Bab 6

11.1K 639 4
                                    

    "Jadi, apa saja yang kamu lakukan di Bandung, Gar?" tanyaku sembari sibuk dengan masakanku.
     Setelah peristiwa mellow tadi, perut keroncongan Edgar membuat kami saling menertawai satu sama lain. Edgar bahkan bersikap lebih manis kepadaku setelah mendengar pernyataan cintaku. Jadilah sebagai imbalannya aku memasakkan sesuatu untuknya.
     "Hanya pertemuan para dokter bedah dan sedikit membahas alat bedah baru dari Jerman." Jawab Edgar yang duduk manis di meja makan.
     Aku mengangguk-angguk dengan tangan memegang katel dan menuangkan masakanku ke atas piring. Lalu menghidangkannya ke hadapan Edgar yang sepertinya sudah sangat lapar.
    "Hmm...aku tidak tahu jika kamu pintar memasak, Nai!" puji Edgar, kemudian mencoba menyantap masakanku.
    "Bagaimana rasanya?"
    "Delicious! Sudah cocok untuk segera kunikahi." Gurau Edgar yang mulai sibuk dengan makanannya.
    Melihatnya menyantap masakanku dengan begitu menikmatinya membuat hatiku menghangat. Ini kali kedua aku merasakan jika diriku sangat berguna setelah membuat masakan pertamaku untuk Ayah setelah Ibu meninggal. Dan aku merasa jika ingin selalu melihat wajah Edgar yang sekarang, terlihat puas dengan masakanku.
    "Kamu tidak makan, Nai?"
     Aku menggeleng, "melihatmu makan saja sudah membuatku kenyang, Gar! Apa di Bandung mereka tidak menyediakan makanan untukmu?"
     "Tentu saja mereka menyediakan, tapi mana mungkin aku bisa menikmatinya jika pikiranku terbagi dengan memikirkanmu bersama laki-laki itu!"
     Edgar mulai membahas permasalahan alasan cemburunya. Aku menghela napas lelah, kukira dia sudah selesai dengan kesalahpahaman kami itu. Tapi ternyata dia masih ingin membahasnya. Kalau begitu baiklah, aku akan ikuti apa yang diinginkannya.
     "Salahmu sendiri kenapa tidak langsung meminta penjelasanku! Dan malah bersikap tidak ada apa-apa. Untung saja Nesa melihatmu keluar dari arah taman, kalau tidak aku tidak bisa menebak alasanmu dingin kepadaku, Gar." Tuturku.
      Edgar menyelesaikan makannya dan langsung menatapku. Lagi-lagi dia memasang raut wajah yang sulit kutebak artinya. Sebenarnya siapa yang wanita di sini? Kenapa Edgar lebih menyulitkan dan penuh teka-teki di bandingkan denganku.
      "Aku hanya tidak bisa mengontrol perasaanku, Nai! Aku tahu bahwa kamu tunanganku dan aku juga mengatakan kepadamu untuk menyelesaikan affair-mu, walaupun saat itu aku mengatakannya hanya untuk mencandaimu. Tapi aku tidak menyangka jika kamu memang masih memiliki affair yang belum selesai, di situlah aku merasa marah. Aku sempat berpikir, mungkin kamu akan kembali kepada laki-laki itu."
      Mendengar penuturan jujur Edgar membuatku pindah tempat duduk ke sampingnya. Kugenggam tangan Edgar yang berada di atas meja. Dia menatapku, menatap lekat kedua mataku membuatku tersadar betapa aku telah jatuh ke dalam pesonanya. Mengapa aku sempat berpikir jika hatiku akan goyah hanya bertemu dengan Wisnu kembali? Padahal aku sudah memiliki laki-laki yang lebih baik darinya. Laki-laki yang sangat diinginkan oleh wanita-wanita lain di luar sana.
     "Aku tidak akan pernah kembali kepada siapapun, Gar! Jika memang aku harus kembali, aku akan kembali kepadamu. Sejak malam di mana kamu memasangkan cincin ini di jariku, sejak saat itu pula mata dan hatiku kutujukan hanya kepadamu."
      Dan tanpa kuduga, Edgar meraih wajahku hingga wajahnya hanya beberapa centi dari wajahku. Aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya menerpa wajahku. Lalu tanpa sadar bibirnya sudah mendarat di bibirku. Aku sempat terkejut dengan tindakannya, namun dengan cepat aku dapat menyesuaian diri. Kubalas ciuman Edgar yang membuatnya semakin tidak terkendali menciumku. Ini adalah ciuman pertama kali setelah resmi bertunangan.
       Edgar menciumku seolah-olah tidak akan ada hari esok untuk melakukannya. Pada akhirnya akulah yang menghentikan ciuman kami, walaupun dapat kurasakan keengganan Edgar melepaskan ciuman kami. Tapi aku harus menghentikannya, karena aku tahu jika aku tidak berhenti Edgar akan melanjutkan ke yang lebih jauh. Dan itu belum saatnya terjadi.  Melihat wajah muramnya membuatku tersenyum dan memberikan usapan lembut di wajah lelahnya. Edgar membalas senyumanku, dan itu sudah cukup memberiku pertanda jika dia sudah kembali dalam mood yang baik.
     "Istirahatlah, Gar! Setelah membereskan ini, aku akan pulang." Pintaku.
     Edgar menggeleng, "Ini sudah malam, kamu menginap saja di sini! Tidurlah di kamarku, aku akan tidur di ruang kerjaku sambil membereskan beberapa berkas yang belum sempat kuurus."
     Baru saja aku akan melayangkan protes, Edgar langsung membungkanku dengan kecupannya. Dia mengambil kesempatan!
     "Ikuti perintahku, ok? Karena besok aku harus pergi ke Bandung lalu lanjut ke Riau."
     "Tunggu, aku kira kamu sudah selesai di sana!"
     "Memang, tapi ada beberapa hal yang harus kuurus. Jadi besok bantu aku siap-siap, ya!"
     Aku mengangguk lesu, "Baiklah! Tapi pinjamkan aku kaosmu."
     "Pakai saja sesukamu Nai, semuanya ada di lemari."
     Aku mendengus mendengar jawaban Edgar dan tidak kugubris lagi. Aku lebih memilih mencuci bekas makan Edgar dan membuat jus jeruk untukku. Dan dapat kurasakan jika Edgar meninggalkan meja makan, lalu berikutnya terdengar pintu yang di buka dan di tutup kembali. Dia sepertinya ingin membuatku berasa di rumah sendiri.
    Selesai dengan urusan dapur dan segelas jus jeruk dingin di tangan, aku memilih menonton tv. Aku menonton salah satu sinema komedi yang mengocok perut dan tak jarang membuatku tertawa. Selama aku fokus dengan tv tiba-tiba saja Edgar sudah duduk di sampingku dan meminum jus jerukku. Sontak saja aku mendelik tajam ke arahnya.
      "Kenapa?"
      "Kamu minum jus jerukku, Gar!"
      "Kan bisa bikin lagi, Nai."
      Aku mencebik kesal, enak sekali dia kalau bicara. Mood-ku untuk menikmati jus jerukku sembari menonton tv hilang sudah. Dan rasa-rasanya kantuk sudah mulai menyerangku. Akupun beranjak dari kursi yang membuat Edgar memperhatikanku.
     "Kamarmu yang mana? Aku sudah ngantuk, Gar."
      Edgar menunjuk sebuah pintu sebelum ke dapur, "itu kamarku dan baju-bajunya juga ada di sana. Kamu pilih saja!"
      "Baiklah, aku mengerti!"
       Dan sebelum benar-benar meninggalkan Edgar sendirian di ruang tv, aku memberinya kecupan kilat di bibir.
        "Good night!" ucapku, lalu dengan cepat masuk ke kamar Edgar.
       Sempat kulihat Edgar yang masih membeku karena tindakan tak terdugaku. Sejujurnya akupun tidak tahu dari mana aku mendapatkan ide untuk memberikan kecupan selamat malam kepada Edgar. Mungkin karena malam ini kami saling terbuka tentang satu sama lain.
***

     Aku masuk ke kamar Edgar yang di dominasi dengan warna biru tua, terasa sangat laki-laki sekali. Aku memutuskan untuk menunda meneliti kamar Edgar, yang harus kulakukan adalah mencuci muka dan ganti baju. Ada walk-in closet yang mengarah ke kamar mandinya. Aku membukanya dan terpampanglah deretan jas dan kemeja formal yang disusun sesuai dengan warnanya. Tidak hanya itu, aku melihat tumpukan sepatu yang tersusun rapi. Tapi aku tidak menemukan kaos-kaos Edgar. Di samping lemari yang tadi kubuka, ada satu lagi lemari yang belum kubuka. Tidak ingin ambil pusing, akupun membuka lemari satunya lagi dan di sanalah yang aku cari. Bertumpuk-tumpuk kaos, kemeja polo, celana jeans dan celana pendek Edgar tersusun dalam empat bagian.
      Setelah cukup puas melihat-lihat barang-barang pribadi Edgar, akupun menarik secara asal kaos yang akan kupinjam untuk malam ini. Ternyata aku mengambil kaos abu-abu Edgar bergambarkan bendera Inggris. Aku lalu masuk ke kamar mandi dan melakukan ritualku sebelum tidur. Cukup 10 menit aku di kamar mandi, akupun keluar dengan tampilan tidurku. Kaos abu-abu Edgar dengan hotpans yang selalu ada dalam tasku menjadi kostum tidurku malam ini.
     "Waw!!! Aku tidak tahu jika aku punya hotpans di lemariku." Seru Edgar yang mengagetkanku begitu aku keluar dari kamar mandi.
      "Oh, ya Tuhan, Edgar!"
      Bisa-bisanya laki-laki itu masuk begitu saja tanpa sopan-santun. Walaupun ini kamarnya tetapi ada aku sebagai tamu yang harus dia hormati. Untung saja aku memakai baju di dalam tadi, kalau tidak mungkin aku masih memakai kimono.
      "Hehehe...maaf, Nai! Aku mau ambil bajuku saja." Katanya dengan wajah tidak bersalah.
      Aku hanya mengangguk-angguk lalu mengistirahatkan bokongku di atas ranjang king size Edgar. Dan kulihat Edgar sedang memilih-milih baju tidur yang akan dipakainya. Tidak terlalu lama Edgar memilih, dia sudah mendapatkan apa yang dicarinya. Dengan membawa bajunya Edgar menghampiriku yang masih memperhatikannya.
      "Rasanya aku sudah tidak sabar untuk merasakan tidur bersama denganmu di ranjang itu. Have a nice dream, Nai!" ucap Edgar dengan serius lalu sebuah kecupan di keningku mendarat sebelum dia menghilang di balik pintu.
      Aku masih memandangi kepergian Edgar dari kamar ini dan mencerna kata-kata yang diucapkannya sebelum pergi tadi. Dia benar-benar tidak terduga.
    Kurebahkan tubuhku di ranjang king size Edgar dan kenyamanan langsung kurasakan di sekujur tubuhku. Aroma Edgar menguar dari bantal dan selimut yang kugunakan. Benar-benar pekat aromanya hingga aku merasa seperti Edgar sedang tidur bersamaku. Padahal kupastikan dia sedang sibuk di ruang kerjanya dan pintu kamarpun sudah kukunci. Dan sepertinya kantuk mulai menyerangku, membuatku larut dalam mimpi indah.
***

    "Aku akan pulang akhir pekan, Nai. Jadi, baik-baiklah selama aku pergi!" tutur Edgar sembari mengusap rambutku.
     Kami sedang berada di bandara saat ini, Edgar memaksaku untuk mengantarnya pergi. Dia ingin berlama-lama denganku sebelum meninggalkanku selama 4 hari. Dan sejujurnya aku juga ingin berlama-lama dengannya. Tapi sepertinya waktu kami sudah habis. Penerbangan yang akan membawa Edgar sudah terdengar di pemberitahuan pengeras suara.
    "Aku harus pergi!" Edgar mencium bibirku sekilas lalu mengecup keningku agak lama.
    "Sampai ketemu akhir pekan, Nai!"
     Aku tersenyum mengantarkan kepergiannya hingga dia masuk ke ruang tunggu keberangkatan. Setelahnya aku harus bersiap ke rumah sakit, kembali berjibaku dengan para pasien dan keluhannya. Kukendarai jazz merahku membelah jalanan dengan ditemani alunan lagu dari audio playlist-ku. Beruntunglah jalanan belum terkena penyakit rutinnya, jadi aku dengan lancar mengendari jazz-ku.
    Ponselku bordering tepat saat lampu merah menyala. Id caller menunjukkan nama Nesa di layar ponselku. Kuloundspeak saja ponselku dan menaruhnya di standing phone.
    "Ya, Nesa! Ada apa?"
    "Apa makan siang nanti kamu sudah ada janji, Nai?"
    "Tidak, aku tidak ada janji dengan siapa-siapa. Lagi pula Edgar ada tugas di luar kota, jadi aku free!"
    "Baguslah kalau begitu, jadi kamu bisa ke rumahku untuk menjaga keponakanmu."
    "Memangnya kamu mau ke mana, Nes?"
    "Aku tidak ke mana-mana, hanya saja Revan   butuh bantuanku untuk membantunya mengepak baju. Lebih jelasnya nanti saja kuceritkan kalau kamu sudah di rumahku!"
    "Baiklah, baik. Sampai jumpa nanti dan salam sayangku untuk Leo!"
    "Tentu saja, Tante."
    Nesa memutuskan panggilan terlebih dulu sebelum aku melakukannya. Lalu lampu hijau pun menyala, kulanjutkan kembali perjalananku ke rumah sakit. Dan di mulailah 4 hari tanpa Edgar yang menemaniku, membuat hatiku bertanya-tanya.
    Akankah aku merindukannya?

Vote and comments, please! Sorry for typo. Thanks for reading. ^^

My Destiny is You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang