15: Sandiwara Kedua?

25 3 0
                                    

Aliya lari terburu-buru setelah memberikan sejumlah uang kepada sopir angkutan umum. Semalam, ia beres-beres rumah sampai pukul satu malam; karena rumah baru saja dipakai pesta ulang tahun Candra dan David, yang tanggal ulang tahunnya hanya selisih satu tahun satu hari. Oleh karena itulah, ia bangun kesiangan. Tujuh menit lagi, bel sekolah akan berbunyi.

SMPnya tidak terletak di pinggir jalan. Setelah ia turun dari angkot, ia harus berlari memasuki gapura. Jarak dari gapura ke gerbang cukup jauh, harus melewati sepuluh rumah-rumah besar yang berjejer sepanjang di jalan.

Aliya yang terburu-buru itu, tak sengaja menyenggol lengan seseorang yang berjalan dengan santai sembari memakan sandwich.

"Aarrgh!"

Laki-laki itu berteriak kesal. Sandwich-nya jatuh, mencium aspal. Membuat makanan itu tak lagi hiegenis. Selain itu, rasa laparnya masih berteriak. Baru dua gigitan, sandwich itu sudah jatuh.

Aliya menelan salivanya susah payah setelah melihat logo di lengan atas sebelah kirinya terbordir 'IX', artinya pria itu merupakan kakak kelas beda dua tahun dengannya. Aliya salah tingkah, baru saja pelaksanaan KBM berjalan satu minggu, ia sudah membuat ulah.

"Ma-maaf, Kak."

"Maaf? Lo harus bayar mahal karena kelakuan lo itu!"

Aliya bernasib buruk. Orang tersebut tidak melepaskannya begitu saja. Laki-laki itu sangat pendendam. Setelah kejadian tersebut, ia bertindak seenaknya. Membully Aliya secara verbal dan fisik. Mempermalukannya, mengambil uang jajannya, dan lain sebagainya. Berkat laki-laki bernama Tama itulah, Aliya mendapatkan perilaku perundungan pertamanya, dan membuat orang lain ikut-ikutan merundungnya, bahkan setelah Tama lulus dari SMP tersebut.

"Begitulah, Mah. Aliya kenal Tama, karena dulu dia sering jadiin aku bahan bully-an."

Vina yang sedang memandang taman di rumahnya lewat jendela di kamar Aliya, lantas mengepalkan tangan. Aliya pun terbelalak ketika melihatnya.

"Laki-laki itu! Aarrggh!"

Prak!

"Mamah!"

...

Aliya meniup-niup obat merah yang telah ia taruh di tangan ibunya. Beruntung, Vina hanya terkena pecahan besar dari kaca jendela yang dipukulnya. Serpihan-serpihannya tidak masuk ke dalam.

"Ini, Mbok Inah," kata Dokter Marisa, dokter pribadi Vina, sambil menyerahkan perban kepada Inah.

"Nyonya harusnya istighfar," nasehat Inah sembari membalutkan perban pada tangan Vina.

"Laki-laki bernama Tama itu, udah bikin bisnis perhiasan aku bangkrut. Dia udah nipu aku, Mbok. Dia udah hancurin keluarga aku. Bahkan, sebelum ini, dia udah sering sakitin Aliya," ungkap Vina sembari meneteskan air matanya.

Aliya mendongak, menatap mata ibunya. Ia merasa dipedulikan karena ibunya terlihat iba kepadanya. Namun, mata Aliya yang berbinar kagum itu pun berubah sendu, sesaat setelah menyadari kalau orang tuanya, tidak benar-benar tulus kepadanya. "Mamah gak perlu pura-pura lagi. Mamah, kan, gak begitu peduli sama Al."

"Aliya." Vina memegang pipi putrinya dengan tangan kiri—tangan kanannya sedang diperban—"Selama memaksakan diri untuk berpura-pura menyayangi kamu, hati Mamah rasanya nyaman, Sayang. Selama memanjakan kamu, I can feel, 'oh begini rasanya ngurusin anak perempuan'. And I'm so happy for that."

Aliya menggeleng pelan. "Enggak, Mah. Mamah gak perlu bersandiwara lagi. Aliya bisa terima perlakuan Mamah yang dulu kok."

"Oke. Mamah emang gak langsung sadar, kalau Mamah sayang ke kamu. Mamah baru menyadarinya, setelah kamu begitu khawatir dan juga telaten mengobati luka mamah ini," jelas Vina sembari menunjukkan tangannya yang baru selesai diperban.

Aliya melirik Mbok Inah, dan juga dokter yang menyaksikan perbincangan tersebut. Tampak siratan keraguan dan harap di matanya. Namun, keraguannya terlihat begitu besar.

"Aku harap Mamah benar. Bukan karena ingin ngebujuk Ayah, supaya perceraian kalian batal."

Inah dan Dokter Marisa sama-sama terkejut dengan apa yang baru saja disampaikan Aliya.

"Jadi, kamu gak sayang Mamah?!" Nada bicara Vina seketika meninggi, akibat terbakar oleh amarahnya.

Cara Aliya tepat, sandiwara kedua yang akan dilakukan ibunya itu, langsung ia singkap. Vina memang mudah terpancing emosi.

Aliya tersenyum miris. "Al selalu sayang Mamah sama Ayah. Tapi, kalian berdua? Ah, sudahlah. Aku gak bisa lama-lama di sini, Ayah nanti cariin aku."

"Aku pamit, ya, Assalamu'alaikum," pungkas Aliya yang kemudian pergi dari kamar Vina.

"Wa'alaikumussalam," balas Inah dan Marisa.

"Aliya! Kamu kurang ajar!" pekik Vina tak terima.

"Bu Marisa, sepertinya kita harus sediakan seorang ahli psikis untuk Bu Vina. Saya khawatir kalau Bu Vina begini terus," bisik Inah pada Marisa.

...

"Bisa-bisanya Mamah bersandiwara lagi," ucap Aliya sembari menghapus air matanya yang berjatuhan menggunakan kain lengan gamisnya.

"Neng, jangan lupa dibawa ini!" Inah berjalan cepat menghampiri Aliya dan memberikan paper bag yang sudah ia siapkan untuk Aliya.

"Mbok." Alih-alih mengambil bingkisan tersebut, Aliya malah berhampur memeluk Inah dengan erat. "Kita belum pelukan. Aku kangen banget sama Mbok."

"Mbok juga kangen sama Neng Aliya. Neng yang kuat, ya."

"Iya, Mbok. Doakan Aliya selalu, ya."

"Pasti." Inah melepas pelukan dan menghapus air mata Aliya dengan tangannya. "Sekalian bawa punyanya Tuan, Candra, sama David, ya."

"Siap, Mbok."

Aliya pun berpamitan dengan Inah dan juga Paijo, setelahnya ia menaiki taksi online yang sudah ia pesan sebelumnya.

Biyan:
|Kakak tenang aja, soal Mamah, biar Brian aja yang urus.
|Kakak juga jangan lupa, untuk selalu doain Mamah sama Ayah.

Balasan dari Brian, membuat Aliya lebih tenang meninggalkan rumah yang Vina diami. Aliya berharap, semoga keluarganya akan baik-baik saja.

***

Garut, 18 September 2022

DUA PINTU SURGA✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang