4 : Perjodohan

28 4 0
                                    

"Pak Denian, keluarga kita ini ... sudah lama sekali menjalin kerja sama. Apakah Bapak tidak ingin, hubungan kerja sama kita bisa semakin erat lagi?" ucap seorang pengusaha tersohor, yang merupakan investor perusahaan Surya Dinata sejak lama—sejak Surya masih hidup.

Pria itu, sama seperti halnya Denian. Ia merupakan pewaris tunggal perusahaan ayahnya, yang dulu bekerja sama dengan Surya.

"Maksud Pak Fatan, apa, ya?" tanya Denian kurang memahaminya.

Pria itu bernama Fatan, ia tengah memandang pemandangan kota lewat kaca ruangan kerja Denian. Lantas, pria itu membalikkan badan, lalu berjalan melewati Denian untuk menghampiri sebuah bingkai foto besar yang menampilkan keluarga bahagia.

Tampak dari foto tersebut, foto Denian dan Vina bersama dengan Brian, Candra, dan juga David, di sebuah studio foto.

"Tiga anak laki-laki," gumam Fatan sembari mengukir senyuman yang memiliki arti.

"Saya punya anak laki-laki, usianya sebentar lagi 18 tahun. Pak Denian tau sendiri, dia anak saya satu-satunya. My Fatih, kesatria saya." Setelah berkata seperti itu, Fatan menghadapkan tubuhnya dengan Denian.

Tatapan mata Fatan, membuat Denian merasa ada sesuatu yang aneh dari rekan kerjanya itu. Fatan seperti memiliki suatu niat atau mengetahui sesuatu yang ia sembunyikan. Hal itu, membuat Denian merasa gugup dan mengernyitkan keheranan.

"Lalu, apa yang kau mau?"

"Saya tau, Anda memiliki seorang putri, seusia My Fatih. Dan, saya ingin, mereka menikah. Kalau tidak ...," Fatan menjeda ucapannya, membuat Denian merasa semakin tidak enak hati, "saya akan berhenti berinvestasi di sini!"

Kehilangan sokongan dari seorang Fatan, sama saja dengan sengaja menggulung tikar perusahaan sendiri. Perkebunan milik Fatan itu terkenal luas, banyak, dan tersebar di mana-mana. Jika Denian kehilangan suplai dari Fatan, maka otomatis lahan produksinya akan berkurang, jumlah barang berkurang, banyak karyawan yang di PHK, dan banyak kantor cabangnya yang akan ditutup. Itulah mengapa, Denian mau tidak mau, harus menuruti kemauan Fatan, apa pun itu. Karakter Denian yang arogan dan penuh gengsi, jelas membuatnya tidak ingin kehilangan harta yang sudah dimilikinya.

Fatan memang sangat mengenal Denian, ia mampu melesatkan serangan jitu, sampai pria itu tak dapat berkutik di hadapannya.

Pria berumur 45 tahun itu, dari segi karakter jauh berbeda dengan Denian. Jika Denian memutuskan perjodohan dari orang tuanya, Fatan justru berhasil membina pernikahan yang dilandasi oleh perjodohan. Bahkan, cinta tulus tercipta di dalam pernikahannya. Selain itu, jika Denian merupakan orang yang galak, pelit, dan sombong. Fatan merupakan orang yang ramah, dermawan, dan rendah hati. Terlebih lagi, Fatan suka menjaga salat lima waktunya dengan baik.

Karakter mereka berdua bertolak belakang.

Namun, Fatan tidak pernah ingin memutuskan kerja sama mereka, karena ayahnya dan ayah Denian sudah menjalin hubungan silaturahmi yang sangat baik. Fatan tidak mau menghancurkan hubungan baik yang sudah dibina puluhan tahun oleh mereka.

"Jangan kira, ketika Anda menutupinya, saya tidak mengetahui apa-apa. Saya mengetahuinya. Anda, memiliki anak selain tiga anak laki-laki ini. Satunya, Aliya dan satunya lagi, Alvin."

"Tidak mungkin! Anda tahu itu semua dari siapa?" Denian merasa tersudut saat itu juga.

"Tidak penting saya tahu dari siapa. Yang terpenting sekarang, pertimbangkan penawaran saya!"

Fatan tidak memiliki niat jahat atas alasan di balik penawarannya tersebut. Ia meyakini, bahwa itu adalah jalan yang terbaik.

"Bagaimana rasanya, Denian, ketika kau harus menurunkan gengsimu itu?" Gumam Fatan yang tengah memandangi punggung Denian yang berjalan menjauhi tempat di mana ia berada.

...

"Aaaaa! Kangen bangeettt!"

Sekonyong-konyong Aliya berhambur ke pelukan Sabila tatkala melihat raganya di depan mata. Sama seperti halnya Rahma, Aliya juga sangat terkejut dengan kehadiran Sabila di tanah air. Satu tahun sudah mereka tidak bersua, kerinduan yang tercipta selama itu, kini tertumpas kilat.

"Alhamdulillah, ya Allah .... Akhirnya, bisa ketemu Bila lagi," lanjut Aliya yang masih memeluk erat sahabatnya.

"Alhamdulillah, aku juga seneng nih. Akhirnya, bisa ketemu calon masisir," balas Sabila sembari tersenyum manis menatap wajah sahabatnya.

(Masisir = Mahasiswa/ (i) Mesir).

"Aku kuliahnya masih setahun lagi, soalnya pas ke sana harus ngulang dari kelas 10."

"Gak pa-pa, Bil. Pokoknya, aku bakalan tunggu kamu di kampus nanti!"

"Baik, Kating!" balas Sabila sembari melakukan gaya hormat.

"Enak, ya, kaleeaan! Tinggal di negeri yang sama nanti," timpal Rahma sambil memanyunkan bibirnya, cemberut. Ya, hanya Rahma sendiri yang akan kuliah di Indonesia, ia sudah mendaftarkan diri ke LIPIA, Jakarta.

"Ututututu." Sabila mencubit pipi Rahma pelan. "Tenang aja, kita gak bakalan lupain kamu kok. Kita, kan, bestie!"

"Betul tuh, BESTIE!" tambah Aliya sangat antusias.

"Aaaa ... nanti bakal kangen banget," ujar Rahma sembari merangkul kedua sahabatnya.

Sementara itu, Alpha yang baru saja menyerahkan terminal kepada Ustaz Akmal, untuk keperluan panggung, kini menyusuri koridor untuk bisa sampai di meja kantin. Di grup WhatsApp AGA-AGA (AGA; akronim dari Alpha, Ghani, Alvin), sudah terkonfirmasi dengan akurat, bahwa kedua sahabatnya sudah tiba dan bersua di kantin sana.

Alpha melebarkan senyuman ketika dua batang hidung sahabatnya itu terlihat di depan matanya. Mereka berdua melambaikan tangan kepadanya, ia pun dengan semangat, bergegas menghampiri mereka.

Kepalan tangan mereka beradu satu sama lain, sebagai bentuk 'tos'.

"Kuncen pesantren nih, apa kabar?" tanya Alvin.

Semenjak selesai urusan di sekolah, Alpha lebih banyak menghabiskan waktunya di Pesantren Ar-Rahiim, mengabdikan diri dengan ikut membantu Ustaz Akmal di asrama, membimbing eskul IPMA yang pernah ia pelopori, dan lain sebagainya. Baginya, Pesantren Ar-Rahiim adalah 'rumah', setelah ia menjadi seorang mu'allaf.

"Haha, alhamdulillah baik, Bro!"

"Keren lah, calon Ustaz Ar-Rahiim," puji Ghani setelah melihat pakaian yang Alpha kenakan. Baju koko dengan perpaduan warna hijau-putih, celana hitam, dan peci putih.

"Alhamdulillah," balas Alpha. "Gimana nih, Vin, si Ghani kebelet nikah. Kita jodohin aja sama siapa gitu, siapa tahu dengan begitu, penyakit kebeletnya keobatin."

"Keren ide lo!" komentar Alvin sembari mengacungkan jempol.

"Yeehh, jangan main jodoh-jodohin aja, kalian! Ana udah dijodohin tahu!" larang Ghani tanpa pikir panjang. Spontan saja, ia langsung berkata seperti itu. Sampai pada akhirnya, ia merutukki dirinya sendiri karena sudah berbicara tanpa dipikir terlebih dahulu.

"Hah? Lo dijodohin sama siapa?!"

***

Garut, 22 Agustus 2022
Nur Aida Hasanah

DUA PINTU SURGA✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang