38 : Berdua

30 2 0
                                    

Doa-doa dipanjatkan begitu khidmat. Ghani, selaku mempelai pria terlihat khusyuk dalam doanya, bahkan air matanya pun berlinang membasahi pipi. Setelah selesai berdoa pun, ia masih belum berhenti meneteskan air mata, justru semakin terisak-isak. Tak henti, ia ucapkan tahmid dan berbagai pujian kepada Allah sebagai rasa syukur yang teramat dari lubuk hatinya.

Fatan yang melihat itu, menepuk-nepuk punggung putranya, sebagai bentuk menguatkan sekaligus bangga padanya karena telah berhasil menunaikan niat baiknya.

Tak ketinggalan, Deni menepuk pundak Ghani sebentar. "Sekarang, tanggung jawab Ayah untuk menjaga Aliya, berpindah kepadamu."

Ghani menyimpulkan sebuah senyuman sembari mengangguk. Lalu, ia pun menerima tisu dari ibunya dan mengelap air mata yang membasahi pipinya itu.

"Sudah nangisnya, ya, Fatihnya Ayah. Seorang pemimpin keluarga, harus bisa tegar."

"Iya, Pah," balas Ghani mengindahkan nasehat ayahnya.

"Selamat, ya, Sayang. Mamah yakin, kamu bakal jadi imam yang baik," kata Kirana sembari merangkul Ghani.

"Amin ...."

Di ruangan lain, Aliya juga menangis haru setelah mendengar prosesi akad berlangsung dengan lancar. Ditambah lagi, melihat Ghani menangis bahagia, membuat Aliya semakin terisak. Hatinya terasa hangat. Sebab, tangisan Ghani yang tampak lewat layar ponsel Naya—lewat panggilan video yang terhubung dengan ponsel Arsen—itu menunjukkan betapa bersyukurnya ia ketika sudah halal dengan Aliya.

"Masyaallah, Ghani ... dia sampai nangis begitu. Tulus banget cintanya ke kamu, Al," ucap Sabila yang juga ikut terhubung dengan panggilan video tersebut. Dia tidak bisa pulang ke Indonesia di hari pernikahan Aliya, karena di sana, Sabila sedang menjalani masa ujian.

Aliya mengangguk.

"Hapus air matanya, Kak," kata Naya sambil menyodorkan sehelai tisu. "Pokoknya, hari ini, Kakak harus bahagia. Ini momen bahagia Kakak."

Aliya mengambil tisu tersebut dan mengelap air matanya. "Makasih, Nay."

"Aliya," layar ponsel Arsen tampak kamera depan, di sana terlihat wajah Farah yang memegang gawai, Omah Rianti, Davin, dan Arsen.

"Barakallahu laka wa baraka 'alaika wa jama'a bainakuma fii khair," ungkap mereka dengan begitu kompak.

"Amin ... Amin ... terima kasih banyak," balas Aliya dengan tatapan haru.

...

"Mbok, ayo dong, ikut anter Aliya ke pelaminan," ajak Vina yang menghampiri Inah ke dapur sementara, yang dijadikan sebagai tempat memasak hidangan untuk acara pernikahan Aliya dan Ghani ini.

Inah baru selesai menyicipi bumbu sate yang dibuat oleh pekerja dadakan—bisa masak juga—yang direkrut untuk membantu memasak. "Kurang kecap dikit aja."

Ia pun mengalihkan pandangannya ke arah Nyonya-nya yang barusan mengajaknya untuk menjemput Aliya. "Ndak usah toh, Nyonya. Saya mau urusin dapur saja."

"Yee, wong majikanmu wes ajak jenengan karo anter putrine, sanaaa. Aku bisa handle," komentar Asih, kenalan lama Inah yang juga direkrut untuk bantu memasak.

"Tuh, Mbok. Ayoo!" ajak Vina sembari menarik lengan Inah.

Namun, Inah menahan dirinya. "Nyonya ibunya, Nyonya lebih berhak."

Vina menggeleng pelan. "Peran ibu yang lebih besar, yang dirasain Aliya, itu didapet dari Mbok."

"Nyonya-"

"Mbok. Kalau saya adalah ibu yang mengandung dan melahirkan Aliya, maka Mbok adalah ibu yang membesarkannya," buru-buru Vina menginterupsi.

Mendengar itu, Inah masih diam di tempat.

"Baiklah, Mbok. Ini bukan permintaan saya, tapi perintah."

Setelah dibujuk sekuat tenaga oleh Vina, Inah pun akhirnya mau menuruti permintaan Vina yang selaras dengan keinginan Aliya sendiri. Kini, mereka berdua membersamai Aliya untuk mengantarkannya ke pelaminan.

Semua orang yang melihat kedatangan mempelai tersenyum gembira. Khususnya, kerabat-kerabat Aliya, mereka tersenyum begitu lebar. Selain menyambut akan lembaran baru yang mau dijalani putri mereka, ada senyuman kebahagiaan, karena Vina tidak mengasingkan atau menafikkan pengorbanan Inah sebagai ibu yang membesarkan Aliya.

"Baik, mempelai wanita sekarang sudah menaiki pelaminan. Sesi berikutnya adalah sesi memasangkan cincin," ucap MC—yang tak lain adalah Alvin—setelah Aliya menginjak pelaminan tersebut.

Sesi memasangkan cincin pun dilakukan. Mereka berdua sama-sama terlihat gugup, pandangan mata mereka berdua pun masih terlihat malu-malu.

Setelah cincin terpasang, Aliya pun menyalami tangan Ghani. Bersamaan dengan itu, Ghani menyentuh ubun-ubun Aliya dan mendoakannya.

"Masyaallah! Kita doakan pengantin baru ini, ya, Bang Alvin." Sebagai MC, Alvin tidak sendirian, ia ditemani oleh seseorang yang sudah tidak asing lagi, siapa lagi kalau bukan Rahma.

"Betul, sekali, Teh Rahma, kita doakan supaya pernikahan Ghani dan Aliya ...."

"Sakinah, mawaddah, warahmah. Barakallahu lakuma wa baraka 'alaikuma wa jama'a bainakuma fii khair," ucap Alvin dan Rahma bersamaan.

Setelah penandatanganan berkas-berkas, Ghani dan Aliya di antar ke kamar, lalu ditinggalkan hanya berdua saja di sana. Mereka berdua dipersilakan untuk istirahat dulu, karena sesi resepsi baru akan dimulai setelah zuhur tiba. Tujuan pihak keluarga tidak memperkenankan Ghani dan Aliya berkumpul bersama keluarga, adalah supaya mereka berdua bisa berbincang dan mengenal lebih dekat antara satu sama lain. Paling tidak, mereka harus berdua dulu selama satu jam ke depan.

"Alhamdulillah, ya," ucap Ghani agak grogi.

Mereka berdua duduk bersama di tepi ranjang, dan mereka berdua masih duduk berjarak. Masih kikuk untuk dekat-dekat walau sudah sah.

"Iya, alhamdulillah," balas Aliya sembari menunduk dan tersenyum malu.

Ghani celingak-celinguk di sana. Tidak tau harus mengobrol apa, topik obrolan seakan lenyap dari isi pikirannya. Padahal, sebelum berangkat, ia sudah menyiapkan berbagai obrolan seru di otaknya.

"Em, makasih," kata Aliya.

"Eh, iya, iya- eh lho, makasih buat apa?" tanya Ghani salah tingkah.

"Udah nerima Aliya, dengan segala kekurangan Aliya."

Ghani memegang tangan kanan Aliya, yang sontak saja membuat Ghani sendiri maupun Aliya merasa terkejut. Namun, karena sudah terlanjur, Ghani tetap meneruskan tindakan spontannya itu, menggenggam tangan Aliya.

"Ana-eh aku aja, ya," Ghani menggunakan 'aku' supaya terkesan lebih akrab, "aku juga makasih, kamu udah nerima aku. Setiap manusia punya kekurangan, aku juga begitu, jadi aku sangat berterima kasih dan bersyukur banget karena Allah kasih izin buat jadi suami kamu. Aku beruntung, bisa memiliki berlian indah seperti kamu."

Aliya larut dalam tatapan mata Ghani yang tulus. Simpulan senyuman lebar pun tercetak begitu indah di bibir Aliya. Perasaannya berdebar-debar gembira. Ghani benar-benar pria yang baik, suami terbaik. Alhamdulillah, ya Allah.

***

Garut, 5 Februari 2023

DUA PINTU SURGA✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang