17 : Tersudut

21 4 0
                                    

Alvin
Hari ini lo sibuk gak?

Ana mau ke Masjid Al-Yassir, terus lanjut ke butik Alkana, Vin. Kayaknya kalau antum ajak main, ana gak bisa nih.

Alvin mengerutkan dahinya setelah mendapatkan balasan dari Ghani. Tadinya, ia ingin mengundang Ghani untuk makan siang di rumah Amarta, atas permintaan Farah. Sekalian, Farah juga ingin menitipkan masakannya kepada Ghani, untuk diberikan kepada kawan lamanya, yang tak lain adalah Kirana, ibunya Ghani.

Namun, atas jawaban mengejutkan yang diberikan Ghani. Alvin pun jadi membuka room chat-nya bersama Aliya.

Aliya
|Aliya ada kajian di masjid Al-Yassir

Kemudian, setelah salat zuhur tadi, Aliya kembali mengabarinya, agar Alvin datang saja ke butik Alkana.

"Apa jangan-jangan ada sesuatu di antara mereka berdua?"

...

Ghani menginjakkan kaki di pekarangan masjid Al-Yassir yang terlihat sepi. Ia mengernyit, karena tidak melihat batang hidung calon istrinya di sana.

"Apa Aliya pergi duluan ke butik?"

Saat Ghani hendak memasuki mobil kembali, ia melihat ada tas selempang Aliya tergeletak di teras masjid. Tak biasanya Aliya meninggalkan barang begitu saja. Aliya itu tipe orang yang sangat telaten dalam menjaga barang, bukan ceroboh seperti ini.

"Mbak Bina, tolong cari Aliya di toilet. Barang kali dia lagi ke toilet."

"Iya, Den."

Sementara itu, di ujung gang sana, Aliya terkejut bukan main, saat melihat wajah dari pria yang ia kejar tadi. Jika situasinya begini, semuanya terlihat seperti sudah direncanakan. Pria itu, sudah mengawasi Aliya sejak lama, lalu menjebaknya dengan 'dompet' tadi.

Jantung Aliya berpacu begitu cepat, rasa takut begitu menyeruak di dalam dada. Namun, sekuat tenaga Aliya tak mau menunjukkan ketakutannya itu pada raut wajahnya.

Ia berusaha terlihat tegar dan juga berani di hadapan pria itu. Meski kenyataannya, usaha Aliya itu percuma saja, pria itu tahu Aliya ketakutan. Terlihat, dari langkah Aliya yang terus mundur tatkala pria yang langkahnya semakin dekat ke arahnya itu berjalan sembari membawa tongkat kayu yang diseret.

"Jangan mendekat, Kak Tama!" teriak Aliya yang punggungnya sudah bersentuhan dengan tembok.

Tama berhenti, tak jauh dari raga Aliya berada. "Aliya ... Aliya. Kamu gak pernah berubah, ya. Penakut!" Dia tertawa dengan renyah di hadapan mangsanya.

Perasaan Aliya semakin tak karuan, cemas, sedih, marah, takut, semua bercampur aduk. Ia tak tahu, siapa yang akan menolongnya.

Wahai Allah, Yang Maha Menguasai Semesta Alam ini, tolong ... tolonglah hamba, hatinya mengadu pada Sang Pencipta, berharap pertolongan segera menghampiri. Ia tidak mau diterkam habis oleh serigala seperti Tama. Manusia tidak beradab itu.

"Apa mau kamu, hah?!" tanya Aliya diiringi mata yang berkaca-kaca. Hasbunallah wa ni'mal wakil, ni'mal maula wa ni'man-nashiir.

"Kamu tahu? Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui."

Aliya terdiam, tak mengerti apa yang Tama katakan.

"Jumpa pers itu, bikin gue tahu keberadaan orang yang gue rindukan ada di mana. Setelah gue stalking keluarga lo lewat nyokap lo yang cantik itu," ucap Tama sembari mengedipkan mata ketika membahas Vina, "akhirnya, sekarang gue bisa ketemu lo lagi."

"Lo tau gak sih? Gue beruntung! Karena pernah deketin nyokap lo. Terus, dapetin semua aset bisnisnya. Dan sekarang, gue ketemu orang yang gue rindui ini." Tama memperlihatkan senyum pepsodent pada akhir katanya.

"Sumpah, gue rinduuu bangettt! Lima tahun lho kita gak ketemuan."

"Gue bener-bener rindu. Rindu buat nyakitin lo!"

Deg!

"Ya, Allah! Laa haula wa laa quwwata illa billah," lirih Aliya sembari memejamkan matanya.

Tama yang melihat mulut Aliya komat-kamit seperti sedang berdoa pun malah tertawa meremehkan. "Tuhan gak akan bisa bantuin lo!"

"Sakit lo, Tam!" pekik Aliya yang kini sudah berderaian air mata. "Kenapa kamu bisa sedendam ini sama aku?!"

"Oh enggak, gue gak dendam. Gue sukaaa banget nyakitin lo. Ekspresi takut lo, indah banget dipandang!"

Aliya semakin dibuat merinding dengan kata-kata yang keluar dari mulut kakak kelas semasa SMPnya itu. "Lo bener-bener sakit! Orang sakit!" Aliya kembali memekik.

"Setelah bisnis nyokap lo hancur, keluarga lo hancur, gue masih belum puas. Gue pengen lo hancur, Al. Lo bakal hidup dalam kenangan yang gue buat, seumur hidup. Menderita sendirian, hahahaha!"

Aliya ingin menangis sejadi-jadinya, karena pria di hadapannya ini jelas-jelas bukan manusia. Nasib buruk baginya, karena pernah mengenal manusia bernama Tama, yang justru merasakan kenyamanan saat menyakitinya. Namun, Aliya berusaha untuk tidak terlihat rapuh di depan Tama, ia menahan semua jerit batinnya saat ini.

Triingg

Suara telepon itu berasal dari saku gamis Aliya. Aliya cepat-cepat merogoh saku dan menekan panel hijau di layar ponselnya. Sementara itu, Tama hanya terlihat memperhatikan saja. Aliya juga heran, tapi ia tidak mau terlalu memikirkannya, yang terpenting sekarang ia harus meminta bantuan.

"Assalam-"

"Ghani! Ghani, tolong aku! Aku di gang-"

Tak!

"Aw!"

Tama memukulkan kayu yang dibawanya itu pada tangan Aliya yang memegang ponsel. Alhasil, gawai Aliya terjatuh, dan si empunya meringis kesakitan. Selain itu, ujung kayu yang mengenai pipi kiri Aliya, menggores kulitnya dan membuat darah segar mengalir di sana.

Tama tersenyum lebar melihatnya. Lalu langkahnya mendekat kembali ke arah Aliya. Semakin dekat, dan semakin dekat.

"Jangan deket-deket! Sana pergi! Pergi Tama! Pergi!"

Jelas, Tama tidak akan pernah mendengar usiran kasar yang Aliya layangkan. Mau sebanyak dan sekuat apa pun, Aliya berteriak, Tama tidak akan mundur. Otaknya yang sudah tidak sehat itu, membuatnya untuk maju terus melancarkan aksinya.

"Tama! Lepasin!"

Tama mencengkram kuat tangan Aliya. Dia berusaha mendekatkan wajahnya, untuk menciumi Aliya.

Aliya terus memalingkan wajahnya sekuat tenaga, agar wajah kotor pria itu tidak menyentuh wajahnya sedikit pun.
Tolong bantu aku, ya Allah. Aku tidak mau kehormatanku hilang olehnya.

***

Garut, 19 September 2022

DUA PINTU SURGA✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang