Bab 2

16.4K 848 16
                                    

*lanjutan bab 1

Aku menatap langit-langit kamarku dengan pipi yang terasa memanas, padahal AC sudah kunyalakan. Mungkin ini efek dari kecupan perpisahan yang diberikan Edgar sebelum pulang tadi. Aku tidak menyangka dia akan bersikap manis seperti itu. Dan yang membuatku lebih tidak menyangka adalah aku yang datang ke acara itu dengan tersemat cincin pemberian Edgar.
Kupejamkan kedua mataku, mencoba menetralisir perasaan yang sejak tadi tidak kumengerti. Aku seperti gadis remaja yang baru berpacaran saja. Padahal umurku tidak lama lagi akan menginjak kepala tiga. Mataku rasa-rasanya sudah tidak kuat lagi untuk terbuka, meski seharusnya aku mengganti pakaianku. Tetapi mata ini tidak mau berkompromi. Baru ketika terdengar bunyi aplikasi Line, mataku secara otomatis terbuka begitu saja.
Edgar A.W
Good night and thank for tonight. :*
Aku tersenyum membaca pesan dari Edgar. Laki-laki dingin dan tegas itu ternyata bisa juga bersifat kekanak-kanakan.
Naila K.A
Good night too, Mr.Edgar.
Balasku tanpa menyertakan emotion seperti yang dilakukan Edgar. Setelah itu aku yang tadi malas untuk mengganti pakaian, langsung menyambar satu stel baju tidur dan menggantinya tanpa mandi lebih dulu. Lagi pula sudah malam dan tidak baik mandi malam-malam. Terlebih besok pagi aku ada jadwal temu dengan pasien.
***
Bab 2

    Dengan langkah santai dan percaya diri, aku memasuki lobby rumah sakit. Belum-belum sampai di ruanganku, aku sudah diberondong oleh beberapa suster, perawat, dan dokter yang memberikan ucapan selamat kepadaku. Sejujurnya aku gugup menghadapi tanggapan mereka tentang pengumuman pertunangan yang dilakukan Edgar semalam. Aku takut mereka beranggapan yang tidak-tidak tentangku, terlebih sebelumnya aku tidak pernah terlihat dekat atau bertegur sapa layaknya sepasang kekasih dengan Edgar.
     "Saya tidak menyangka jika Dokter Edgar diam-diam sudah menentukan pilihannya kepada Dokter Naila." Ungkap Dokter Haris, rekanku di devisi kejiwaan.
     "Saya juga, Dok. Apa lagi sebelumnya saya kira Dokter Naila tidak memiliki kekasih, tahu-tahunya kekasihnya dokter most wanted di rumah sakit ini ternyata!" Timpal Suster Rina.
Aku menanggapi mereka dengan senyuman yang sebenarnya sangat sulit untuk aku munculkan. Aku ingin segera terlepas dari mereka.
"Jadi, kapan nih Dok rencana nikahnya?" tanya Suster Ami, suster senior.
"Akhir bulan depan, Suster!"
Jawaban itu bukan keluar dari bibirku, melainkan dari seseorang yang berjalan dari belakangku. Tanpa menolehpun aku tahu siapa dia dari aroma parfume-nya yang kuyakini dari salah satu merek parfume pria terkenal.
"Wah...wah...wah...ternyata Dokter Edgar sudah tidak sabar mempersunting dokter cantik dari divisi kejiwaan ini ya!" canda Dokter Haris yang membuat laki-laki yang baru datang itu tertawa renyah di sampingku.
"Tentu saja, Dokter! Sayakan tidak mau kecolongan, jadi harus segera dipatenkan." Edgar membalas candaan Dokter Haris yang membuat para suster tersenyum-senyum.
Aku hanya bisa diam di samping Edgar, terlalu canggung untuk membalas canda dan gurauan mereka.
"Dokter dan Suster tunggu saja undangan dari kami. Sekarang kami undur diri, ada yang perlu saya bicarakan dengan calon istri saya ini. Mari!"
"Silahkan, Dok!"
Kurasakan tangan Edgar menggenggam tanganku, membuatku menatapnya. Dia tersenyum membalasku.
"Ayo!"
Seperti itik yang mengikuti induknya, akupun mengikuti Edgar begitu saja. Lagi pula sudah dari tadi aku ingin terlepas dari mereka. Tetapi efek dari pengumuman tadi malam ternyata tidak hanya membuat para dokter, suster, dan perawat saja yang terkejut. Para pasien rumah sakit pun seakan-akan menatapku dengan tatapan menyelidik dan menilai. Pasalnya tidak pernah sekalipun Edgar terlihat menggandeng wanita, terlebih ini di pagi hari. Rasa-rasanya aku tidak tahan lagi dan membuatku mencoba melepaskan genggaman Edgar.
"Kenapa?" tanya Edgar tiba-tiba berhenti dan membuatku menubruknya.
"Em...aku hanya tidak enak dilihat orang-orang, Gar." Jawabku sembari melirik tangan kami yang bertautan.
"Gak apa-apa, biar mereka tahu kalau kamu itu milikku!"
Aku terpana mendengar tanggapannya. Ternyata selain bertangan dingin di meja operasi, laki-laki ini juga posesif terhadap yang dimilikinya. Sepertinya tidak akan mudah hidup dengan laki-laki ini.
"Lunch bareng?"
"Of course, if you can!"
***
"Maaf, aku tidak bisa makan siang bersama kalian. Aku sudah ada janji!"
"Iya, iya, kalau begitu salamkan sayangku untuk Leon."
Begitu Nesa mengakhiri percakapan kami, aku langsung memutar kursiku kembali menghadap meja. Dan betapa terkejutnya aku melihat Edgar berdiri dengan menyilangkan tangan di dada. Matanya menatapku dengan tajam, menguliti kulitku.
"Hai, kita jadi makan siang?"
Basa-basi aku mencoba mencairkan suasana Edgar yang sepertinya dalam emosi yang tidak baik. Beberapa menit aku menunggunya menjawab pertanyaanku tetapi dia hanya diam saja, masih dengan menatapku.
"Gar?"
"Ya? Kamu tadi bilang apa, Nai?"
Aku menghela napas kemudian beranjak menghampirinya.
"Kita jadi mau makan siang? Kamu datang ke sini buat itukan, Gar?"
"Iya, iya, ayo!"
Entah perasaanku saja atau memang Edgar terlihat gugup dan seperti sedang menyembunyikan sesuatu, aku tidak tahu. Walaupun begitu kami tetap melanjutkan rencana makan siang bersama. Aku yang memilihkan tempat makan siang kami karena sedari tadi Edgar hanya diam saja.
"Kamu kenapa, Gar?"
"Hah? Apa, Nai?"
Aku menghembuskan napas lelah. Omonganku ternyata tidak didengar sama sekali. Kalau tahu dia akan seperti ini, lebih baik tadi aku makan siang bersama Nesa dan si tampan Leon saja.
"Kamu, dari tadi kenapa cuman diem aja? Kalau gak jadi mau makan siang sama aku bilang aja, akukan bisa makan siang bareng Nesa sama Leon!" kataku dengan kesal.
Kulihat sepasang mata Edgar langsung menatapku tajam.
Apa yang salah?
"Oh...jadi kamu lebih milih makan siang sama orang lain di banding calon suami kamu sendiri, gitu Nai?"
"Ya, kalau kamu dari tadi hanya diam saja dan tidak memperhatikanku!" jawabku lantang, sama sekali menghiraukan kilatan marah di mata Edgar.
Edgar dengan mata yang masih menyiratkan kemarahan terdiam begitu mendengar kata-kataku. Sepertinya dia mulai menyadari kesalahannya, terlihat dari caranya mengatur pernapasannya. Edgar mencoba tenang kembali sepertinya.
"Aku bukannya tidak mau makan siang denganmu, tapi kalau kamu hanya menjadikan aku patung lebih baik aku menerima tawaran Nesa jadi aku bisa bertemu si bayi kecil, Leon." Jelasku tanpa diminta, melihat Edgar yang sudah kembali tenang.
     "Tunggu... tunggu, tunggu dulu! Apa maksud kamu si bayi kecil Leon?"
      Keningku mengerut mendengar pertanyaan tak terduga dari Edgar. Apa sikapnya itu karena dia tadi mendengar aku bertelpon dengan Nesa? Dan Leon, jangan bilang kalau sikap acuh Edgar tadi karena Leon? Si bayi tampan yang masih baru tumbuh itu.
      "Gar...jangan bilang kamu udah salah sangka dan nyangka kalau Leon itu laki-laki dewasa, iya?"
      Dapat kulihat Edgar tidak tenang dalam duduknya. Dia pasti malu karena sudah salah paham. Dasar laki-laki!
      Aku terkekeh sendiri melihatnya dan di balas dengan tatapan tajam Edgar yang sama sekali tidak membuatku berhenti.
     "Ketawa aja, seneng kamu udah bikin aku cemburu sama bayi!" Sindirnya.
     Aku yang masih terkekeh tiba-tiba saja bungkam mendengar sindiran Edgar. Yang entah mengapa membuat pipiku memanas.
     "Ciehh...Naila pipinya merah, ciehh!!!" Godanya.
      "Edgar, apaan sih!"
***
      Tidakkah aku terlalu cepat untuk jatuh cinta kepadanya? Sudahkah aku benar-benar melupakan dia? next part.

Thanks for reading this story, sorry for typo. And please vote and give me a comments too.

My Destiny is You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang