mona menghela nafas lelah.
Weekend pertama setelah pembicaraan penuh air mata (buaya) itu, Mona menolak ajakan Mama Naina untuk menginap di rumah dengan alasan Ada akan berwisata dengan teman-teman TK-nya ke kebun binatang. Untuk mengurangi rasa bersalah karena sudah berbohong, Mona mengajak sang puteri jalan-jalan ke Ragunan keesokan harinya.
Minggu kedua, Mona bilang Ada sedang flu (yang mana tidak sepenuhnya bohong) dan seisi rumah ketularan (yang mana sepenuhnya bohong). Jadi agar Mama Naina yang dalam kondisi rentan tidak ikut tertular, mereka sebaiknya tidak bertemu dulu.
Akhir pekan ketiga hanya berjarak beberapa hari lagi. Mona tak tahu harus memberi alasan apa lagi.
"Mama mulai gerah karena sudah lebih dari sekali aku menolak menjemput Ada. Kalau saja beliau masih bugar, mungkin Mama sendiri yang akan menyamperi kalian. Beberapa kali Mama selalu bilang kangen cucu, Mon. Beliau bahkan sudah curiga kalau ada masalah di balik penolakan kamu."
Mona menggigit bibir bawahnya resah. Ia menghadapi masalah yang kurang lebih serupa.
"Mama, kapan kita ke rumah Oma?"
"Ayah kok ga pernah datang lagi sih?"
"Ada kaangeeeenn banget sama Oma."
"Ayah ga sayang Ada lagi ya?"
"Video call Ayah, yuk...please..."
Apa yang Mona khawatirkan terjadi sudah. 'Reuni' keluarga ini memang baru terjadi beberapa bulan lalu, tapi Ada sudah terlalu terikat dengan keluarga Ayahnya.
Melihat kesedihan puterinya, Mona berkali-kali harus mengeraskan hati bahwa ia tengah melakukan hal yang benar. Tapi Mama Naina... Tegakah dirinya menyakiti—bukan hanya satu—namun dua orang tak bersalah yang saling menyayangi.
"Aku...hmmmm..." Mona menggigit bibir bawahnya ragu. Tak sadar kalau lelaki di hadapannya ini menelan ludah menyaksikan tindakannya itu.
"Oke!" Ia akhirnya mengambil keputusan. Yasa yang tadinya tengah melamunkan bibir bawah Mona, langsung tersadar begitu mendengar ketegasan dalam suara mantan isterinya. "Aku akan minta Mirna mengantar Ada ke tempat Mama hari Sabtu ini. Aku sendiri ga bisa, karena harus lembur. Ada bisa menginap di sana karena toh sepanjang Sabtu-Minggu aku akan di kantor seharian. TAPI kamu ga boleh ada di sana juga, deal?"
Yasa mengangguk. "Deal. Lagi pula hari Sabtu aku juga harus liputan. Tapi ga akan sampai malam sih jadi sorenya aku bisa jemput kamu."
"Hah? Ngapain?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
(Tak) Hilang
ChickLitMona, seorang kurator museum di usia awal tiga puluhan, harus berhadapan dengan dua hal saling kontradiktif di waktu bersamaan: 1. Koleksi yang ia harapkan tetap terpajang manis di ruang pamer, hilang secara misterius semalam. 2. Seseorang dari masa...