7 : Matanya yang Sembap

29 4 0
                                    

Air mata terus-menerus menerobos keluar. Tak ayal, isak tangis pun terdengar begitu jelas, menggambarkan sesak yang begitu menyeruak di dalam dada. Dinding ketegarannya sekarang hancur, sehancur-hancurnya. Apa yang terjadi kali ini, lebih menyakitinya daripada apa yang pernah ia alami selama ini.

Sekarang, semua ketakutan dan kekhawatirannya, akan kehilangan kasih sayang semu kedua orang tuanya, sudah terjadi tepat di depan matanya. Ia kehilangan sikap manis itu. Ia kehilangan semua perhatian mereka yang dusta. Ia sudah mendengarnya langsung, bukan lagi mendengar di belakang mereka. Ia sudah mendapatkan kejujuran mereka, bukan dusta lagi.

Aliya tidak menyangka, kalau akan secepat ini kehilangan mereka, lagi. Pintu itu benar-benar tertutup rapat untuknya. Tak ada celah sama sekali untuknya masuk dan merayu si pemilik hati.

Apakah kehadiran Aliya tidak bisa membuat mereka bahagia sampai akhir hayatnya tiba?

Mengapa sulit sekali baginya untuk membuat hati orang tuanya senang dengan kehadirannya?

Mengapa?

"Al, sabar, ya. Ini emang gak mudah," nasehat Alvin berbisik di telinga Aliya.

Aliya melepas pelukannya dari Alvin, lalu menatapnya dengan matanya yang sudah sembap oleh tangis. Ia tidak tahu, bagaimana Alvin akan menerimanya, jika ia tahu, bahwa selama ini Aliya telah mengetahui sandiwara ayah dan mamahnya.

Pasti Alvin akan marah sekali saat mengetahuinya. Terlebih lagi, di balik itu semua ada Ghani dan keluarganya, yang tak lain adalah sahabat dekat Alvin.

Aliya tidak bisa membayangkan jika itu sampai terjadi.

"Duh, adikku yang cantik ini, jadi berkurang lho kadar cantiknya karena abis nangis," komentar Alvin mencoba menghibur adiknya, meskipun dalam lubuk hatinya ia juga merasakan sakit. Sikap manis ayah kandungnya itu, hanya sebuah dusta saja selama ini. "Kayaknya kamu perlu cuci muka, sama dandan lagi. Tutupin bekas tangis kamu."

Aliya tersenyum tipis. "Kalvin, Aliya gak mau ke toilet. Pasti banyak orang."

"Hmm ... ya udah. Di sini aja. Aku beli air mineral dulu, ya. Kamu tunggu di sini."

Aliya mengangguk, kakaknya memang selalu pengertian.

...

Suasana keluarga yang sudah berjalan aman, damai, dan tenteram. Tiba-tiba saja berubah menjadi tak nyaman kembali. Amarah yang selama ini tidak timbul ke permukaan, justru terlihat sangat jelas sekali di depan mata. Ditambah lagi, sebuah tangis yang pecah dan terlihat begitu memilukan itu juga hadir kembali di depan penglihatannya, setelah ayahnya menelepon agar ia segera ke parkiran bersama adik-adiknya untuk pulang.

"Mah, kenapa sih kita harus ninggalin Kak Aliya begini?" tanya Brian yang mengendarai kendaraan roda duanya sembari membonceng ibundanya.

"Udahlah, biarin aja. Lagian, ada kakaknya tuh di sana!" jawab Vina dengan nada yang tidak bersahabat.

Brian yang sejak tadi bertanya-tanya dalam hatinya pun mengerti, mengapa ayahnya bersih keras mengajak mereka pulang. Ia pun dengan cepat mengerem motornya secara mendadak, sehingga membuat kepala Vina yang tertutupi helm itu terbentur dengan helmnya Brian.

"Aduh, kamu kenapa sih?!"

"Jelasin ke Brian sekarang!" Brian lantas turun dari motornya dan menatap wajah sang ibu.

"Kamu itu gak sopan banget, bicaranya pake nada tinggi gitu ke Mamah!" protes Vina.

Sementara itu, mobil Denian sudah melaju jauh di depan mereka. Kendaraan roda empat itu melaju dengan sangat kencang. Membuat kedua anaknya, Candra dan juga David berulang kali menegur ayahnya dan berulang kali pula mengujarkan doa, takut kenapa-napa.

"Ayah! Ayah hati-hati, di depan ada tikungan tajam, Yah!" teriak Candra.

"Ayah! Kita gak mau celaka!" pekik David.

"DIAM! KALIAN DIAM!" bentak Denian yang seketika membuat mereka terperenjat dan bungkam.

Denian pun memberhentikan mobilnya ke pinggir jalan. Sebab, akal sehatnya menyadarkannya agar tidak bertindak gegabah dalam keadaannya yang tengah emosi. Jika sampai ia berbuat ceroboh, yang celaka bukan hanya dirinya, tapi kedua anaknya juga. Ia tidak boleh membuat anaknya celaka, masa depan anak-anaknya masih panjang.

"Aaargh!" Denian memukul setirnya sembari berteriak dan kemudian menangis sesegukan di sana.

Candra dan David hanya bisa menyaksikan itu. Mereka tak ingin mengatakan apa pun lagi setelah Denian membentak mereka tadi.

...

"Ghani, tolong ambilkan tas Mamah di mobil," titah Kirana sembari memberikan kunci mobil kepada putra semata wayangnya itu.

"Siap, Mah!"

Ghani pun berjalan menyusuri koridor pesantren untuk segera sampai di area parkiran. Sesampainya di sana, Ghani tidak melihat kendaraan milik keluarga Dinata, mobil Denian dan motor Brian sudah tidak terparkir di sana.

"Apa mereka pulang lebih awal?" tanya Ghani pada dirinya sendiri.

Ia pun berjalan melewati beberapa kendaraan, untuk sampai ke mobilnya. Akan tetapi, sebelum ia sampai di mobil, ia dikejutkan dengan keberadaan Aliya di dekat mobilnya. Raut wajahnya terlihat murung, matanya sembap, dan sesekali ia mengusap pipinya akibat air matanya yang jatuh. Keadaan calon istrinya itu sangat memprihatinkan.

Ana tanya dia atau enggak, ya? Kalau enggak, ntar dikira cuek. Kalau tanya, takut Aliya ilfeel. Sampai sekarang pun, ana gak tau perasaan dia gimana. Jadi bingung ..., batin Ghani sembari menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.

Ketika ia tengah sibuk bergelut dengan pikirannya, tiba-tiba Aliya pun menoleh ke arahnya.

Deg!

"Eh, em ... Maaf." Ghani jadi salah tingkah setelahnya. "K-kamu kenapa?"

Aliya hanya membalasnya dengan gelengan kecil saja.

Sadar, Aliya tidak ingin bercerita kepadanya mengenai tangisnya itu, membuat Ghani jadi salah tingkah kembali. "Oh, em ... maaf, jadi tanya-tanya. Maaf kalau gak nyaman."

Aliya mengangguk.

"Permisi, ana mau ke mobil, ya."

Aliya pun hanya membalasnya dengan anggukan kembali.

Duh, dag-dig-dug serrr gini hatikuu, batin Ghani setelah sampai di mobilnya.

***

Garut, 26-27 Agustus 2022

DUA PINTU SURGA✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang