30 : Harus Dibicarakan

21 2 0
                                    

Dua kendaraan roda empat melaju cepat menuju ke kediaman keluarga Dinata. Ketika sampai di depan gerbang, Paijo selaku satpam pun dengan sigap menekan tombol remot, sehingga pagar rumah pun terbuka. Kedua mobil itu pun lantas masuk ke pekarangan rumah dengan laju yang terlihat terburu-buru. Paijo pun menutup kembali pagar, lalu ia pun menghampiri mobil Tuannya.

"Dokter Marisa sudah datang ke sini?" tanya Deni setelah turun dari mobil dan berhadapan dengan Paijo.

"Sudah, Tuan. Barusan."

Denian pun membuka pintu belakang mobil, di sana ada Aliya yang masih tak sadarkan diri ditemani Vina yang menjaganya. Ia pun langsung menggendong putrinya dan bergegas ke dalam rumah, agar putrinya segera mendapat penanganan. Vina menyusul di belakang Denian, begitu pun dengan Alvin.

"Ayo, Pah, kita masuk!" ajak Kirana yang sejak tadi berdiri menyaksikan kekhawatiran keluarga Dinata.

"Ayo."

Kirana dan Fatan bergegas lebih dulu, sementara Ghani bergeming di tempatnya. Perasaannya terasa sakit melihat semua ini terjadi. Bukan ini yang Ghani inginkan.

Ana cuma ingin melepasnya supaya perasaan bersalah ini lepas, tapi ternyata, ana malah mendapat perasaan bersalah yang lebih berat.

"Den, gak ikut masuk?" tanya Paijo karena melihat Ghani sejak tadi hanya terdiam di samping pintu mobil.

Masuk, jangan? Ana rasanya udah gak punya muka lagi.

"Eeh, si Aden malah bengong!" tegur Paijo.

"E-eh, i-iya, Pak. Saya masuk." Ghani pun menyusul langkah orang-orang untuk masuk ke dalam.

Bugh!

Namun, baru saja ia sampai di ruang tamu, ia sudah mendapatkan hadiah istimewa dari Alvin. Wajah sahabatnya tampak merah padam, urat-urat di wajahnya menegang, dan matanya menyalang begitu tajam.

"Br*ngs*k! B*jing*n, Lo!" cerca Alvin sembari menarik kerah kemeja Ghani.

Brian yang kebetulan lewat di sana, lantas menghampiri mereka. Ia mencoba menarik tubuh Alvin, agar tidak membabi buta. "Istigfar, Kalvin! Istigfar!"

Alvin menulikan diri, ia semakin meradang. Ia kembali memukul Ghani dengan kasar. Sedangkan yang dipukul, terlihat pasrah saja.

"Kak Alvin! Berhenti!" Brian pun masuk ke sela-sela antara Alvin dan Ghani, supaya Alvin berhenti membuat Ghani babak belur. "Jangan pake kekerasan gini, Kak Alvin! Bicarain pake kepala dingin, bicarain baik-baik!"

"Apa lo masih bisa bicara baik-baik sama cowok yang udah bikin Aliya pingsan?!"

"Hah?" Brian sudah tahu kalau kakaknya pingsan, tapi ia tidak tahu kalau kakaknya pingsan karena calon iparnya sendiri. "Maksud Kak Alvin?"

"Ghani mau batalin perjodohan itu secara sepihak!"

Brian seketika terbelalak mendengarnya. Jika kakaknya hancur saat mendengarnya, dirinya pun ikut hancur. Terlebih, Brian sejak kecil tahu dan paham apa yang dirasakan Aliya, sedih dan bahagianya. Maka dari itu, ia mampu merasakan sama persis apa yang sedang dirasakan Aliya.

Brian berbalik, menghadap Ghani. "Kak Ghani," terdengar suaranya menahan tangis, "Aku yakin, Kak Aliya pasti berusaha menerima perjodohan itu, dan berusaha buat suka sama Kak Ghani. Tapi, apa yang kakak lakuin?! Tiga minggu lagi kalian nikah! Terus, Kak Ghani malah batalin dan bikin Kak Aliya sakit hati?!"

Ghani tak menjawab sepatah kata pun. Ia hanya bisa menunduk dan menangis di sana. Sejujurnya, jika Aliya terluka, ana juga terluka.

"Lebih baik Kak Ghani pergi! Gak usah datang-datang lagi ke sini!"

Ghani terisak. Dadanya pun sesak. Bukan ini yang ana harapkan, batinnya menjerit. Ia ingin sekali meluruskan kesalah pahaman yang terjadi ini, tapi semuanya tidak akan memungkinkan. Mereka semua pasti marah kepadanya dan akan menutup kuping jika ia menjelaskan maksudnya.

"Baik, jika itu baik untuk Aliya, saya akan pergi," ucapnya.

"Lo emang br*ngs*k!" pekik Alvin.

Ghani menghapus air matanya, mencoba menguatkan dirinya sendiri. Lantas ia pun berbalik badan, hendak meninggalkan rumah sang pujaan hati.

"Tunggu, Ghani. Bagaimana pun, kita semua harus bicara," cegah Deni.

Ghani pun berbalik badan, begitu pun dengan Brian dan Alvin yang melihat ke sumber suara. Rupanya, Deni bukan hanya seorang diri, ada orang tua Ghani juga ikut menyertai.

"Vina sedang menemani Aliya, kita bicara setelah dokter selesai periksa Aliya," lanjut Denian.

Ghani pun melirik ke arah kedua orang tuanya.

"Ghani, jangan pergi tanpa penjelasan. Masalah ini gak bakalan selesai kalau kamu pergi gitu aja, malah bakal semakin melebar dan menyakiti," terang Fatan.

"Iya, Ghani. Permasalahan itu bisa selesai, kalau dibicarakan, bukan dengan diam," tambah Kirana.

Ghani pun tersenyum haru, ia pun mengangguk. "Baik, ana akan bicarakan."

...

Setelah Dokter Marisa pulang dan selesai dengan urusannya. Nuansa sidang pun terasa. Ghani selaku terdakwa, duduk di hadapan Vina dan juga Denian. Namun, Ghani tidak sendiri. Tentu saja, ia ditemani Fatan dan juga Kirana.

Malam ini, sepertinya akan menjadi malam yang paling bersejarah untuk Ghani. Sebab, selain keluarga Dinata yang menghadiri sesi tabayun (klarifikasi) ini, ada keluarga Amarta juga. Mereka hadir sesaat setelah Dokter Marisa pulang.

Jadinya, selain di hadapan Ghani ada Deni dan Vina, di sofa sisi kanan, ada Alvin dan Brian. Kemudian, di sisi kiri ada Farah, Davin, dan Omah Ranti. Nuansa khas persidangan pun semakin terasa. Apalagi, jam menunjukkan sudah pukul 12.30 malam, tidak heran kalau keheningan malam menambah rasa tegang di hati Ghani.

Sementara itu, Arsen, Naya, Candra, dan David, mereka duduk di ruang keluarga sembari menonton tayangan televisi. Sengaja mereka disuruh ke sana, umur mereka masih terlalu belia untuk terlibat dalam permasalahan tersebut. Mbok Inah ikut menemani mereka di sana, karena hanya Naya yang perempuan, ia harus menemaninya meski hatinya sendiri gundah dan penasaran dengan apa yang diperbincangkan di sana.

Bagaimana pun, Aliya sudah dianggap putri sendiri oleh Inah. Ia yang mengasuh Aliya sejak masih bayi. Wajar jika hatinya kini cemas. Akan tetapi, Inah tak bisa membantah tatkala ia diperintahkan untuk menemani anak-anak di ruang keluarga, ia sadar akan statusnya, kalau ia hanyalah ART di rumah tersebut.

Simbok harap, semoga hasil perbincangan mereka adalah yang terbaik menurut Allah. Begitulah Mbok Inah dengan kerendahan hatinya. Ia tak mempermasalahkan, dan ia juga tak berhenti berdoa untuk kebaikan Aliya.

***

Garut, 8 Desember 2022

DUA PINTU SURGA✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang