24 : Cinta yang Besar

30 2 0
                                    

Sayup-sayup terdengar suara azan Subuh berkumandang dari masjid. Sementara itu, seorang perempuan paruh baya berjilbab panjang menuangkan air teh hangat ke dalam cangkir. Kemudian, ia membawa cangkir tersebut dengan alas piring kecil di bawahnya.

"Silakan diminum, Nak."

Perempuan berusia 18 tahun itu menatap dengan mata sembapnya. Tampak sedikit senyum di bibir mungilnya, sesaat sebelum tangannya menyentuh pegangan gelas.

"Makasih, Bu."

Diteguknya teh tersebut hingga menimbulkan sensasi hangat yang memeluk organ-organ tubuhnya, mulai dari organ pernapasan hingga pencernaannya. Cocok sekali diminum dini hari begini, udara Subuh memang seringkali menusuk kulit.

"Setelah ini, kita salat bareng, ya, Nak Aliya."

Perempuan muda itu pun membalas dengan anggukan kecil.

Beruntung, Aliya tidak mendapatkan pengalaman buruk yang baru. Ia bertemu dengan seorang ibu-yang katanya-juga pendakwah atau sebut saja ustadzah di daerah tersebut. Wajah teduh Bu Munah-ibu itu-dan tutur katanya yang lembut, membuat Aliya merasa nyaman bersamanya.

Walaupun begitu, Aliya masih merasa tidak enak dengan Bu Munah. Sebab, saat bertemu tadi, ia sempat berperilaku tidak baik.

"Aaaaa!"

Mendengar Aliya berteriak, Bu Munah buru-buru membekap mulutnya. Pukul tiga dini hari, mana mungkin Bu Munah membiarkan suara yang melengking itu mengganggu penduduk sekitar. Selain karena ingin menjaga kenyamanan penduduk, Bu Munah juga ingin menjaga keamanan perempuan muda yang baru ia jumpai itu. Bisa saja Aliya diamuk warga karena telah mengganggu kenyamanan.

Setelah Bu Munah berada di hadapan Aliya, barulah ia bisa sedikit tenang.

Bu Munah yang baru pulang dari pasar dengan barang belanjaannya, lantas mengajak Aliya ke rumahnya yang sederhana. Lalu, secara hati ke hati, Bu Munah pun mengajak Aliya mengobrol. Sebab, celana yang Aliya kenakan itu, membuat Bu Munah curiga sekaligus khawatir. Ada keadaan apa yang membuat pasien rumah sakit sampai melarikan diri?

Panjang lebar Aliya bercerita, memantik rasa iba di hati Bu Munah. Sungguh tak mudah, bisa berada di posisi Aliya. Bahkan, untuk membayangkannya pun, rasanya tak sanggup.

"Assalamu'alaikum warahmatullah ...," ucap Bu Munah selaku imam salat subuh.

Aliya sebagai makmum pun lantas mengikuti. Kemudian, mereka pun berdoa dengan khidmat.

"Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahiim, Ya 'Aziz, ya Hakiim ... Laa haula wa laa quwwata illa billah. Hambamu yang lemah dan tak berdaya ini memohon bantuan-Mu, ya Rabb. Bantulah lapangkan hati hamba, permudahlah langkah hamba untuk sembuh dari luka trauma itu. Hamba ingin, bisa menatap mereka yang menyayangi hamba, juga yang hamba sayangi itu, dengan tatapan bahagia. Bukan tatapan ketakutan dan kekhawatiran. Bantu hamba, ya Allah ... Hasbunallah wa ni'mal wakil, ni'mal maula wa ni'man-nashiir," pinta Aliya lirih dalam doanya.

Seusai salat, Aliya membantu Bu Munah memasak untuk sarapan dan kebutuhan kateringnya. Aliya tidak merasa keberatan dengan hal itu, karena memasak adalah kesukaannya sejak kecil. Bahkan, ketika di pesantren dulu, ia dinobatkan sebagai koki tetap, karena masakannya yang sangat menggugah selera.

"Maaf, Nak, jadi direpotin begini," ucap Bu Munah sungkan.

"Gak pa-pa, Bu. Aliya malah lebih ngerepotin Ibu."

"Ah, Ibu sih gak repot. Seneng yang ada."

"Aliya juga seneng, Bu. Masak itu hobi aku dari kecil."

Tampak binar-binar keceriaan di mata Aliya ketika mengungkapkan ketertarikannya pada dunia masak. Bahkan, ia pun menceritakan pengalamannya waktu di pesantren dulu.

Bu Munah tersenyum melihat itu, ada sebuah progres baik dari perempuan yang hatinya sekuat baja itu.

"Masyaallah ... Nak Aliya ini hebat, ya. Ibu jadi gak sabar makan nasi gorengnya." Bu Munah berkomentar dengan antusias.

"Bentar lagi jadi, Buu. Sabar, yaa," balas Aliya.

"Iya, Anakku."

Keramahan Bu Munah, bahkan sampai mengatakan "Anakku", membuat Aliya merasa seperti sudah lama mengenal Bu Munah. Padahal, pertemuan mereka baru beberapa jam.

"Anak-anak Ibu semuanya merantau sama keluarganya masing-masing. Tadinya, ibu di sini tinggal sama suami. Tapi, semenjak suami Ibu meninggal, ibu jadi sendirian di sini. Sepi rumah tuh. Makanya, rasanya seneng banget kedatangan tamu," papar Bu Munah di meja makan, setelah menyuap nasi goreng buatan Aliya yang memang sangat-sangat lezat.

Aliya manggut-manggut mendengar cerita Bu Munah.

"Kamu, Nak." Bu Munah memegang tangan Aliya. "Ibu tau, tidak mudah menjalani apa yang kamu alami sekarang ini. Ibu doakan, semua itu akan segera berlalu. Kamu adalah orang yang berhati lembut, Ibu yakin, cinta di hatimu besar. Pasti, cinta itu akan bisa mengalahkan rasa takut yang sekarang menggerogoti hatimu."

Aliya menatap mata Bu Munah cukup dalam, setelah mendengar penuturannya.

...

Dua laki-laki berseragam cokelat itu tengah mendengar penjelasan Denian dengan seksama. Kejadian dini hari ini, jelas membuat hatinya gempar. Baru pertama kali merasakan hangat kasih sayang di hatinya untuk Aliya, mengapa keadaan justru memisahkannya seperti ini? 

Sementara itu, tampak Mbok Inah tengah duduk sembari menundukkan kepalanya. Sedih dan resah begitu menyelimuti hatinya. Sesal pun hadir, kecewa akan dirinya yang tak ikut menjaga anak gadis itu, yang sudah ia rawat sejak bayi. Pikiran-pikiran buruk ikut simpang siur membayangi.

"Aliyaa," kata Ghani diakhiri dengan embusan napas panjang.

"Mbok," panggil Ghani agak sungkan, pasalnya Inah terlihat dingin sejak semalam-sejak mengetahui soal perjodohan itu.

Inah menoleh tanpa suara, juga tanpa tatapan menanyakan.

Ghani memahami perempuan yang sudah dianggap ibu oleh calon istrinya itu. "Mbok, bantu aku cari Aliya di daerah sekitar rumah sakit. Siapa tau, kan, Aliya gak jauh dari sini?" ajaknya.

"Inggih, Den. Simbok iki gak tenang kalau duduk-duduk saja."

Ghani mengangguk pelan. "Ya, ayo, Mbok. Kita cari Aliya sekarang."

***

Garut, 22 Oktober 2022

DUA PINTU SURGA✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang