13 : Kecurigaan Inah

28 3 0
                                    

Empu unit tersebut membuka pintu sesaat setelah pengantar pesanan tiba di sana. Sebuah es kopi yang dipesan dari starbuck hadir di depan mata. Dibawa oleh tangan pegawai suatu aplikasi ojek online yang memasang muka ramah, walaupun pelanggannya tak terlihat semringah.

"Ini, Pak," ucapnya sembari memberikan pesanan tersebut.

"Ya, terima kasih. Pembayarannya sudah lewat aplikasi, ya."

"Iya, Pak."

Setelah si pengantar itu pergi, Denian melihat Alvin masih menunggu di depan unitnya. Di setiap unit, memang disediakan kursi, sehingga Alvin pun terlihat duduk di sana. Namun, Deni tidak mau menegurnya. Ia kembali masuk, dan menyimpan dua kopi yang telah ia pesan di atas meja.

Deni melakukan bahasa isyarat kepada Aliya agar mengambil kopi yang telah ia pesan. Akan tetapi, Aliya hanya diam, tak berkutik. 

"Saya sudah pesan ini, kamu harus meminumnya."

Nada bicara Deni yang terdengar dingin itu, seolah sedang mengatakan kepadanya untuk segera meminum minuman tersebut, jika Aliya tidak ingin mendengar ucapan yang akan menajam dan melengking daripada itu. Karena sudah ketakutan sendiri dengan praduga yang ia buat, maka Aliya pun mengambil kopi dingin tersebut dan menyedotnya sedikit.

Denian juga meminum kopi yang telah dipesannya, dengan tegukan yang cukup banyak. Mungkin, saat ini ia sedang begitu stres menghadapi permasalahannya. Apalagi, itu berhubungan dengan "cinta".

"Baik, sekarang kamu sudah tahu, bagaimana saya," Denian memulai pembicaraan. "Saya tidak perlu lagi berpura-pura. Selama ini, saya hanya menuruti keinginan calon mertuamu. Karena jika tidak, perusahaan saya bisa mengalami kerugian besar."

Kata demi kata yang Deni ucapkan, seakan pisau yang tengah menyayat-nyayat hatinya. Jika luka hati itu seperti luka di raga, maka luka Aliya masihlah basah. Namun, luka itu harus menerima sentuhan kasar yang membuatnya ingin menjerit. Namun, semuanya tercekat di kerongkongan.

Perlahan, bulir-bulir bening lolos dari pelupuk mata Aliya. Ia tak kuasa, menahan semua rasa sakitnya. Terlebih lagi, sekarang ia berada tepat bersama dengan orang yang membuat hatinya terluka.

"Aku tau ...," lirih Aliya.

Tercipta beberapa lipatan yang terlihat agak samar di dahi Deni. Ditatapnya Aliya dengan mata yang sedikit menyipit. "Maksud kamu-?"

"Ya," Aliya mendongakkan wajah kepada ayahnya. Terlihat wajahnya sudah basah dengan banyak air mata, suaranya pun terdengar bergetar, sebagaimana orang berucap ketika menangis. "Aku udah tau, sejak lama, Ayah sama Mamah memang gak pernah tulus. Semuanya hanya karena perjodohan."

Denian hanya melihat putrinya itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata.

"Aku juga tau, Ayah panggil aku ke sini, supaya aku gak batalin perjodohannya, kan?"

Alih-alih meminta maaf atas segala sikapnya yang buruk selama ini kepada putrinya, Denian justru semakin membuat Aliya terisak. "Bagus, kalau kamu sudah mengerti semua itu. Saya tidak perlu capek-capek menjelaskannya." Denian pun lantas beranjak dari sofa, hendak meninggalkan putrinya yang tengah menangis.

"Oh, ya, kamu sudah tahu, kalau mamahmu selingkuh. Oleh karena itulah, Mamahmu tidak punya andil apa pun lagi dalam perjodohan ini. Ayah akan menceraikannya," katanya sebelum benar-benar pergi dari hadapan Aliya. "Lalu, kamu. Harus tinggal di sini, dan jangan berani-berani keluar tanpa seizin saya."

Deg!

"A-ayah ...," lirih Aliya.

...

"Assalamu'alaikum, Paijo."

"Eh, Mbok Inah. Wa'alaikumussalam. Ya Allah, banyak banget oleh-olehnya." Paijo lekas membuka pagar rumah tersebut dengan memencet tombol pada remot yang dipegangnya.

"Ini buat Paijo," kata Inah sembari menyerahkan satu kantong kepada Paijo. "Iya dong, Paijo. Di rumah ini, kan, banyak orang. Jadi, aku ini pasti bawa oleh-oleh yang banyak."

Mendengar kalimat terakhir Inah, Paijo yang tadinya semringah. Sekarang berubah murung. Bahkan, ia sendiri lupa untuk mengatakan 'terima kasih' kepada Inah. Hal itu, lantas membuat Inah mengerutkan dahinya.

"Kenapa, Paijo?"

"Anu- Mbok."

Melihat Paijo yang nampak gugup, membuat perasaan Inah yang sejak kemarin terasa tidak enak, menjadi semakin jelas terasa.

"Katakan saja!" titah Inah tak ingin dibuat penasaran.

Paijo mempersilakan Inah duduk terlebih dahulu di kursi depan pos satpam. Lalu, ia pun mulai menceritakan informasi yang ia dapat dari hasil pembicaraannya dengan Brian semalam.

"Ya, Allah ... kasian banget Neng Aliya," ucap Inah iba. Terlebih lagi, Aliya sudah ia anggap seperti putrinya sendiri. Sakit hatinya setelah mendengar semua itu. "Tapi, Paijo ... apa alasan nyonya sama tuan berpura-pura?"

"Kalau itu, Den Brian mau cari tau dulu, Mbok."

"Apa mungkin ada perjodohan?"

"Kok bisa kepikiran ke sana, Mbok?"

Meski Aliya sudah mendapatkan kasih sayang kedua orang tuanya, tapi Aliya tidak pernah melupakan Inah. Perhatian Aliya tetap sama kepadanya. Bahkan, kegiatan yang biasa ia lakukan sejak kecil bersama Inah, masih dilakukannya. Yaitu, belanja bulanan bersama ke pasar dan juga beberapa barang ke supermarket.

Saat itu, cuacanya terlihat sedang tidak baik. Langit tidak sedang ceria. Kelabu menyelimuti sekelilingnya. Mereka mengira, kalau langit yang mendung ini tidak akan meneteskan tetes-tetes air ke hamparan bumi. Sebab, biasanya mendung belum berarti hujan, kemarin-kemarin pun suasananya begini, tapi tidak turun hujan.

Setelah selesai berbelanja di supermarket, Inah dan Aliya pun hendak menghampiri mobil yang ada di tempat parkir yang agak jauh jaraknya. Hari itu, sedang weekend, sehingga banyak orang yang datang, sedangkan lahan parkirnya terbatas. Makanya, mobil mereka terparkir cukup jauh. Namun, baru sampai di lobi, hujan sudah mengguyur bumi dengan tetesan-tetesannya yang deras.

"Yah, Mbok ... Seharusnya kita denger pepatah 'sedia payung sebelum hujan'. Bukan 'mendung belum berarti hujan'."

"Ndak pa-pa, Neng. Kita tunggu reda aja, siapa tahu hujannya sebentar. Kalau belum reda juga, kita balik ke dalam, beli jas hujan atau payung."

"Sayang, ya, kalau beli. Di rumah banyak banget."

"Nah, iya. Semoga aja hujannya reda, Neng."

"Ekhem," deham seseorang.

Aliya dan Inah yang menyadari dehaman tersebut, lantas menoleh. Inah terkejut, saat Aliya langsung menyalami tangan ibu dari pria tersebut. Lalu, mengatupkan tangan pada ayah dari pria tersebut.

"I-ini, Ghani, Mbok. Temen Alvin. Terus, ini ibu dan ayahnya."

Aliya terlihat gugup, saat Inah menatapnya dengan tatapan penuh tanya.

"Ooh," Tanpa curiga, Inah pun tersenyum lebar, lalu menilik-nilik wajah kedua orang tua Ghani tersebut. "Kalau tidak salah, ini putranya Pak Santoso, kan? Dan ini, putrinya Pak Marwan?"

"Benar sekali, Mbok Inah. Dulu, saya sering berkunjung ke rumah Pak Surya, ketika beliau masih hidup. Sudah lama sekali, saya tidak bertemu Mbok. Ya, itu karena Deni jarang membawa saya ke rumahnya."

"Oh, iya benar, Pak."

Inah pun melirik putra Fatan yang bernama Ghani itu, dia terlihat tengah senyum-senyum. Inah pun lantas mengikuti sorot mata Ghani, dan ternyata laki-laki itu tengah menatap ke arah Aliya.

Sementara itu, Inah melihat Aliya sedang gelisah dan gugup. Tangannya terus memainkan ujung khimar, dan matanya tertunduk ke bawah.

Saat itu, Inah penasaran, dan ia bertekad akan menanyakan hal tersebut setelah mereka pulang. Namun, ketika di rumah, Inah justru lupa untuk membahas hal tersebut.

***

Garut, 15-16 September 2022

DUA PINTU SURGA✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang