Koleksi 5

344 36 0
                                    


Ketika Mona pulang malam itu, puterinya sudah mengenakan piama Spongebob kesayangannya.

"Mama kok lama pulangnya?" Ada bertanya manja.

Mona memang sering lembur, namun bukan berarti Ada menjadi terbiasa dan bisa menerima begitu saja. Tiap kali hal itu terjadi, Ada masih memperlihatkan ketidaksukaannya. Ia mau Mamanya sering-sering berada di rumah.

"Maaf ya, Dek. Mama lagi banyak kerjaan."

Hari ini waktunya tersita cukup banyak di kantor polisi padahal dalam waktu dekat mereka akan mengadakan pameran temporer. Mau tak mau, lembur adalah satu-satunya pilihan.

Terkadang, pekerjaannya memang bisa menjadi sangat penuntut. Tak peduli kalau Mona baru saja sembuh dari sakit dan harus berhadapan dengan masa lalu yang kembali datang tanpa diundang.

Keping yang hendak ia hilangkan sepenuhnya dari hidupnya tapi tak bisa.

Karena orang itu adalah ayah kandung puterinya.

"Mama, Ada kangen Papa. Kapan kita ke rumah Papa lagi?"

Hati Mona mencelus mendengarnya.

"Weekend ya, Dek. Waktu Mama libur."

Puterinya mengangguk sambil menguap. Ia sudah tak bisa lagi menahan kantuk. Mona memperhatikan mata mungil itu perlahan menutup. Setelah nafas gadis kecil itu mulai teratur, Mona bangkit dan mengecup dahinya lalu beranjak ke kamarnya sendiri.

Pintunya baru saja menutup. Mona bahkan belum mencapai tempat tidur ketika air mata itu tumpah. Segera setelah bisa duduk di ranjangnya, Mona luruh seketika. Ia sudah teramat lelah. Setidaknya malam ini ia ingin menangis sepuasnya.

*

"Ada yang bisa saya bantu?"

Tadi siang Mona yang lemah itu tidak ada. Atau pura-pura tidak ada. Ia berusaha bersikap seprofesional mungkin. Segera setelah mampu menguasai diri, Mona mempersilahkan pria itu duduk.

"Aku...hmm...saya...saya dengar museum ini kehilangan koleksinya?"

Pria itu gugup? Bagus. Ia memang pantas merasa seperti itu.

"Saat ini kami tidak dapat menjawab pertanyaan apa pun. Namun saya pastikan pihak kami akan segera memberikan pernyataan." Mona memberikan jawaban standar. Dilihatnya orang itu mengangguk.

"Kita...apa bisa kita bicara? Tentang..." Pria itu terdiam cukup lama.

Mona membuang nafas berat. Ia ingin menolak permintaan itu tapi logikanya menyuruh untuk setuju saja. Ia tahu pria ini seperti apa. Bisa saja lelaki itu menciptakan drama yang kemudian akan membuat seantero kantornya heboh.

Meski berat hati, Mona mengajak pria itu keluar dengan diikuti tatapan curiga Roy.

*

"Jadi storyline-nya kosong kayak gitu, Mon?"

Mona tersentak dari aktivitas memandangi layar komputernya dengan tatapan kosong. Ternyata ia melamun. Sudah berapa lama? Ia bahkan tak sadar kalau Roy sudah bangkit dari kursi dan berdiri di samping dirinya.

"Eh Roy...gue...?"

"Ini bukan karena kehilangan koleksi kan?" Potong Roy. "Ada hubungannya sama wartawan yang datang kemarin?"

Sial. Tebakan jitu.

Mona hanya tersenyum tak menjawab.

"Oke...gue ga mau jadi manusia rese yang kepo sama urusan orang lain. Tapi lo kayak begini udah lebih dari setengah jam."

"Sori." Mona tersenyum canggung. "Koleksi-koleksinya gimana, Roy?" Ia berupaya mengalihkan pembicaraan.

"Udah gue seleksi. Tapi mungkin pastinya harus kita koordinasikan dengan pihak EO juga."

Mona mengangguk. Sebetulnya pameran temporer ini cukup mendadak. Pihak Kedutaan Belanda ingin membuat pameran di museum mereka. Tadinya mereka hanya ingin menumpang tempat, namun entah bagaimana malah berubah menjadi tawaran pameran bersama.

Tugas pembuatan storyline jatuh ke pundak Mona. Setidaknya ia harus punya bahan untuk rapat dengan pihak EO dan Kedutaan besok. Itulah sebabnya semalam ia dan Roy harus lembur.

"Gue lanjutin dulu ya," kata Mona akhirnya.

Roy mengangguk sambil berjalan kembali ke Mejanya. "Jangan lupa, besok jam 10."

Kali ini Mona berusaha keras untuk fokus. Ada banyak pekerjaan menantinya. Ia tak punya waktu untuk memikirkan pembicaraan kemarin siang, betapa pun mengganggunya itu.

*

"Jadi mau bicara apa?" Tanya Mona to the point.

Ini bukan jam istirahat jadi Mona sebaiknya tak keluar kantor berlama-lama. Bukannya Bu Tanti akan peduli, hanya saja tumpukan pekerjaannya masih menunggu. Selain adanya alasan lebih besar karena Mona juga tak ingin berlama-lama dengan pria itu.

"Kamu apa kabar?"

Cihh...sok manis banget pake nanyain kabar.

"Baik." Jawab Mona tegas. Pria itu adalah makhluk hidup terakhir yang ingin dijadikannya lawan untuk berbasa-basi.

"Anak...kita? Baik juga?"

Mona ingin tertawa keras-keras. Anak kita katanya??

"Dia anak aku. Dulu kan aku sudah bilang begitu. Dia cuma anakku."

"Bagaimana pun aku ayahnya, Mon."

Sekali lagi Mona ingin tertawa keras. Tapi ia cuma mengeluarkan dengusan.

"Kamu enggak mungkin membuat anak itu sendirian kan? Aku jelas-jelas ayahnya."

Kali ini Mona sudah tak dapat lagi menahan tawanya.

"Oh come on, enggak lucu banget kalau tiba-tiba kamu ingat soal anak. After all this time? Aku tahu, anakku ga mungkin ada tanpa kamu. Tanpa sperma kamu, lebih tepatnya. Tapi ya bagi aku peran kamu cuma sebatas itu. Penyumbang sperma. Kecebong-kecebong kecil itu enggak lantas menjadikan kamu seorang ayah."

Mona bisa melihat pria itu terhenyak. Ia sadar ucapannya memang kasar, tapi lawan bicaranya memang pantas mendapatkan itu.

"Maaf. Aku sadar kalau aku salah. Aku sudah melakukan kesalahan besar yang bahkan membuatnya tidak pantas mendapatkan maaf dari kamu. Tapi aku berusaha memperbaikinya, Mon. Selama ini aku selalu mencari-cari keberadaan kalian berdua. Masalahnya keluarga kamu enggak pernah mau memberikan alamat baru kamu."

Sebetulnya mereka bukan tidak mau, tetapi tidak tahu. Dan tidak peduli. Mona dan keluarga Tantenya tak pernah bertukar kabar setelah ia pindah ke Depok. Untuk apa? Toh selama ini hal yang menghubungkan mereka cuma darah yang sama, bukan perasaan dan kasih sayang.

"Kenapa kamu cari-cari aku dan anakku? Bukannya harusnya kamu sudah menikah dan punya keluarga sendiri? Harusnya pikirin anak-anak kamu sendiri aja. Atau...kamu ditinggal selingkuh sama cinta sejati kamu itu?"

Tadinya Mona mengatakan itu sebagai sindiran. Tapi melihat perubahan ekspresi pria di depannya, sepertinya sindiran yang hanya diucapkan asal itu adalah kenyataan.

Lagi, Mona tak dapat menahan tawanya.

"Karma!" Katanya puas.

"Mona, please jangan egois. Kalau kamu membenci aku, setidaknya pikirkan anak kita. Dia berhak punya sosok ayah dalam hidupnya."

"Kamu benar." Mona mengangguk. "Anakku memang berhak untuk punya sosok ayah. But don't worry, itu ga perlu jadi urusan kamu. Anakku punya ayah. Aku punya suami.

(Tak) HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang