21 : Harapan Baru

28 2 0
                                    

Ting!

"Lepasin, Pak! Jangan seret saya begini!" Vina tak berhenti meracau sejak Denian mengusirnya dari kamar Aliya dan meminta bantuan satpam untuk membawa Vina pergi.

Kedua satpam yang memegangi lengan Vina, di bagian kanan dan kirinya, hanya bisa menulikan telinga dan mempercepat langkah agar segera sampai ke lobi. Denian telah menitipkan uang kepada mereka untuk memesankan taxi ketika sampai di depan nanti.

"Nyonya!"

Vina langsung melepaskan diri dari genggaman kedua satpam itu, dan mendekat ke arah Inah, yang datang bersama seorang perempuan berjas putih—layaknya dokter.

"Mbok, Mas Deni usir aku, Mbok!"

Sudah aku duga, Nyonya ada di sini. Untung aku datang sama psikiaternya, batin Inah sembari bernapas lega, karena ia bisa menemukan Nyonya rumahnya yang pergi begitu saja dari rumah secara diam-diam.

"Iya, Iya, Nyonya. Nyonya yang sabar, ya," ucap Inah sembari mengusap-ngusap punggung Vina.

"Maaf, Bu. Sebaiknya ibu ini segera dibawa pulang, karena ibu ini menganggu kenyamanan rumah sakit," saran salah satu satpam yang tadi menyeret Vina ke bawah.

"Ini, ada titipan uang dari Bapak yang tadi untuk biaya taxi," ucap satpam yang lain sambil memberikan uang yang diberikan Denian sebelumnya.

"Baik. Terima kasih, ya, sudah amanah," balas Inah yang kemudian digubris dengan anggukan oleh kedua satpam tersebut. 

"Ibu, sekarang pulang saja dulu, ya. Tenangkan diri Ibu," pinta Inah dengan lembut. "Ibu Vina bisa pulang sama Bu Gladis ini."

Wanita berjas putih itu pun tersenyum ke arah Vina yang terlihat kebingungan.

"S-siapa dia, Mbok?"

"Ibu ikut saja dulu. Beliau ini orang baik kok."

Tanpa pikir panjang dan perdebatan yang memanjang, Vina pun menurut saja apa yang dikatakan oleh ARTnya itu. Ia lelah jika harus berdebat lagi.

Vina pun pergi bersama perempuan bernama Gladis itu ke dalam taxi. Perempuan itu tak lain, adalah seorang ahli psikis yang dipinta Inah untuk merawat majikannya. Sebab, sepenglihatan Inah, suasana hati Vina sangat acak-acakan, sehingga perilakunya pun selalu terlihat tak sedap di pandang.

Inah tidak ikut pulang bersama Vina, ia ingin menjenguk putri kesayangannya itu. Kabar mengejutkan yang ia dapat dari Alvin, jelas membuat hatinya bergejolak marah dan juga merasakan sedih yang teramat. Seorang putri yang ia rawat begitu baik sejak masih bayi, sekarang mendapatkan musibah yang begitu besar.

"Assalamu'alaikum," ucap Inah setibanya di depan kamar inap Aliya.

Terlihat, semua orang tengah menunggu di kursi depan ruangan. Mereka juga terlihat melamun sebelum Inah menyapa mereka dengan salam, tak terkecuali dengan Denian.

"Wa'alaikumussalam."

"Mbok," sapa Alvin sembari mengukir senyum tipis. "Aliya lagi ditangani dokter. Soalnya, Bu Vina tadi datang. Dia marah-marah, ngedesek Aliya buat cerita. Jadinya, Aliya ...." Alvin tak melanjutkan perkataannya, ia rasanya tak sanggup untuk memaparkan kesedihan adiknya lebih banyak lagi.

Mata Inah terlihat berkaca-kaca. Bahkan, sampai akhirnya, ia tak bisa membendung air matanya lagi. Terbayang semua cerita Aliya, mengenai kenangan-kenangan buruknya, mengenai rasa sakit yang pernah ia dapati sejak kecil, dan sekarang? Gadis rapuh itu harus mengalami luka yang lebih berat lagi.

"Ya, Allah ... Neng Aliya." Inah menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara isakan.

Brian langsung memeluk Inah, yang sudah menjadi ibu kedua baginya. "Kak Al, kasian banget, Mbok," ucap Brian sembari menitikkan air matanya.

Inah mengangguk sembari menepuk-nepuk kepala Brian. "Aku harap, Neng Aliya bisa mendapat kebahagiaan yang lebih besar daripada luka-lukanya selama ini."

"Aamiin," lirih Alvin, Ghani, dan Brian.

Inah beralih, menghampiri Denian yang sedang berdiri dan menyandarkan punggungnya pada tembok. Ia lantas mengatupkan kedua tangannya di hadapan Deni.

Deni yang sedang melamun, langsung mengernyit ketika melihat Inah bersikap seperti itu. Baginya, Inah bukan hanya ART, tapi sudah seperti keluarga sendiri. Perempuan paruh baya itu sudah mengabdikan diri cukup lama untuk keluarga Dinata—dari Denian berumur 15 tahun—sejak Papahnya masih hidup, sampai saat ini; Papahnya sudah tiada, dan Denian sudah berumah tangga.

"Tuan, aku ini sudah anggap Neng Aliya kayak anakku sendiri."

"Mbok." Denian memegang tangan Inah yang mengatup, bermaksud agar Inah tidak memohon seperti itu di hadapannya.

"Tuan, Mbok kenal Tuan Denian sejak remaja. Maaf, harus Mbok akui, kalau Tuan sedari dulu memang bukan orang yang bisa menghargai sesuatu dengan baik. Tuan selalu ingin mewujudkan semua keinginan Tuan, bahkan sampai harus menyakiti Bu Farah, hanya untuk memiliki Bu Vina seorang."

Baik Ghani, Alvin, dan Brian, hanya bisa mendengarkan penuturan Inah sembari menunduk. Mungkin sudah seharusnya, Inah terus terang kepada majikannya yang keras kepala itu, agar mau membuka mata hati untuk putrinya yang sekarang sedang tak berdaya.

"Tapi ... Neng Aliya itu darah daging Tuan. Tolong, Tuan .... Mbok, mohon!" Inah tak peduli jika aliran air matanya tak dapat dibendung lagi dan mengalirkan anak sungai yang begitu deras dari pelupuknya. Jiwa keibuannya tidak bisa tahan lagi menyaksikan kemalangan Aliya. "Sayangi Neng Aliya, Tuan. Sayangi dia. Jangan buat dia menderita lagi, Tuan."

Denian bergeming menatap air mata Inah yang terlihat tulus. Sebuah cinta tulus yang berasal dari kasih sayang yang mengakar kuat di dalam hatinya yang lembut.

"Tapi, kalau Tuan tidak sanggup menuhin permintaan Simbok yang orang kecil ini. Lebih baik, aku saja yang urus Aliya. Lebih baik, aku juga gak usah kerja lagi buat keluarga Dinata."

"Mbok ...," lirih Denian sambil menggeleng pelan.

"Ini bukan ancaman, Tuan. Ini bentuk ketulusan hati Simbok, sebagai ibu Neng Aliya."

Setelah selesai memaparkan uneuk-uneuk (kekesalan) kepada Denian, Inah justru dibuat terkejut dengan air mata yang turun dari pelupuk mata Denian. Bukan hanya setetes. Justru, air mata di mata Tuannya itu berlomba-lomba untuk membasahi pipi.

"Maafkan saya, Mbok. Karena saya tumbuh menjadi sosok yang berhati batu."

Ketiga anak muda yang tengah duduk di kursi itu pun tak kalah kagetnya, setelah mendengar kata-kata Denian yang terdengar parau karena menangis.

***

Garut, 6 Oktober 2022

DUA PINTU SURGA✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang