[COMPLETED]
Bagi seorang Jevie Abercio, Jia Felysia Bayuni adalah poros kehidupannya. Silakan semua orang meluluhlantakkan kehidupannya, selagi ada Jia yang menggenggam erat tangannya, berdiri disampingnya dengan segaris senyum yang menyejukkan, mak...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
I don't want you to leave, Will you hold my hand? .
.
.
Setelah kejadian yang baru saja terjadi, akhirnya Jia berhasil pulang bersama Papa, sedangkan Jevie mengantar Halina untuk pulang ke rumahnya atas permintaan Jia, karena kebetulan Jia tidak bisa mengantarkan Halina. Jia butuh mengetahui apa yang selama ini tidak Jia ketahui dari Papa, tentunya dari Jevie juga nanti. Maka dari itu, disini lah Jia. Duduk berhadapan dengan Papa di ruang kerja Papa.
"Jadi sebenarnya ada apa, Pa?" tanya Jia langsung pada intinya.
Papa memberikan flashdisk yang dititipkan Jevie kepadanya untuk Jia. "Ini dari Jevie, terserah kamu mau lihat atau nggak. Tapi yang pasti Papa udah kasih tau." ucap Papa, kemudian menghela nafas pelan. "Kesampingkan dulu rasa penasaran kamu tentang apa yang terjadi. Papa mau memberikan penegasan ke kamu, Jia." sambung Papa menatap lurus pada Jia dengan tatapan serius.
Jia hanya bisa berdiam diri. Tiba-tiba saja jantungnya berdegup kencang saat merasakan aura intimidasi dari tatapan yang Papa berikan.
"Ini tentang kamu dan Jevie. Kalian pacaran 'kan?"
"Pa— maaf aku nggak cerita."
"Kenapa? Kamu setakut itu sama Papa? Kamu pikir selama ini Papa sekejam itu sama kamu?"
"Bukan begitu! Aku cuman pikir waktunya belum tepat kalau aku cerita sama Papa sekarang."
Sekali lagi Papa menghela nafas pelan. "Jia, tolong ingat ini! Badan kamu milik kamu, jangan biarkan orang lain menyentuhnya, siapapun itu! Ini peringatan! Kalau seandainya kamu balik lagi sama Jevie, no kissing! Dirumah ini atau tempat lain, jangan sembarang, Jia! Kamu perempuan, kalau kamu bandel, jejak bandelnya nggak akan hilang."
Jia menggigit bibirnya khawatir, tiba-tiba saja rasa ingin tau tentang apa yang terjadi sirna dan digantikan dengan rasa malu yang begitu ketara sekali dimata Papa.
"Aku, . . Aku— minta maaf." cicit Jia dengan kepala yang sudah tertunduk malu.
"Ini baru Papa yang tau, gimana kalau Mama kamu? Udah dibikin sate kamu." ucap Papa sinis. "Tolong diingat itu, Jia! Dan tentang kejadian hari ini. Sebenarnya ini masalah antara Papa dan Aber. Dia menaruh dendam sama Papa. Dulu Papa pernah bantu Tania yang mengakibatkan pencopotan jabatan Aber sebagai anggota kepolisian. Puncaknya, sekarang Papa juga bantu Jevie untuk melaporkan Aber, jadi mulai hari ini kamu harus lebih hati-hati, kita nggak tau orang gila macam apa yang sedang kita hadapi." sambung Papa menjelaskan.
"Jia masih nggak ngerti, Pa."
"Minta Jevie untuk menjelaskan." Papa berdiri, membuat Jia mendongak menatap Papa. "Papa tinggali rapat untuk kamu, jadi sekarang Papa harus balik lagi. Kamu disini aja, Mama bentar lagi pulang, udah Papa hubungi." lanjut Papa kemudian berjalan keluar pintu.