2 : Surprise

42 4 0
                                    

"Jangan ijo-ijo semua dong!" komentar Davin gregetan ketika melihat putra tirinya tengah berkaca.

"Papah Davin, gak ijo semua kok. Mau pake peci putih," gubris Alvin sembari menunjukkan peci putihnya.

Davin geleng-geleng melihatnya. "Peci itu, dipakenya lepas-pasang, gak menetap terus di kepala. Komplemen yang penting itu, baju sama celana, soalnya bakal melekat terus meskipun udah kegerahan. Lebih baik, kemeja hijau ini, sama celana putih aja."

"Hmm," Alvin menaruh ibu jari dan telunjuknya di bawah dagu, terlihat sedang berpikir, "Oke deh."

Setelah kejadian itu, Farah jadi banyak memuji Davin yang begitu baik dalam menentukan fesyen putranya. Sebagai ayah sambung, Farah sangat mengapresiasi usaha Davin dalam memperlakukan putranya, setelah suaminya itu insyaf.

Mobil keluarga Amarta sudah melaju di jalanan Bandung. Tidak seperti halnya keluarga Dinata yang semua anggota keluarganya ikut pergi, Alvin hanya disertai oleh Farah, Davin, dan juga Anaya. Omah Ranti tidak ikut pergi, karena ia mau menemani Arsen yang bersih keras tidak mau ikut. Arsen memang tidak berubah, ia sama saja, selalu skeptis pada kakak satu ibunya itu.

Tut ...

"Nelpon siapa, Vin?" tanya Farah ketika mendengar ada suara telepon dari kursi belakang.

"Aliya, Mah. Mau liat dia gimana hari ini."

"Ooh, Aliya. Pasti bakalan cantik sih. Mamah yakin!"

Tak lama, telepon pun terhubung. Layar ponsel Alvin menunjukkan paras adiknya yang cantik, kepalanya berbalut khimar putih yang membuat Alvin berdecak kagum.

"Masyaallah, cantiknya adikku."

"Wah, iya! Kak Aliya cantik banget, masyaallah, luar biasa, Allahu Akbar!" puji Anaya yang langsung menengok ke layar gawai kakaknya.

"Hehe, alhamdulillah. Alvin juga ganteng. Naya juga masyaallah, cantiknya ... semoga istikamah berhijabnya, ya."

Naya meraba kain khimarnya yang berwarna abu-abu, lalu menyengir. "Naya belum sepenuhnya siap berhijab, doain aja, ya, Kak."

"Iya, Naya ... Semoga hatinya bisa mantap untuk berhijab."

"Amin," gubris Alvin yang kemudian melirik Naya.

"Kalvin!"

Aliya memiringkan gawainya, sehingga wajah Candra dan David dapat terlihat jelas di sana. Mereka melambaikan tangannya ke arah Alvin. Kalvin, merupakan panggilan kesayangan mereka untuk Alvin. (Kalvin = Kak Alvin).

"Kalvin aja yang disapa, Kanay enggak?" protes Naya.

"Hai, Kak Naya!"

"Telat, telat!"

Terlihat Candra dan Davin mengusap dada karena merasa serba salah. Perempuan memang beda.

Sementara itu, Aliya dan Alvin tertawa melihat tingkah adik-adiknya.

Ya, ini hal yang bisa Aliya syukuri. Meskipun kasih sayang orang tuanya tidak tulus, tapi kasih sayang di antara adik-adiknya bersama dengan keluarga Amarta sudah pasti seputih kapas.

"Bu Farah sama Pak Davin, sehat?"

"Alhamdulillah, kami sehat, Aliya," jawab Farah dengan suara lantang.

"Ayah sama Bu Vina, apa kabar?"

Di sebrang sana, Aliya melirik kepada kedua orang tuanya. Vina menoleh dan tersenyum. Kemudian, ia memberi isyarat, agar Aliya saja yang mengatakannya.

"Alhamdulillah, mereka baik."

"Alhamdulillah."

...

Pesantren Ar-Rahiim sudah didekorasi dengan sangat cantik oleh anak-anak OSIS bagian kesenian, dibantu juga oleh eskul Estetika. Utamanya, memang tugas mereka dalam mempersiapkan acara perpisahan dan wisuda tersebut, tapi anak-anak lainnya juga ikut membantu. Mereka sangat antusias untuk memeriahkan acara yang merupakan salah satu program rutin di pesantren.

Rahma hadir lebih dulu di sana, ia sengaja datang lebih awal, berangkat dari pagi-pagi buta, agar bisa lebih lama mengenang setiap sudut yang ada di pesantren tersebut. Sebuah tempat indah berjuta kenangan. Bagi setiap angkatan yang lulus, pesantren tersebut selalu tersemat slogan 'Bukan Pesantren Biasa'. Sebab, mereka merasakan value yang sangat besar setelah belajar di sana.

"Umi, Abi, kita ke rumah Abi-eh Ustaz Malik dulu, yuk! Silaturahim dulu," ajak Rahma kepada kedua orang tua angkatnya, yang sangat menyayanginya seperti anak sendiri.

"Iya, ayo, Sayang."

Suasananya masih sangat sepi. Beberapa orang yang tak sengaja berpapasan dengan Rahma dan keluarga; Ustaz Akmal dan beberapa panitia, dibuat takjub karena kehadiran Rahma yang datang lebih cepat.

Tok tok tok.

Rahma lekas mengetuk pintu setibanya di depan rumah Ustadz Malik. "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

Rahma mengerutkan dahi ketika mendengar suara yang terasa tak asing di telinganya. Itu suara .... Rahma menerka-nerka, rasanya memang familiar sekali, tapi ia lupa siapa jelasnya.

Cklek.

Pintu pun terbuka, sesosok gadis cantik, mengenakan tema pakaian yang sama dengannya, hijau dan putih, hadir di hadapannya. Rahma seketika melongo melihatnya. Tak ada angin, tak ada hujan. Tepatnya, tidak ada kabar sama sekali, tiba-tiba sosok yang dirindukannya hadir di depan mata.

"Sabila!" Rahma memeluk Sabila dengan sangat erat.

"Rahma ...! Masyaallah, kita ketemu lagi!"

Tak lama kemudian, Rahma melepaskan pelukannya dengan Sabila. Wajahnya tampak tertekuk.  "Lo kok gak bilang-bilang mau balik?"

"Ish, biar surprise, tau!" balas Sabila. "Dan, tadaaa! Surprise saya berhasil, Bu Rahma!"

"Aaaaa, gue kangen banget sama lo!" Rahma kembali memeluk Sabila dengan erat, karena ia tau, ketika sudah lama tak bertemu dengan seseorang, sekali bertemunya tidak akan lama. Apalagi, setelah acara perpisahan ini, mereka akan fokus pada cita-citanya masing-masing. Tidak akan selalu bersama-sama seperti halnya di asrama dulu.

"Aku jugaaa, Ma," balas Sabila sembari melepas pelukannya, lalu menggenggam tangan Rahma. "Kita masuk aja, yuk! Kasian, Abi sama Umi kamu kalau kita terus-terusan pelukan di sini, nanti mereka pegel-pegel, karena gak ditawarin duduk di dalem."

"Hahaha, iya, Bil," ucap Rahma sembari memenuhi ajakan Sabila untuk masuk ke dalam rumahnya. "Aliya pasti bakal kaget pas liat kamu ada di Indo!"

***

Garut, 15 Agustus 2022
Nur Aida Hasanah

DUA PINTU SURGA✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang