23 : Tak Karuan

25 3 0
                                    

"Mbok gila! Ngapain pake psikiater segala? Saya gak gila!" teriak Vina sambil memberantakan barang-barang di kamarnya.

Kamarnya sudah seperti kamar pecah. Ranjangnya sudah tak apik lagi. Sprei bantal, guling, selimut, semua dilempar ke sembarang arah. Bahkan, dengan emosinya Vina tak segan-segan melemparkan skin care mahalnya ke lantai, sampai semuanya berceceran.

"Bu, jangan teriak-teriak begini, ini sudah tengah malam," pinta Inah sembari memegang lengan majikannya, supaya berhenti memporak-porandakan kamar besarnya itu.

"Semua ini salah, Mbok! Saya gak gila, tau! Gak usah pake acara bawa Dokter Gladis itu ke sini!" Vina tak menurunkan nada suaranya, ia juga menepis tangan Inah dengan kasar. Matanya menyalang.

"Dirawat oleh ahli jiwa bukan berarti ibu gila. Ini buat kebaikan ibu, supaya jiwa ibu lebih tenang," jelas perempuan yang selalu mengenakkan setelan daster panjang dan kerudung instannya itu, agar Vina bisa mengerti maksud baiknya.

"Alah! Sok banget sih, Mbok!"

Vina semakin menambah gurat kesedihan di wajah Inah, juga menambah gores di hatinya. Meski begitu, Inah tak bisa menyerah atau pergi dari rumah tersebut. Sebab, Inah juga sayang dengan keluarga Dinata. Inah ingin semuanya bisa berubah ke arah yang lebih baik. Supaya rumah itu tidak terus-menerus diselimuti oleh suasana mencekam, yang berasal dari Tuan dan Nyonya-nya sendiri.

Dug!

Pintu di banting kuat dari luar. Vina dan Inah pun sontak menoleh ke arah pintu. Anak kedua keluarga Dinata itu berdiri sembari berkacak pinggang di sana. Sorot matanya tajam. Senyum pun tak tampak di bibirnya.

"Aden ...," lirih Inah.

Brian menyapu pandangan di sekitar kamar ibunya itu sembari melangkah mendekat ke raga Vina. Ia geleng-geleng dan terlihat lelah sekali dengan kelakuan ibunya.

"Candra sama David ikut kebangun gara-gara Mamah teriak-teriak," kata Brian sambil menatap mata ibunya yang tajam itu tanpa takut.

Candra dan David tidur di rumah, karena Deni menjaga Aliya di rumah sakit. Deni tidak mungkin membiarkan kedua anaknya itu tanggal di apartemen tanpa ditemani orang dewasa. Makanya, Deni meminta Brian untuk menjemput dan menjaga adik-adiknya di rumah.

"Sampai kapan sih, Mamah berhenti bersikap kekanak-kanakan?"

"Mamah gak mau dirawat sama psikiater, Brian! Mamah gak gila, tau!" balas Vina, yang selalu tak mau disalahkan.

"Itu bukan berarti Mamah harus marah-marahin, Mbok! Brian yang cariin psikiaternya, Mah. Dokter Gladis itu ibu dari salah satu teman Brian.  Psikiater yang berkualitas. Mamah gak perlu khawatir apa-apa, atau berpikiran macem-macem, deh."

"Apa? Jadi, kamu-"

Sebelum nada bicara Vina meninggi kembali, Brian lekas menyela, "Kalau mamah pengen ayah batalin peceraian itu, nurut sama Brian. Mamah harus mau dirawat sama Dokter Gladis."

Seketika, Vina pun diam. Tak melontarkan bantahannya kembali.

...

Denian membuka mata perlahan, ia mendudukkan tubuhnya yang terbaring di atas sofa empuk. Ia mengumpulkan nyawanya terlebih dahulu. Matanya terasa berat. Ia sangat mengantuk. Mungkin, karena akhir-akhir ini tidurnya tidak nyenyak.

Jam yang menggantung di dinding, tepat di depan Denian, menunjukkan pukul tiga dini hari. Ia pun menoleh ke arah putrinya yang semalam kembali histeris dan kembali disuntikkan obat penenang oleh dokter.

Mata Denian seketika terbelalak. Rasa berat dari kantuknya mendadak hengkang. Jantungnya berdetak tak karuan. Panik menjalar begitu cepat di dalam hatinya.

"Aliya?!"

Ia berlari menuju kamar mandi yang pintunya terbuka lebar. Semakin tak karuan perasaannya, ketika ia tak menemukan raga putrinya di sana. Lebih tepatnya, raga putrinya itu tak ia temukan di dalam kamar.

Denian semakin merasa frustasi ketika melihat selang infus putrinya sengaja dicabut. Darah segar membekas pada selang infusnya, mungkin Aliya belum lama pergi dari kamar.

"Dia pergi ke mana? Kondisinya kan ... Ah, bagaimana kalau dia kenapa-napa?"

Di sisi lain, perempuan berkerudung biru dengan jaket warna denim itu melarikan diri dari gedung bercat putih. Ia kabur lewat pintu belakang. Ia masih mengenakkan pakaian rumah sakit, terlihat dari celana biru yang ia kenakan. Pun, dengan alas kaki yang tidak dikenakannya.

Sesekali tangannya mengusap air mata yang jatuh di pipi. Rapuh hatinya. Hancur. Juga, merasa tak lagi berguna.

Apa yang ia lakukan semalam?

Cinta pertama yang ia dambakan selama ini, 18 tahun lamanya. Justru, ia sakiti hatinya dengan kejam. Ia berteriak tanpa sopan santun. Bersikap kasar dan tidak menghormatinya.

Salah satu pintu yang selama ini ia rindukan, telah ia dapatkan. Ayahnya mulai luluh kepadanya. Bahkan, tersirat di mata pria itu, bahwa dia ingin menjadi sosok ayah yang bisa benar-benar menyayangi putrinya. Bukan sandiwara lagi seperti sebelumnya.

Namun, sekarang ia justru lari dari apa yang ia dambakan selama ini. Hatinya merasa tak kuat, jika harus menghadapi kenyataan, kalau ia tidak akan bisa memberikan timbal balik yang selaras dengan kasih sayang ayahnya. Ia takut, menyandang gelar anak durhaka. Ia tidak mau itu terjadi.

Tama sukses menghancurkan hidupnya. Meski pria itu tak berhasil melancarkan aksi bejatnya, tapi sedikitnya, apa yang telah ia lakukan itu sudah berhasil membuatnya hilang arah. Berhasil, membuat Aliya mengutukki dirinya sendiri, tanpa henti.

Walau tertangkap, tapi sepertinya Tama tak gagal merealisasikan niat busuknya itu. Mungkin aku akan hidup sengsara seperti ini seumur hidup, batin Aliya patah arang.

Malam begitu gelap, langkahnya yang tak bertujuan, membuatnya tiba di sebuah jalan yang sepi. Rasa cemas pun semakin menyeruak, ingatan akan kenangan itu kembali mengusik pikirannya.

Langkahnya berjalan mundur. Ia takut, jika terus berjalan ke depan bahaya akan muncul di depannya.

Namun, sekonyong-konyong sebuah tangan menyentuh pundaknya.

Deg!

***

Garut, 19 Oktober 2022

DUA PINTU SURGA✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang