Koleksi 39

169 14 4
                                    


Yasa tak tahu berapa lama ia terpaku di depan gedung pengadilan itu. Satu menit? Lima menit? Sepuluh menit?

Mona membawa kabar yang begitu mengagetkan hingga kesadarannya seketika melayang, termasuk kesadaran akan waktu.

Hamil katanya?

Mereka akan punya anak?

Ia akan jadi ayah?

Yasa memang tak pernah berencana memiliki anak dengan Mona. Ada wanita lain yang ia siapkan untuk rencana tersebut. Oleh karena itu, di awal-awal mereka tidur bersama, Yasa selalu memakai pengaman karena Mona menolak KB dengan cara apa pun.

Namun Yasa pernah kelupaan sekali. Setelah itu dirinya betul-betul cemas. Ia baru bisa bernafas lega setelah Mona mendapatkan tamu bulanannya lagi.

Celakanya, kali pertama itu bukan satu-satunya. Yasa pernah kelupaan beberapa kali lagi sampai akhirnya memutuskan untuk tak memakai apa-apa lagi karena...yah...memang lebih enak. Toh Mona tak pernah menunjukkan gejala hamil. Mungkin mereka berdua memang kurang subur. Atau mungkin itu pertanda dari Tuhan kalau pernikahan ini bukan untuk selamanya.

Lalu sekarang, saat semuanya sudah selesai, mereka akan punya anak?? Sungguh, Yasa tak tahu harus melakukan apa. Ia tak tahu harus merasa senang atau sedih.

Hingga punggung Mona telah lama berlalu pun, Yasa masih tetap terpaku. Mungkin ia masih akan seperti itu sampai berjam-jam kemudian, kalau saja tak ada adik sepupu yang datang menjemputnya. Ibunya memerintahkan Zulpan untuk membawa Yasa ke rumah. Segera. Zulpan hanya menggeleng tak tahu saat Yasa bertanya untuk apa. Entahlah, mungkin Mama masih belum puas dan ingin memarahinya lagi.

Ya ampun! Mama! Bagaimana ia harus memberitahu Ibunya sekarang??

Malam itu Yasa menghabiskan waktu dengan termenung di atas tempat tidur di kamar lamanya. Isi pikirannya masih sama. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Tentu saja kamu harus menemui Mona, bodoh!

Kesadaran itu menghentaknya segera setelah matahari terbit. Tak mau menunggu lagi, ia langsung mandi dan bergegas pergi ke kosan Mona. Yasa bahkan tak memedulikan seruan sang Ibu yang memintanya sarapan lebih dulu. Yang ia tahu, ia harus secepatnya bertemu dengan mantan isterinya. Ia tak mau kehilangan Mona dan calon anak mereka. Sungguh ia tak mau. Perceraian itu adalah kesalahan besar. Ia akan memohon Mona kembali, bersujud kalau perlu.

Namun sampai di sana, yang ia jumpai hanya kamar kosan yang kosong.

*

Apa yang harus ia lakukan terhadap pria dewasa berbadan kekar yang menangis tersedu-sedu seperti bayi?

Mona sama sekali tak tahu harus bertindak bagaimana agar sang mantan suami menghentikan tangisnya. Ya ampun ini memalukan. Untunglah meja-meja di sekitar mereka masing kosong tak terisi. Hanya ada seorang pelayan yang sempat memergoki Yasa menangis. Memutuskan tak ingin ikut campur sedikit pun, pelayan lelaki itu perlahan mundur teratur.

"Yasa udah ihh." Mona menusuk-nusuk bahu pria yang tengah telungkup di atas meja itu dengan jari telunjuk. "Kamu ga malu apa nangis kayak gini di tempat umum?!"

Mendengar kata-kata Mona, perlahan Yasa bangkit. Tangannya sibuk menarik-narik tisu dari kotaknya untuk dipakai mengusap air mata yang berceceran. Pada saat itu, ia terlihat begitu menyedihkan.

Gimana caranya dulu gue pernah jatuh cinta abis-abisan sama makhluk kayak gini?!

"Aku bener-bener menyesal, Mon." Kata Yasa setelah lebih mampu mengendalikan emosinya. "Aku jadi ingat perasaanku saat itu. Kalian berdua menghilang seperti dihisap udara kosong."

(Tak) HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang