Aku tersenyum sendiri melihat tingkah menggemaskan Leo, anak itu tidak bisa tidak terlihat menggemaskan. Aku yakin dengan wajah tampan yang diturunkan Revan kepadanya akan membuat Leo digilai wanita-wanita di masa depannya. Dan mungkin aku termasuk salah satunya, jika saja aku tidak mengenal laki-laki yang saat ini mungkin dalam penerbangannya.
Ngomong-ngomong kenapa aku merasa seperti seorang tante-tante ganjen yang menyukai brondong sih? Tapi Leo memang pantas disukai, aku bahkan jatuh cinta saat pertama kali melihatnya hadir ke dunia ini. Masih kuingat jelas saat itu, karena itu adalah masa tersulit yang dilalui Nesa dalam hidupnya.
"Jadi, kalian sudah baikkan lagi begitu?" tanya Nesa yang sibuk memasukkan beberapa potong baju Revan ke dalam kopernya.
"Ya...bisa di bilang begitu."
"Ah...tapi sekarang dia pergi lagi? Berapa lama?"
"Katanya sih 4 hari, weekend dia pulang!"
Lalu tiba-tiba saja Nesa duduk di sampingku dan menatapku dengan tatapan puppy eyes-nya. Oh...something happen!
"Apa?"
"Bagaimana kalau selama itu kamu menginap di sini? Sekalian menemaniku dan Leo, hum?"
"Apa aku punya kesempatan untuk menolak?"
Nesa menggeleng. "Tentu saja tidak, Nai!"
Aku pura-pura memasang wajah tidak terima sekedar untuk mendramatisir keadaaan. "Kalau begitu mau bagaimana lagi, selesai dari rumah sakit aku akan pulang membawa beberapa baju dan Nesa, aku pinjam baju tidurmu, ya!"
Nesa mengacungkan tangannya membentuk huruf 'O'. "Ok, Nai!"
Tak lama Nesa pun kembali berkutat dengan keperluan-keperluan Revan untuk perjalanan dinasnya. Sedangkan aku bermain dengan si tampan Leo yang sudah bisa berjalan dan berbicara sedikit-sedikit. Sungguh membuatku ingin cepat punya anak sendiri. Ehk!
***
Kulangkahkan kakiku menuju lobi rumah sakit yang entah mengapa terasa lebih ramai dari biasanya. Dan juga mengapa banyak suster yang berada di lobi? Tidak hanya suster tapi juga para pasien rumah sakit yang di dominasi oleh kaum jenisku, wanita. Dengan rasa penasaran, akupun membuat langkah lebih cepat untuk sampai lobi. Hampir beberapa langkah lagi aku sampai lobi, ponselku bergetar, tanda pesan masuk.
Dari Nesa
Oh ya, Nai tadi aku lupa memberitahuku kalau Lukas hari ini kembali dari New York!
Mataku seperti akan keluar membaca pesan yang dikirim Nesa. Aku tidak akan mempercayainya jika Nesa tidak mem-bold nama laki-laki yang dulu pernah menjadi kekasih terindahku selama kuliah di London dan kini statusnya berubah menjadi seorang kakak bagiku. Aku sudah lama tidak bertemu dengannya setelah dia lulus dari Oxford dan memilih bekerja di salah satu perusahaan terkemuka di New York. Walaupun begitu kami masih saling berkomunikasi dan terkadang kami melakukan video call.
"De!" suara yang sudah lama tidak kudengar itu menyadarkanku dari lamunan.
Ketika aku mendongak, mataku menatap lurus sepasang mata coklat yang juga menatapku. Matanya sedikit penyipit karena dia tersenyum, wajahnya terlihat semakin tampan dari yang terakhir aku lihat. Sebelah tangannya melambai ke arahku membuat beberapa orang suster dan pasien wanita yang mengerubuninya mulai menyingkir.
Dia lalu merentangkan kedua tangannya, menyambutku untuk memeluknya. Dan seperti yang diinginkannya, aku berlari ke dalam pelukannya. Dia yang tadi ada dalam lamunanku kini memelukku, Kak Lukas.
"Aku merindukanmu, De!" bisiknya di telingaku.
Aku hampir lupa jika ini adalah rumah sakit dan kami berpelukan di lobi yang menjadi tontonan orang-orang. Dengan segera aku melepaskan pelukannya, dan sepertinya dia mengerti situasi kami.
"Kak, bagaimana kalau kita pindah ke café depan rumah sakit saja?"
"Ok, let's go!"
Dan seseorang yang kupanggil kakak itu menggandeng tanganku layaknya adik kecilnya. Sepertinya ada satu hal yang tidak pernah berubah di antara kami, yaitu cara dia memperlakukanku seperti aku adalah adik kecilnya. Itulah yang membuatku memutuskan hubungan percintaan kami dan menjadikannya hubungan saudara.
***
"Bagus sekali Kakak pulang tidak memberitahuku lebih dulu dan malah Nesa yang melakukannya!" kataku dengan kesal begitu kami duduk di café depan rumah sakit.
Lihatlah, dia hanya terkekeh mendengar kekesalanku.
"Kenapa aku harus memberitahumu jika kamu saja bertunangan tidak memberitahu aku, De?"
Wah...dia membalikkan keadaaan. Mungkin karena terlalu fokus dengan Edgar jadi aku sedikit melupakan laki-laki tampan satu ini.
"Baiklah...baik, kita seri, Kak!" kataku mengalah, berdebat dengan laki-laki di hadapanku ini tidak akan pernah membuatku menang.
"Ngomong-ngomong, kapan kamu akan memperkenalkan laki-laki yang sudah membuatmu berhasil dariku, De?" godanya yang kusambut dengan pelototan.
"Mungkin weekend, Kak. Dia lagi ada tugas di luar kota. Dan Kakak berapa lama di Jakarta?"
Kak Lukas tampak sedang berpikir untuk menjawab pertanyaanku, tapi tak berapa lama dia tersenyum kepadaku. "Kalau aku bilang aku akan menetap di sini, apa kamu akan membatalkan pertunanganmu, De?"
Aku terbelalak, bukan karena pertanyaan konyolnya tetapi akan jawabannya yang akan menetap di sini, di Indonesia.
"Kakak serius? Tinggal di Jakarta?" Kak Lukas mengangguk dengan pasti. Tapi entah mengapa aku merasa masih terasa janggal untuk mempercayainya begitu saja. Rasanya tidak mungkin Kak Lukas mau menetap lagi di Indonesia setelah apa yang dia dapatkan di New York, kecuali ada sesuatu yang membuatnya mau melakukannya.
"Apa ada alasan tertentu hingga akhirnya Kakak memutuskan untuk menetap?" selidikku.
"Wahhh...ternyata sampai kapanpun aku tidak bisa mengelabuimu ya, De!"
"Jadi, ada kan?"
"Ini...aku menetap karena ini!" katanya sembari menunjukkan sebuah cincin di jari manisnya.
Aku menatapnya tidak percaya. Si playboy Oxford akhirnya tunduk juga.
"Perempuan mana yang akhirnya menaklukan kamu, Kak? Aku harus berterima kasih dan merasa sedih karena bukan aku yang orangnya." Kataku berpura-pura.
"Kamu tidak mengenalnya, De. Dan ceritanya panjang, yang jelas aku ingin kamu datang hari minggu nanti ke Bandung. Jangan lupa bawa tunanganmu itu!"
"Tunggu...tunggu, ada apa dengan hari minggu di Bandung? Jangan bilang Kakak akan menikah!"
Kak Lukas tersenyum lebar hingga menampakkan deretan giginya yang tersusun rapi. Aku sungguh tidak bisa mempercayainya. Laki-laki yang ada di hadapanku ini adalah laki-laki yang dulu terkenal playboy, dan aku termasuk wanita yang terpesona dalam pesonanya. Selama kami berpacaran dulu aku bahkan harus menahan hati setiap kali dia tebar pesona kepada wanita lain.
Dan itu juga salah satu alasan aku memutuskan hubungan kami, hingga akhirnya aku dan dia menyadari jika kami sebenarnya bisa memiliki hubungan yang lebih baik. Tidak ada yang mendeklarasikan jika kami menjadi adik-kakak, tetapi kami bersikap seperti adik-kakak. Karena kami saling tahu jika itulah yang terbaik.
***
Aku berjalan memasuki rumah sakit dengan sebelah tangan memijiti keningku. Berita Kak Lukas sungguh membuatku terkejut, walaupun begitu aku merasa bahagia untuknya. Nesa dan Lisa harus kuberitahu kabar ini, aku yakin mereka juga tidak akan percaya. Terutama Nesa yang dulu juga mengetahui masa lalu kami. Aku hampir saja menabrak orang jika saja suster Aya tidak memperingatiku.
"Ya ampun Dokter Naila harusnya lebih berhati-hati. Dokter melamun ya tadi? Melamunkan apa, Dok? Laki-laki yang tidak kalah tampannya dari Dokter Edgar itu, ya?" rentet suster Aya dengan keingintahuannya.
Aku melongo mendengarnya. "Suster Aya, laki-laki itu kakak saya!" kataku.
Suster Aya sepertinya sedang memikirkan kata-kataku, sementara suster Aya sibuk dengan pikirannya aku masuk ke ruanganku yang tanpa kusadari aku sudah berada di depan ruanganku. Sepertinya kejadian di lobi tadi akan menjadi perbincangan para suster di rumah sakit dan tidak akan lama Edgar pasti akan mengetahuinya. Aku tidak akan menjelaskan apapun, cukup suster Aya kuberi penjelasan seperti itu saja.
Walaupun aku yakin dia tidak akan begitu saja mempercayainya. Lagi pula salahku yang menerima begitu saja ajakan non-verbal Kak Lukas tadi untuk memeluknya padahal itu di lobi rumah sakit.
"Ngomong-ngomong, Edgar apa kabar ya?" gumamku.Lagi mood jadi post sebelum weekend. Please vote and give some comments!!!
Thanks for reading.^^

KAMU SEDANG MEMBACA
My Destiny is You!
ChickLitHarus menelan omongan sendiri dengan menerima lamaran yang diajukan dokter muda yang tidak pernah terbesit dalam pikirannya. Terima? Ditolak, aku sudah berjanji. Baiklah, kita coba saja. - Naila Melamarnya? Hal tergila yang kulakukan tanpa persiapa...