3 : Pandang

28 3 0
                                    

Aliya menurunkan kakinya, setelah sampai pada tempat yang dituju. Disapunya pemandangan di sekitar, sekilas berbagai kenangan berputar di memorinya. Tempat yang sangat berkesan untuknya. Tempatnya bernaung dan menerima kehangatan orang-orang di saat orang tuanya terang-terangan membencinya.

Tak lama dari kedatangannya, Aliya melihat sebuah mobil yang sudah tak asing di matanya. Mobil itu parkir tepat di belakang kendaraannya. Pintu dari kursi belakang pun terbuka. Sepatu pantofel berwarna hitam menapakki tanah Pesantren Ar-Rahiim. Kemudian, empunya pun berdiri, lalu melakukan hal yang sama seperti Aliya, menyapu pemandangan di sekitarnya.

Melihat outfit yang dikenakannya, Aliya seketika terpesona dengannya. Kemeja hijau dengan lengan yang digulung hingga siku dan celana putih yang dikenakan, sangat cocok sekali dengannya, membuat aura ketampanannya mengalami peningkatan.

Lama-kelamaan, dia yang menyapu pandangannya, akhirnya bertemu dengan manik mata Aliya. Lantas, mereka berdua pun sama-sama tenggelam dalam tatap tersebut. Mereka berdua dapat merasa, waktu seakan melambat. Detik-detik yang berlalu, terasa seakan berjam-jam lamanya.

"Al, ada Ghani," ucap Vina sembari menepuk pundak Aliya.

Seketika, Aliya pun terperenjat dan bibirnya lirih berucap istighfar. Ia ceroboh, tak menjaga pandangannya dengan baik.

Kedua orang tuanya pun lekas menghampiri kendaraan roda empat yang dinaiki Ghani. Mereka saling bertegur sapa dengan kedua orang tua Ghani, yang tak lain, adalah rekan kerja ayah Aliya. Juga, calon mertuanya.

Saat hari ke tujuh di bulan Syawal, Aliya bisa memahami dengan baik, mengapa Denian dan juga Vina bersikap manis kepadanya. Semua itu, tak lain dan tak bukan, karena mereka ingin Aliya menerima perjodohan tersebut dengan baik. Selain itu, mereka menunjukkan sikap yang demikian baiknya, karena hal tersebut merupakan sebuah syarat dari Fatan—papahnya Ghani—agar mereka benar-benar memperlakukan Aliya dengan penuh kasih sayang.

"Kalau bukan karena perusahaan kita terancam gulung tikar, kita gak akan tuh baik-baik di depan anak itu!" kata Vina ketika ia tengah mengobrol bersama Denian di kamarnya. Aliya tak sengaja mendengarnya kala itu; setelah acara pertemuan dua keluarga.

"Aliya, masyaallah ... cantik banget kamu," sanjung Kirana—mamahnya Ghani.

"Iya, Mah. Calon menantu Papah ini, cantiknya luar biasa! Salehah pula!" tambah Fatan memuji.

"Alhamdulillah. Makasih, Bu, Pak," balas Aliya rendah hati diiringi senyuman yang mengembang.

"Masyaallah," lirih Ghani yang mampu Aliya dengar.

Namun, Aliya tidak mau terlalu menggubris Ghani. Bukan hanya karena menjaga batasan dengannya sebelum halal. Akan tetapi, di lain sisi, Aliya juga memendam kekecewaan kepada Ghani. Sebab, keluarga Ghani telah memanfaatkan hubungan bisnis mereka sebagai ancaman jika keinginan perjodohan itu ditolak. Lalu, Ghani? Ia tidak mempermasalahkan perjodohan itu sama sekali. Aliya tidak suka itu. Aliya merasa, dirinya diperjual-belikan di sini.

Aliya membuka gawainya, melihat notifikasi yang masuk. Ada sebuah pesan dari Rahma, agar Aliya segera datang ke rumah Ustaz Malik.

Aliya tersenyum setelah membaca pesan tersebut. Akhirnya, ia memiliki alasan untuk pergi dari tempatnya berada. Ia merasa canggung berada di sekitar mereka.

"Em, semuanya ... Aliya permisi dulu, mau ketemu temen," izin Aliya.

"Iya, silakan, Sayang," balas Vina. "Wajar, ya, pasti kangen tuh udah lama gak ketemu temannya."

"Iya, benar, Bu Vina," sahut Kirana.

"Permisi, ya," pamit Aliya.

Aliya pun melenggangkan kakinya meninggalkan parkiran, lalu menyusuri lorong agar bisa sampai di rumah Abinya Pesantren Ar-Rahiim ini.

Perihal perjodohannya, sahabat-sahabat Aliya tidak mengetahui sama sekali. Begitupun dengan keluarga Amarta, mereka tidak tahu. Bahkan, dalam keluarganya sendiri pun, yang mengetahui perihal perjodohan tersebut hanya Denian, Vina, dan dirinya, yang lainnya tidak.

Aliya yang meminta hal tersebut dirahasiakan terlebih dahulu, karena ia merasa belum siap dengan semuanya. Selain itu, tentunya Aliya tidak ingin orang-orang yang menyayanginya mencurigai kedua orang tuanya, sehingga Aliya dipisahkan dan tak lagi dapat merasakan hangat dari kasih sayang mereka.

Begitu berharganya kasih sayang semu Denian dan Vina bagi Aliya. Ia rela membohongi dirinya sendiri yang tersakiti, hanya karena ingin merasakan bagaimana bermanja-manja dengan orang tua, yang selama ini bersikap tak acuh kepadanya

...

AGA-AGA

(Al)Ghani:
|Ana udah nyampe, Broo!!
|Mana udah ketemu calon istri, cantiknya masyaallah ...☺️

Alpha(bet):
|Halu terusss!
|Bukannya ayang lo ditinggal di kamar?

Alvin:
Apaan, Pha?

Alpha(bet):
Guling!

Alvin tertawa renyah setelah membaca jawaban dari Alpha. Ghani memang sudah lama membawa-bawa kata 'calon istri' di grup mereka, tapi itu semua hanya kehaluan Ghani semata, bagi Alpha dan juga Alvin.

Alvin:
🤣|
Makanya, cari istri kalo udah kebelet nikah!

(Al)Ghani:
Dih, gitu amat kalian sama Akhi Ghani🥺

Alvin kembali tertawa. Ghani memang tidak pernah berubah, sisi humorisnya selalu bisa menggelitik hati Alvin.

"Ketawa-ketawa mulu, kamu!" ucap Farah.

"Hehehe, ini, Mah. Biasa si Ghani," balas Alvin.

"Anak itu emang humoris banget, ya, Vin," timpal Davin yang masih mengingat bagaimana gelagat Ghani ketika main ke rumahnya.

"Apalagi, jailnya ituloh. Pura-pura gak bisa renang. Eh, pas Alpha nolongin dia, malah ditarik ke kolam renang sama Ghani." Farah mengakhiri bicaranya dengan tawa renyah. Ia masih ingat jelas dengan kejadian itu, di acara barbeque, selepas Ujian Akhir Madrasah usai.

Alvin ikut tertawa. "Aslii, Mah. Itu anak emang gak ada obat!"

Mereka jadi tertawa bersama setelah membahas teman karib Alvin yang bernama Ghani itu.

"Eh, Alvin, tolong dong bangunin Naya. Bentar lagi kita sampe. Bangunin, ya, biar dia bisa ngumpulin nyawa dulu," ucap Farah usai tertawa.

"Siap, Ibunda tercinta!" balas Alvin semangat.

***

Garut, 17-18 Agustus 2022
Nur Aida Hasanah

DUA PINTU SURGA✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang