35 : Sebuah Keputusan

20 3 0
                                    

Acara kajian dari awal sampai akhir telah selesai. Para jama'ah ada yang meninggalkan area masjid sembari bercengkrama dengan rekannya, dan ada juga yang duduk diam untuk menunggu azan zuhur berkumandang. Aliya merupakan salah satu orang yang masih duduk. Rutinitasnya setiap selesai kajian, selalu salat zuhur di masjid tempat kajian tersebut dilangsungkan, makanya ia tidak beranjak.

Mata Aliya menengok ke arah jama'ah yang keluar dari area masjid, barangkali ada kenalan dekatnya yang menyempil. Ternyata, tidak ada.

Ketika area masjid sudah tidak terlalu dipadati jama'ah, Aliya menyipitkan matanya. Ia merasa mengenali seseorang yang tengah duduk di sudut sana.

Perempuan yang tengah duduk di sana pun menoleh ke arah Aliya. Mereka berdua pun lantas melempar senyuman.

Aliya selaku yang lebih muda pun menghampiri dan mencium tangan perempuan paruh baya itu. "Ibu apa kabar?"

"Alhamdulillah, baik. Anakku apa kabar? Sudah lebih baik perasaannya?"

"Alhamdulillah. Doakan biar bisa bener-bener pulih, Bu," pinta Aliya pada perempuan yang ia temui tempo hari, ketika ia melarikan diri dari rumah sakit. Ya, perempuan paruh baya itu tak lain adalah Munah.

"Iya, Sayang. Ibu selalu doakan."

"Oh, iya, Ibu sendirian aja?"

"Enggak, Anakku. Ada temen ibu juga, tapi lagi ke supermarket dulu."

"Ooh gitu, Bu."

Munah mengangguk. "Pernikahan kamu sebentar lagi, kan? Gimana persiapannya?"

Ditanyai seperti itu, senyuman Aliya yang semula mengembang seketika memudar. Ia kembali teringat akan ucapan Ghani yang kecewa itu.

"Lho, kenapa? Ada apa? Cerita sama ibu, Nak."

...

"Ghani, ukuran sepatu Aliya tiga lapan apa tiga sembilan?" tanya Kirana yang tengah memegang sebuah sepatu sederhana, tapi memiliki kesan elegan, yang bisa digunakan untuk acara formal maupun santai.

"Bentar." Ghani melihat layar ponselnya, ia membuka folder mengenai Aliya. Informasi mengenai ukuran sepatu ada di sana, informasi itu ia dapatkan dari Alvin semalam, Ghani meminta pendapat Alvin soal seserahan apa saja yang akan dibawanya nanti. "Tiga sembilan, Mah."

"Okay. Lucu, kan, ini?" tanya Kirana meminta pendapat Ghani.

"Lucu kok, Mah. Pilihan Mamah gak pernah salah deh, selalu the best."

"Eem bisa aja anak Mamah," kata Kirana sembari terkekeh kecil setelah mendengar pujian putranya.

"Kalau sendalnya, Mamah ada dua rekomendasi, Ghan. Coba, menurut kamu bagus yang ini atau ini?"

Kirana menunjukkan dua sandal cantik pilihannya. Pertama, sandal model tali dengan sedikit hak. Kedua, sandal teplek alias tanpa hak, dengan model simpel beserta bubuhan hiasan kupu-kupu.

"Emmm, kalau kata Alvin, Aliya tuh suka yang simpel-simpel." Ghani melihat model sendal lainnya di rak.

"Kalau yang ini, Mas? Ini modelnya simpel. Ini model capit, terbuat dari kulit, polos juga, tapi kesannya elegan," saran sang pegawai toko.

"Wah, menurut Mamah ini bagus, Ghani."

"Ghani juga setuju."

Sesuai dengan komitmennya dengan Aliya tempo hari, ia tidak akan memberitahukan perbincangan di rooftop kepada orang tuanya. Oleh karena itulah, Kirana tampak semringah membeli barang-barang untuk seserahan nanti. Ia sama sekali tidak khawatir, kalau kabar pembatalan pernikahan kemungkinan bisa terjadi.

Semoga Mamah gak kecewa. Semoga pernikahan ini memang akan berlangsung, batin Ghani penuh harap.

...

Munah menggenggam tangan Aliya dan mengusap punggung tangannya itu. "Aliyaa ...," ucapnya sembari menatap mata, "kamu gak akan kehilangan hak kamu sebagai putri walaupun sudah menikah."

"Lagian, kamu tau bagaimana Ghani, kan? Bahkan, dia juga sudah bilang begitu di rooftop. Itu artinya, kamu gak perlu khawatir setelah menikah nanti, Ghani akan memenuhi permintaan kamu, dia akan berlaku hati-hati, tidak akan memaksa, dia akan berusaha menyenangkan hati kamu," lanjut Munah.

Aliya memahami apa yang disampaikan Munah. Sembari bernostalgia dengan karakter Ghani selama di pesantren, Aliya juga membayangkan bagaimana masa depannya bersama Ghani kelak.

"Kalau ibu lihat, ya, Ghani punya cinta yang sangat besar buat kamu. Dengerin Ibu, ya, Al. Laki-laki itu, kalau udah cinta banget sama wanitanya, wanitanya bakalan beruntung selama hidupnya. Ghani tidak akan menjadi raja bengis yang tak peduli hati istri, justru dia akan memanjakanmu, Nak. Akan selalu berusaha memenuhi segala pinta yang kamu inginkan. Kamu akan menjadi seorang ratu yang sangat beruntung."

"Em, Al. Apa pun yang terjadi sama kamu, aku harap, kamu bisa terus bersabar. Ana yakin, kamu kuat."

Aliya teringat kata-kata Ghani pada acara perpisahan kala itu.

"Ghani milih mundur malam itu, karena Ghani takut gak bisa jaga Neng Aliya dengan baik. Den Ghani masih menyalahkan dirinya setelah kejadian yang nimpa Neng," kata Inah setelah Aliya siuman dari pingsannya. "Setelah perbincangan semalam, akhirnya Den Ghani gak jadi batalin. Lagian, kan, Neng, kalau Den Ghani gak cepet dateng, Mbok gak bisa bayangin gimana hancurnya Neng Aliya."

"Ibu benar," kata Aliya sembari menghapus air mata yang jatuh.

"Kalau misalnya kamu belum seratus persen yakin, kamu bisa berbincang sama orang tua kamu."

Aliya menggeleng pelan. "Aku sama Ghani udah sepakat gak bilang ini ke orang tua, Bu."

Munah mengangguk memahami arah pikir keduanya sampai memutuskan seperti itu. "Kamu perlu ngobrolin itu sama mereka. Kalaupun enggak nyeritain obrolan kamu sama Ghani yang itu, tapi kamu bisa sampaikan ke orang tua kamu, soal keresahan yang kamu rasakan. Kamu bisa kok bilang ke mereka, kalau kamu takut berpisah, takut kehilangan kasih sayang orang tua kamu."

"Jangan dipendam, Aliya. Keresahan yang sedang kamu rasakan itu harus dikomunikasikan. Supaya hatimu bisa lebih lega," lanjutnya.

"Aaaa terima kasih banyak, Bu Munah," ucap Aliya sembari berhambur memeluk perempuan paruh baya itu.

***

Garut, 30 Januari 2022

DUA PINTU SURGA✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang