27 : Berubah Pikiran

25 3 0
                                    

Rahma menghadapkan tubuhnya ke hadapan Aliya, ia mendengarkan penuturan Aliya dengan seksama. Matanya pun hanya fokus melihat Aliya, itu menunjukkan kalau ia sedang menaruh perhatian penuh untuk menyimak cerita sahabatnya.

"Semenjak kejadian itu, aku takut dideketin sama keluargaku sendiri, padahal kayak gak besar kejadiannya, sepele. Gak banyak yang kurang juga dari aku ...."

Rahma buru-buru memotong. "Enggak gitu, Al. Siapa pun yang pernah ngalamin kejadian itu, pasti bakalan ngerasa was-was setelahnya. Wajar kok kamu trauma, jangan ngerasa itu 'sepele'."

Aliya tersenyum, mengiyakan dengan anggukannya.

"Tapi, aku ngerasa aman, gak takut, ke Arsen sama Ghani. Mungkin, karena mereka nolongin aku pas kejadian itu. Juga mungkin, karena mereka bukan mahram aku dan tau batasan masing-masing. Jadinya, aku ngerasa aman begitu," lanjut Aliya sembari mengelap air mata yang sudah menetes sejak awal bercerita.

Rahma sebenernya tidak meminta Aliya untuk bercerita. Bahkan, sahabatnya itu sudah mencegahnya untuk tidak menceritakan semua itu kepadanya. Namun, Aliya menenangkannya kalau ia sudah tidak terlalu sedih. Meski pada kenyataannya, bulir-bulir bening itu membasahi pipinya.

"Ehm, kayaknya kamu bakal bahagia banget, ya, kalau nikah sama Ghani." Rahma menggoda Aliya, agar sahabatnya itu tidak terlalu diselimuti hawa kesedihan dari kenangan buruknya.

Aliya tersipu malu mendengarnya. Ia menutupi mulutnya yang spontan tersenyum lebar.

"Ghani orang yang baik, Al. Insyaallah, dia bisa jadi Imam yang baik buat kamu. Lagian, aku udah tau dari lama kalau Ghani suka kamu. Cuma aku gak nyangka aja gitu, secepat ini? Waw, Ghani bener-bener gentle man!"

"Oh, ya? Kok kamu bisa tau?"

"Aku pernah mergokin dia lagi liatin kamu. Waktu itu, kan, Alvin lagi panahan di lapang pesantren, dia kan nontonnya di tempat duduk penonton yang ada di sebrang tempat duduk kita. Aku liat, sorot mata Ghani gak lepas dari satu titik, ternyata pas aku liat, titik itu tuh kamu, Al. Dia langsung kaget, pas nyadar kalau lagi aku liatin. Dia langsung nyuruh aku tutup mulut lewat isyarat." Rahma menaruh telunjuknya di depan bibir, mempraktekkan apa yang Ghani lakukan ketika ia pergoki pada kejadian itu.

Pipi Aliya mendadak terasa panas. Rupanya, rona kemerahan tampak jelas di kedua pipi. Ia pun menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Ya Allah ... Ghani!"

...

Tok tok tok

Kala itu, pintu ruangan kerja Denian diketuk dari luar, Denian yang sedang fokus pada layar komputernya pun lantas menengok ke arah pintu. Biasanya, jika ada yang akan masuk ke ruangan di saat jam kerja dan tanpa membuat janji terlebih dahulu dengan Denian, berarti yang datang adalah keluarganya. Seketika itu pula, Deni merasa tidak enak hati. Sebab, yang sering datang ke kantornya di saat-saat seperti ini adalah Vina, entah itu datang dengan membawa makanan, memberi hadiah, atau meminta uang.

"Ayah ada di dalam?"

Denian bernapas lega, karena yang ia dengar bukanlah suara Vina. Melainkan, suara putranya.

"Masuk, Brian."

Brian pun membuka pintu, tampak anak muda itu masih menggunakan seragam sekolahnya dan menenteng tas. Kemudian, ia pun duduk di kursi yang ada di hadapan ayahnya.

"Kok gak sekolah?" tanya Denian sembari menyodorkan sebotol air mineral ke hadapan Brian.

"Cuma satu pelajaran, terus dipulangin, guru-gurunya lagi rapat," jawab Brian yang kemudian membuka tutup botol. "Brian main deh ke sini, udah lama banget gak ke sini." Brian pun meneguk air mineral tersebut.

"Ooh gitu, Yan. Heem sih, udah lama kamu gak ke sini, sibuk organisasi mulu," balas Denian sembari menaruh kacamatanya di meja.

"Hehe. Sebenernya, Yah, maaf kalau terkesan to the point, aku ke sini mau bicara."

"Boleh boleh saja kok, silakan aja kalau kamu mau bicara. Ayah gak akan marah."

"Emm, Ayah. Sama seperti halnya Kak Aliya, Candra, juga David, kalau Brian ini gak mau Mamah sama Ayah pisah. Brian bener-bener mohoon bangeet, Ayah pertimbangin lagi soal ini. Kami butuh kalian berdua. Kami gak mau kalian pisah."

Deni menghela napas panjang setelah mendengarnya. Selama ini, tidak ada kata setuju yang terlontar dari mulut keempat anaknya. Tidak ada yang ridha dengan keputusannya untuk berpisah. Bahkan, David sampai jatuh sakit setelah mendengar kabar perceraian itu. Candra juga sempat mogok makan. Kalau Aliya ... sepertinya tak perlu dipertanyakan lagi.

"Kalian tetep bisa dapetin kasih sayang Mamah sama Ayah, tapi Ayah gak bisa sama-sama Mamah lagi," balas Denian.

"Yah, gini deh. Lupain dulu soal aku, Candra, sama David yang udah dapet kasih sayang full dari Mamah sama Ayah sejak bayi." Brian menjeda sejenak ucapannya. "Tolong, pikirin Kak Aliya yang selama ini berjuang buat dapetin kasih sayang kalian. Kakak udah nanggung banyak banget kesedihan karena kalian selama ini. Sekarang, Ayah mau bikin Kakak nanggung kesedihan yang lebih besar lagi?"

"Maaf, Pak Denian," tegur Dina karena melihat Denian bergeming begitu lama setelah sebelumnya ia mengajukan pertanyaan, "Kalau Bapak bersih kukuh untuk bercerai dengan Bu Vina, lantas bagaimana dengan keempat anak kalian?"

Denian tersadar dari lamunannya, ia pun melirik Vina yang sedang menghapus air matanya dengan tisu. Sempat ada perdebatan di antara mereka berdua di sesi mediasi ini. Namun, Denian tak bisa menyangkal, kalau memang ada yang berbeda dari diri Vina. Vina tak lagi menyalahkan siapa pun atas kesalahan yang pernah dilakukannya, termasuk Denian. Vina mendebatnya, karena ia terus memberikan argumen-argumen agar Denian tetap bertahan dalam pernikahan mereka.

"Maafkan aku, Vina," kata Denian.

Sontak Vina pun menoleh ke arah Denian dengan mata yang berbinar. Begitu pun dengan Dina, ia sedikit terkejut, kemudian tersenyum mendengarnya.

***

Garut, 22 November 2022

DUA PINTU SURGA✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang