Pagi itu diawali dengan pemandangan yang tak biasa. Beberapa rekan kerjanya mengerubungi meja resepsionis, entah apa yang sedang mereka kerubuti. Bahkan Bang Daus yang jarang keluar lab pun ada di sana. Sinta dan Dina, duet maut penjaga tiket juga tak mau ketinggalan. Padahal biasanya di jam segini mereka sudah mulai sibuk bersiap-siap.
Dehaman keras Mona mengganggu gerombolan itu. Suara-suara yang dikeluarkan semua orang tiba-tiba berhenti begitu saja.
"...eh, Mba..." Hilda menatapnya salah tingkah.
Kalau dilihat-lihat, semua orang di sana bersikap seperti itu. Bang Daus yang biasa menyapanya ramah langsung melarikan diri ke dalam lab tanpa pamit terlebih dahulu. Sementara Sinta dan Dina segera kabur ke meja tiket. Akhirnya tinggallah Hilda dan Mba Win di meja penerima tamu. Lebih kepada tidak punya pilihan—karena pos keduanya memang di sana—bukan karena mereka memang ingin tinggal.
Menurut Mona, rekan-rekannya berperilaku aneh. Sejak kapan mereka semua segan padanya saat ketahuan bergosip? Seakan-akan dirinya Bu Tanti saja. Biasanya juga mereka langsung menarik Mona untuk ikut bergosip bersama. Bahkan sering kali Mona menemukan dirinya kesulitan menghindari godaan bergosip dari teman-temannya ini.
"Gue mau siap-siap dulu, Mba..." Hilda langsung buru-buru pamit dari sana. Langkahnya mengarah ke ruang pameran walau belum ada satu pengunjung pun yang datang.
Mba Win memberi rekan seperjuangannya itu pelototan. Tampak jelas ia enggan ditinggal berduaan dengan Mona. Sekali lagi Mona keheranan mengingat dirinya dan Mba Win tergolong cukup akrab.
"Sejak kapan lo serajin ini?" Mona menimpali sebelum langkah Hilda terlalu jauh. "Biasanya juga ngajakin gue ngopi bareng dulu."
Tak jarang, jika mereka berdua datang kepagian, Hilda mengajak Mona ngopi-ngopi dulu di taman samping. Sekarang masih jam delapan lewat dua puluh menit, jadi tentu saja masih termasuk ke dalam kategori kepagian.
Mendengar kata-kata Mona itu, Hilda semakin salah tingkah.
"So...soalnya ada rombongan, Mba..."
Kali ini temannya itu malah terbata-bata. Kerutan di dahi Mona bertambah dalam. Rombongan pengunjung memang ada, bahkan nyaris setiap hari. Namun hari ini rombongan anak-anak SD tersebut baru akan datang jam sepuluh pagi.
Pasti ada sesuatu. Tapi apa?
"Bukannya mereka baru datang sekitar dua jam lagi?"
Kata-kata Mona semakin mendesak Hilda. Yang didesak hanya ngedumel tak jelas sebelum akhirnya berlari-lari kecil ke ruang pameran. Sebagai gantinya, Mona hendak menanyai Mba Win tapi di saat yang bersamaan ada telepon masuk. Mungkin ini cuma perasaan Mona, tapi sepertinya Mba Win terlihat betul-betul lega karena bisa mengangkat telepon alih-alih harus berbicara dengan Mona.
"Orang-orang pada aneh deh..."
Akhirnya Mona menceritakan kebingungannya pada Roy yang ternyata sudah lebih dulu berada di ruangan.
"Pada salah makan kali. Gue juga heran kenapa mereka kayak canggung-canggung gimana gitu sama gue."
"Lo juga?" Mona mengeluarkan suara antusias karena ada temannya.
Roy mengangguk. "Tadi gue lihat mereka lagi ngerumpi di dekat meja Mba Win. Begitu gue datang, semuanya pada diem. Waktu gue tanya kenapa, pada bubar satu-satu. Ya udah gue tinggal pergi kan. Eh ga lama gue nengok ke belakang, mereka semua pada balik ngerumpi lagi. Ngomongin gue apa ya?"
"Seakan-akan hidup lo menarik aja untuk diomongin." Dengus Mona.
"Nah itu dia, aneh kan? Kecuali kalo ngomongin hidup lo. Secara kan beberapa minggu terakhir ini lo jadi topik gosip favorit di kantor."
KAMU SEDANG MEMBACA
(Tak) Hilang
ChickLitMona, seorang kurator museum di usia awal tiga puluhan, harus berhadapan dengan dua hal saling kontradiktif di waktu bersamaan: 1. Koleksi yang ia harapkan tetap terpajang manis di ruang pamer, hilang secara misterius semalam. 2. Seseorang dari masa...