26 : Progres yang Baik

25 3 0
                                    

"Alhamdulillah, dalam dua minggu ini, progres Aliya cukup bagus, ya. Sekarang, sudah tidak takut lagi dengan mahram-mahramnya yang laki-laki," ucap perempuan berjas putih dengan nametag di sebelah dada kirinya, yang bertuliskan 'Linda Marina Putri'. Perempuan muda—yang sepertinya fresh graduate—itu menangani pasiennya dengan profesional.

"Alhamdulillah, Kak," Linda yang psikiater muda itu lebih suka dipanggil 'Kakak', supaya lebih akrab juga dengan pasiennya, "Awalnya, aku juga gak nyadar udah gak setakut itu. Mungkin, karena kasih sayang besar yang mereka kasih, jadi perasaan takut aku bisa kalah."

"Allah Maha Besar, ya. Gak ada yang mustahil. Insyaallah, Aliya bakalan cepet pulih. Aliya itu hebat mengelola emosinya. Mungkin karena hafizhah juga, ya, makanya hatinya lebih lapang. Ini jadi bukti, kalau Al-Qur'an tuh benar-benar obat." Dokter Linda terlihat kagum dan sangat tersentuh, ia mendapat pelajaran baru dari pasiennya.

"Hadza min fadhli Rabbii," (Ini keutamaan/ karunia dari Tuhanku) balas Aliya diakhiri dengan senyumnya yang mengembang.

Setelah sesi konsulnya selesai, Aliya pun menghampiri Inah dan juga Alvin di kursi tunggu, depan ruangan Dokter Linda. Mereka menemani Aliya ke sini, biasanya yang selalu menemani Aliya adalah Deni. Hanya saja, Deni harus pergi ke kantor Pengadilan Agama untuk melakukan mediasi.

"Ayah yakin mau pisah sama Mamah? Aliya liat, setelah Mamah ditangani psikiater, pribadinya keliatan lebih tenang."

Denian menghela napas panjang, Aliya sulit mengartikan ekspresi yang tergambar di wajah ayahnya. "Dalam hidup, ada hal yang harus kita relakan, Al."

Alvin merangkul adiknya dengan mesra. Sebagai kakak yang sempat mendapat penolakan dari adiknya, sensasi kebahagiaan yang Alvin rasakan ketika merangkul adiknya, berbeda daripada sebelum-sebelumnya. Rasanya lebih indah dan membahagiakan.

"Gue ada kejutan lho buat lo," ucap Alvin yang seketika membuat Aliya menatap dan mengerutkan dahinya.

"Kejutan?"

"Iya, ya, Mbok, kejutan." Alvin melirik ke arah Inah sambil manggut-manggut.

"Bener, Neng. Kejutannya itu-"

Alvin cepat-cepat memotong, "Kalau dikasih tau, gak bakal jadi kejutan dong, Mbok."

Melihat Alvin mengerucutkan bibirnya, membuat Inah dan Aliya tertawa kecil.

"Enggak, Mbok cuma mau bilang, kejutannya itu ada di rumah Den Alvin," jelas Inah.

"Wah, aku jadi penasaran! Kita cepet ke sana, yuk! Aku pengen liat kejutannya!"

"Let's go, Tuan Putri!"

...

Di sebuah ruangan, ada Denian, Vina, dan seorang mediator duduk. Suasana tampak hening sebelum mediator itu memulai pembicaraan. Vina dan Denian sama-sama merasa canggung duduk bersebelahan.

"Baik, perkenalkan nama saya Dina Dian Irawan, selaku mediator pada sesi mediasi kali ini. Benar dengan Bapak Denian?" tanya Dina yang kemudian dibalas dengan anggukan. "Dan ini, Bu Vina, ya?" Vina pun membalas dengan anggukan saja.

"Di tahap mediasi ini, Ibu dan Bapak diharapkan bisa menyelesaikan permasalahannya dengan baik. Jika tahap mediasi ini berhasil, maka Bapak dan Ibu tidak perlu maju ke meja persidangan. Sebaliknya, jika tahap mediasi ini tidak berjalan dengan baik, maka proses persidangan perceraian akan dilangsungkan. Itu semua, ada di tangan kalian."

Vina dan Denian sama-sama diam dan mendengarkan penjelasan Dina dengan seksama.

"Apakah Bapak dan Ibu akan tetap melanjutkan persidangan?"

"Ya, tidak ada lagi yang harus dipertahankan," balas Denian tegas. Mengingat, apa yang Vina lakukan selama ini, membuat Denian kukuh dalam pilihannya sejak awal.

Vina yang mendengar itu lantas menoleh ke arah Denian yang sorot matanya menatap lurus ke depan. Tampak, air mata Vina terbendung di pelupuk mata. Segitunya, Mas Denian? Pintunya benar-benar tertutup untukku? batin Vina.

"Kalau untuk Bu Vina sendiri?"

Vina sejenak menatap mediatornya dengan tatapan sedih. Ia memantapkan hati untuk berkata. "Apa yang dia mau, jika itu yang terbaik menurutnya, maka saya akan terima."

Terkejut, baru kali ini, Denian mendengar Vina begitu ikhlas menerima kenyataan yang diterimanya. Biasanya, perempuan itu sering uring-uringan dan emosian, selalu enggan untuk menerima kekalahan sedikit pun.

Jadi, yang Aliya katakan itu benar? batin Denian sembari menoleh ke arah Vina yang tatapannya tengah lurus ke depan.

Denian memang tidak menginjakkan kaki di rumah lagi semenjak hari itu, ia selalu berteduh dari terik dan hujan di apartemennya. Hal itu juga yang membuat Denian sedikit tercengang ketika mendengar kalimat yang dilontarkan istrinya.

Hatiku sesek, Mas. Tapi ... aku gak bisa berbuat banyak. Kamu terlalu keras kepala untuk membatalkan perceraian ini.

"Ok, baik. Pertama-tama, saya ingin mengajak kalian untuk bernostalgia terlebih dahulu. Kapan, bagaimana, dan di mana kalian bertemu untuk pertama kalinya? Lalu ingat, masa-masa romantis kalian bersama."

Mendengar pertanyaan itu, seketika Deni dan Vina pun sama-sama menoleh ke arah satu sama lain. Mereka saling menatap cukup lama.

...

"Surprise!"

"Rahma!"

"Aliya!"

Mereka langsung berpelukan sembari melompat-lompat setelah saling bertemu di ruang tamu. Alvin dan Inah yang melihat itu, tersenyum lebar. Senang, bisa melihat Aliya bahagia setelah bertemu dengan teman karibnya.

"Gue turut prihatin sama yang lo alamin, ya. Maaf, gue baru bisa dateng. Gue baru pulang kemarin dari NTT, ikut umi-abi yang ada urusan di sana," ucap Rahma yang masih memeluk Aliya dengan erat.

"Gak pa-pa kok, Ma. Gak usah merasa bersalah, aku paham kok."

"Masyaallah ... Sekarang keadaannya gimana? Keliatannya lo udah ada progres baik, ya, bener?"

"Alhamdulillah, Ma. Ayo deh, kita ngobrol-ngobrol," ajak Aliya sembari membawa Rahma ke sofa.

"Kalian ngobrol-ngobrol dulu, ya. Mbok mau ketemu Bu Farah," pamit Inah, yang kemudian mengangguk kepada Alvin, sebagai isyarat agar Alvin mengantarnya bertemu Farah.

Alvin yang memahami itu, lantas mengangguk dan pamit undur diri di ruang tamu.

Rahma bersidekap di depan dada setelah Alvin dan Inah melengos dari sana. Ia memasang wajah cemberut yang membuat Aliya spontan mencubit pipinya yang telihat agak chubby.

"Kenapa siih?" tanya Aliya.

"Ish, kamu tuh mau nikah gak bilang-bilang. Bener-bener ih kamuuuu. Gitu sama deh sahabat sendiri!"

Aliya tertawa kecil dan mengatupkan kedua tangannya. "Ampun, Bos. Nanti deh aku ceritain."

***

Garut, 18 Nov 2022

DUA PINTU SURGA✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang