33 : Alasan yang Menohok

23 2 0
                                    

"Mak-Maksud kamu gimana, Aliya?" tanya Ghani gelagapan. Apakah kali ini pernikahannya akan benar-benar batal?

Aliya mengembuskan napas panjang. Ia yang tertunduk, menghadirkan senyuman tipis di bibirnya. Ia mengeratkan pegangan ke tangan Simbok sembari meresapi rasa sakit yang bergejolak di dada. Ia menguatkan dirinya.

"Ghani ..., aku berterima kasih sekali, ke kamu, sama keluarga kamu. Kalian peduli sama aku, membantu aku untuk bisa mendapatkan kasih sayang mamah sama ayah."

Ghani mendengarkan Aliya dengan seksama seraya menatap ke atas cakrawala. Perih mulai meradang, terasa oleh batinnya. Oleh karena itulah, matanya tampak menyiratkan kesenduan.

"Aku juga berterima kasih, karena kamu sudah mencintai dan juga serius, sampai-sampai kamu mau memiliki aku dalam hubungan halal atau menikah, ya."

Ghani manggut-manggut. "Ya, Al. Ana bener-bener serius. Ana gak mau pernikahan ini batal." Ghani langsung to the point, perasaannya sudah tak enak, ia memahami arah pembicaraan Aliya ke mana.

Tak terasa setetes air mata terjun tanpa aba-aba dari pelupuk mata Aliya. "Aku tau, Ghani. Tapi, aku juga tau, kalau cinta kamu itu tulus."

"Al ...," lirih Ghani.

"Ghani, tolong dengar aku dulu. Kamu harus ngerti."

"Kenapa, Al?" tanya Ghani sembari menatap ke arah Aliya yang sedang menunduk. "Tolong, jangan kayak gini. Ana pengen hubungan ini halal, supaya ana gak terus-terusan berdosa karena sering mikirin kamu. Urusan ketemu orang tua, terapi, atau apa pun yang kamu butuhkan nanti, aku akan mempersilakannya. Kamu gak perlu khawatir."

Aliya semakin tak bisa membendung air matanya. Sakit hatinya seolah sedang meluap-luap di dalam dada. Sesak rasanya.

Sebelumnya, Aliya sudah membayangkan pembicaraan ini. Lewat bayangan saja sudah begitu menyakitkan, dan kini ... semuanya nyata. Ia berada tepat di hadapan Ghani. Rasa sakitnya saat ini, lebih perih dari apa yang sudah dibayangkannya.

"Hiks ...," isak Aliya.

Inah langsung mengusap-ngusap punggung Aliya. "Tenang, Neng."

"Aliya ...," Ghani yang matanya sudah berair, bertambah sakit hati saat mendengar sang pujaan hati menangis, "jangan begitu. Tolong, kamu jangan khawatir, Aliya."

"Aku ... aku, gak sempurna, aku gak bisa melanjutkan ini. Hiks," balas Aliya semakin terisak-isak.

"Jangan siksa diri kamu, Aliya. Aku mohon." Ghani mengatupkan tangannya, memohon.

"Ghani ... aku takut berdosa banyak dengan melanjutkan pernikahan ini."

Ghani menggeleng pelan.

"Kondisiku sekarang gak baik-baik aja. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi Al-Madrasatul Ula* yang baik? Aku ini buruk, Ghani. Kejadian itu, membuatku merasa tidak bisa menjadi istri yang baik untukmu." Aliya kembali terisak, kemudian melanjutkan kembali perkataannya, "Selain itu, aku juga ingin menikmati kasih sayang mamah sama ayah lebih lama lagi. Ini terlalu sebentar untukku."

"Aku tau, kamu memang terlahir dengan keadaan yang beruntung. Pak Fatan sama Bu Kirana memberi kasih sayang penuh sama kamu, tapi aku, Ghan? Aku baru ngerasain itu. Aku harap, selain alasan tadi, kamu bisa terima alasan ini. Jangan pisahkan aku dengan kedua pintu surgaku dulu."

"Aku mohon," ucap Aliya memelas.

Sementara itu, Ghani tertohok dengan semua alasan pembatalan yang keluar dari mulut Aliya. Ia bergeming. Diam seribu bahasa. Mencerna kembali semua kata-kata Aliya.

...

Rahma duduk di tepi kolam renang bersama dengan Naya. Tangan Rahma memainkan air kolam renang tatkala mengobrol bersama dengan adik dari Alvin itu.

"Suka banget gue sama dunia photography.  Apalagi, pas kemarin ke NTT bareng umi-abi belajar foto-foto gitu gue sama Umma Raihana. Dia ahli di bidang photography, ngejelasinnya juga enak ke kitanya, bikin cepet paham."

"Wah, keren banget, dibimbing sama yang udah pro," balas Naya antusias.

Sejak kecil, anak itu sudah menyukai dunia foto-memfoto. Walau tanpa belajar lewat kelas-kelas foto alias otodidak, hasil jepretan Naya tidak dapat diremehkan.

"Kalau Naya yang belajar langsung sama Umma, pasti hasil fotonya bakal lebih bagus lagi dari ini. Badass pasti," ucap Rahma sembari menunjuk hasil jepretan Naya yang pernah dikirimkan kepadanya. Foto sebuah bunga di hutan pada saat Naya liburan bersama keluarganya di Puncak, Bogor.

"Duh, Kak Ama bisa aja," kata Naya sembari tersipu malu.

"Gemes banget sih anak ini kalau malu." Rahma mencubit pipi Naya yang kenyal dan menggemaskan. Siapa yang tidak akan gemas dengan pipi kenyalnya yang bersemu merah ketika malu?

Naya tertawa kecil mendapat sentuhan itu dari Rahma. Walau dicubit, tapi cubitannya tidak menyakiti Naya. Makanya, Naya gembira. "Kalau udah sah sama Kak Alvin, puas deh Kak Ama cubitin pipi aku."

Rahma melepaskan cubitannya, lalu bersidekap di depan dada. Bibirnya berubah kerucut, matanya sedikit menajam. "Yaampun, apaan sih."

"Naya tau, Kak Ama suka sama Kak Alvin," goda Naya diakhiri dengan kekehan.

"Gak ada, gak ada gitu-gitu. Jangan ngarang deh, Bocil!"

"Ngaku ajalah, aku juga gak akan bilang-bilang."

"Gak ada, Nay."

"Hmm-"

Obrolan mereka terhenti ketika melihat Ghani turun dari tangga. Kebetulan, letak tangga tak jauh dari tempat mereka berada. Terlebih lagi, di pagi hari semua gorden disibak, alhasil mereka bisa melihatnya dengan jelas.

Akan tetapi, Naya dan Rahma langsung bertanya-tanya ketika melihat wajah Ghani yang terlihat masam. Laki-laki itu memang menundukkan wajah, tapi raut wajahhya yang sedih mampu mereka lihat dari sana.

"Ada apa ini?" Rahma spontan berdiri dan mengejar langkah Ghani.

"Kak Ama, tunggu!" seru Naya yang tidak ingin ditinggalkan, ia sama keponya dengan apa yang terjadi.

***

*Al-Madrasatul Ula = Madrasah Pertama

Al-Umma Madrasatul Ula, setiap ibu adalah madrasah pertama (bagi anak-anaknya).

Garut, 30 Desember 2022

DUA PINTU SURGA✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang