Bab 21

6.4K 385 11
                                    

Hai hai hai... Aku balik lagi bawa pasangan ini. Maaf udah nunggu lama dan inipun gak banyak.
But please enjoy it. Thank you😄
Happy reading.

Sudah 5 menit yang lalu kami hanya saling membisu memandangi riak-riak air di Sungai Thames. Aku dan Edgar menghabiskan waktu di taman di pinggir Sungai Thames setelah puas menaiki kincir raksasa tadi. Edgar pun sepertinya tidak berniat membawaku jalan-jalan ke tempat lain dan aku sendiripun hanya ingin cepat-cepat menonton pertunjukkan Opera. Kami memang saling membisu tetapi sebelah tangan kami saling bertautan.

Sejak bersama Edgar aku mengenal sisi lain dari keromantisan. Sesuatu yang romantis ternyata tidak hanya harus terucap kata, mengumbar kemesraan ataupun sesuatu yang mahal. Hanya dengan tautan tangan dan sebuah kebisuanpun dapat menjadi hal yang romantis. Senja sudah menghilang setengah jam yang lalu dan tergantikan dengan lampu-lampu dari bangunan-bangunan yang sangat mencerminkan kehidupan perkotaan sekali. London di kala malam tidak kalah indahnya dengan di kala senja.

"Mau berangkat sekarang?"

Aku melihat jam tanganku, satu jam lagi pertunjukan akan dimulai. Walaupun London bukanlah Jakarta yang macetnya tidak memiliki solusi tetapi berada lebih awal tentu akan lebih baik. Kami bisa jalan-jalan dulu sebentar di sana.

"Ayo, kita berangkat!"

Aku berdiri lebih dulu dari Edgar dan berniat untuk berjalan duluan, tetapi tangannya mencegahku untuk pergi. Aku menatapnya dengan pandangan bertanya tetapi tidak dihiraukannya.

"Kancingkan dulu coats-mu, angin malam tidak baik bagi kesehatan. Harusnya kamu tahu itu!" Edgar bersikap manis dengan mengkancingkan coats-ku sampai aku seperti kepompong. Walaupun aku merasa seperti pasiennya yang bandel dan sedang dinasihati.

"Iya Bapak Dokter, saya mengerti." Kubalas mencandainya dan Edgar malah mengusap kepalaku sambil tersenyum hangat. Ouwh...tiba-tiba saja udara London memanas di sekelilingku!

"Ayoo, berangkat!" seruku menggandeng lengan Edgar dan setengah menyeretnya agar menyamai langkahku.

Aku mungkin sudah ribuan kali jalan-jalan malam di London tetapi malam ini semuanya terasa berbeda. Entah karena sekarang statusku bukan sebagai mahasiswa lagi, atau karena aku bukan berjalan-jalan dengan Kak Lukas lagi, atau mungkin...karena sekarang aku berjalan-jalan dengan laki-laki yang kucintai dan berstatus sebagai suamiku? Sepertinya pilihan terakhir yang paling tepat dengan apa yang kurasakan saat ini.

Aku menatap laki-laki di sampingku ini, ada perasaan membuncah ketika menatapnya, membuatku semakin merapatkan diri ke tubuhnya. Edgar tidak berkata apalagi bertanya, dia hanya menerima dengan memberikan kecupan di ubun-ubunku. That's almost enough as a agreement.

***

Niatnya agar datang lebih awal malah masuk di sepuluh menit sebelum pertunjukan di mulai. Salahkan Edgar yang tiba-tiba saja minta makan, dasar! Padahalkan rencananya kami baru akan makan malam setelah pertunjukan opera selesai. Tapi Pak Dokter itu ngotot ingin memajukan makan malamnya karena omelnya alasan kesehatan padahal aku tahu dia lapar setengah hidup. Dan sayangnya mencari makan di London yang halal seperti mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Tetapi untunglah kami menemukannya walaupun membuatku harus berlari-lari malam agar tidak terlambat.

"Kamu sih, Gar pake acara makan dulu. Kan kita bisa abis nonton." dumelku.

"Maaf, maaf sayang! Abis aku laper banget, gak bisa ditahan sampe nanti."

Yah... Akhirnya aku hanya bisa menghela napas, memakluminya. Lagi pula tadi juga aku ikutan makan gara-gara melihat Edgar yang nafsu sekali makannya.

Kamipun memasuki teater pertunjukan The Phantom of The Opera di The Royal Albert Hall. Sudah banyak penonton yang menduduki kursinya masing-masing. Aku dan Edgar jadinya harus berusaha menemukan kursi kami di antara deretan kursi yang sudah di tempati. Dan tepat sebelum pertunjukan dimulai, aku dan Edgar dapat mendudukkan bokong kami di kursi kami.

Ketika pertunjukan dimulai, aku langsung memusatkan perhatikanku ke panggung pertunjukan. Aku sama sekali tidak memedulikan Edgar, baru sekitar tiga puluh menit acara berlangsung aku melirik Edgar. Dan yang kulihat adalah Edgar yang sedang tertidur hampir terlihat pulas dengan posisi duduk tegak. Dasar, Edgar! Bisa-bisanya dia tertidur ketika suara musik dan pemain mengisi seluruh ruangan dengan menggelegar.

Walaupun begitu aku tidak tega untuk membangunkannya. Kuusap sebelah pipinya dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku tidak terlalu memikirkan orang lain yang melihat, itupun jika mereka memperhatikan. Edgar sepertinya mengantuk karena kekenyangan dan mungkin reaksi jetlag-nya baru terasa. Sedangkan aku hanya terlalu bersemangat untuk menonton jadi kurasa aku mengenyampingkan lebih dulu rasa lelahku.

Pandanganku kembali fokus begitu si Phantom dan Christine menyanyikan lagu The Phantom of The Opera yang membuatku merinding. Meski pandanganku terfokus dengan pertunjukan, sebelah tanganku dengan berirama mengelus-elus kepala Edgar yang rambutnya terasa halus di tanganku. Aku merasa seperti menina bobokannya. Aku terus seperti itu sampai pertunjukan berakhir dengan tepuk tangan puas para penonton.

***

"Kamu gak seru ah, Gar! Masa enak-enakan tidur sih."

"Salah sendiri bukannya ngebangunin malah bikin aku lelap aja kamu."

Aku sebenarnya tidak mempermasalahkannya, hanya saja bisa menggoda Edgar ternyata seru juga. Aku mengampit lengan Edgar sembari keluar dari gedung The Royal, kami berjalan-jalan santai menikmati malam. Padahal seharusnya kami langsung pulang, tapi tadi Paman dan Bibi bilang akan menginap di rumah sahabat mereka yang baru dua hari pindahan. Jadinya kami menghabiskan waktu lebih lama berjalan-jalan di sekitar gedung teater.

Banyak pasangan seumuran kami yang juga tampak sedang menikmati malam. Aku merasa seperti sedang berpacaran lagi padahal status kami adalah suami-istri. Rasanya sudah lama sekali aku bergandengan tangan menelusuri jalan setapak demi setapak tanpa memutuskan tujuan.

"Mau ke mana sekarang?"

"Mencari secangkir Chocolate hangat untuk mengakhiri malam ini, bagaimana?"

"Ok!"

Kami mampir ke sebuah cafe untuk mendapatkan secangkir Chocolate hangat. Suasana cafe yang kami datangi sangat nyaman dan terkesan sangat santai yang membuat pengunjung betah untuk berlama-lama, juga dekorasi dindingnya yang hampir tertutupi oleh berbagai ornamen unik yang sepertinya koleksi si pemilik. Ornamen-ornamen ciri khas dari suatu negara, si pemilik mungkin orang yang hobi treveling. Membuat aku dan Edgar terpana, mungkin lain kali jika kami ke London lagi akan kuberikan miniatur wayang.

"Gimana, kamu senang hari ini?"

Aku menatap Edgar dengan mata berbinar, apa masih perlu dia menanyakannya? Tentu saja aku senang, tapi mungkin Edgar layaknya laki-laki pada umumnya yang membutuhkan penegasan.

"Tentu saja, aku sangat senang."

"Syukurlah, besok kita berangkat agak siang saja ya?"

Aku mengangguk dan tersenyum setuju. Well, kapanpun asalkan bersama Edgar bagiku tidak masalah.

Aku dan Edgar mengakhiri perjalanan malam ini dengan secangkir coklat hangat dengan kepuasan terpancar diwajah kami. Aku tidak sabar untuk perjalanan besok.

***

My Destiny is You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang