Bab 9

11.1K 629 15
                                    

   Please vote and give a comments!!! Thanks for reading. ^^ Kecup manis dari Edgar


    Laki-laki itu tersenyum penuh cinta memandang sebuah foto palaroid yang diambilnya secara candid menampilkan sosok seorang wanita. Wanita yang ada di foto itu tampak tersenyum cerah kepada seseorang, bukan kepada laki-laki yang memfotonya. Mengingat kepada siapa wanita itu tersenyum, membuat hati laki-laki itu diliputi perasaan cemburu. Terlebih setelah apa yang dilihatnya tadi pagi, mengusik ketenangannya.
"Aku tidak akan melepaskanmu lagi!" tekadnya.

***
Aku terbaring dengan tersenyum-senyum sendiri di kamar tamu Nesa membayangkan pesan chat yang dikirim Edgar setelah video call-nya tadi. Laki-laki itu ternyata mengaku lebih dulu dia merindukanku, membuatku semakin ingin cepat bertemu dengannya. Memeluk Edgar adalah hal yang paling sering muncul dalam bayanganku belakangan ini. Aku merasa jika pelukan Edgar adalah tempat paling nyaman yang pernah aku temukan dan aku rasakan setelah pelukan Ayah. Teringat Ayah, aku tadi sudah menelpon untuk memberitahunya jika hari minggu nanti aku akan ke Bandung mengunjunginya sekaligus menghadiri pernikahan Kak Lukas. Aku juga tidak lupa memberitahunya tentang itu, karena walau bagaimanapun Kak Lukas dulu pernah sangat dekat dengan Ayah.
"Lukas sudah akan menikah, lalu kamu dan Edgar bagaimana? Kapan kalian akan mengadakan pernikahan?" Pertanyaan yang dilontarkan Ayah setelah aku memberitahu pernikahan Kak Lukas yang membuatku menjawab dengan jawaban yang Edgar berikan kepada Nesa. Walaupun sejujurnya aku tidak tahu apakah Edgar sungguh-sungguh mengatakannya atau hanya sebagai pembelaan diri saja.
Alunan suara merdu milik Ariana Grande menyanyikan lagu One Last Time-nya terdengar dari ponselku. Aku sedikit menggeser tubuhku agar lebih dekat dengan meja di samping ranjang di mana aku menaruh ponselku tadi. Tidak perlu membutuhkan banyak usaha, aku sudah dengan mudah meraihnya. Nama Kak Lukas terpampang jelas di layar. Sudah pukul 11.00 malam untuk apa dia menelponku?
"Halo?"
"Kamu belum tidur, De? Aku kira kamu sudah tidur."
Kalau tahu begitu kenapa menelpon juga? Gerutuku dalam hati.
"Belum, Kak. Aku sedang banyak pikiran jadi akhir-akhir ini susah tidur."
"Memikirkan tunanganmu itu ya, De?"
"Salah satunya, Kak. Ngomong-ngomong, ada apa Kakak menelpon malam-malam?"
Kak Lukas hening sesaat di seberang sana. "Kamu besok ada waktu? Kakak ingin minta tolong dan juga...masih kangen kamu, De!" katanya dengan nada yang sedikit berbeda di akhir kalimatnya.
Deg!
Kangen aku katanya? Lukas...tolong, jangan buat hatiku goyah lagi. Aku sudah memiliki Edgar dan kamupun akan menikah beberapa hari lagi.
"Minta tolong apa, Kak? Bukannya Kakak harus siap-siap ke Bandung?"
"Nah...justru itu aku ingin minta tolong kepadamu. Besok aku akan ke Bandung sore hari, jadi kalau bisa sebelum itu kita bertemu."
Aku berpikir sebentar, mengingat-ingat jadwalku besok di rumah sakit. Dan sepertinya aku punya waktu kosong selama 2 jam setelah makan siang. "Baiklah, aku punya jadwal kosong setelah makan siang tapi hanya 2 jam saja."
"Bagus! Itu sudah cukup, besok aku akan menjemputmu."
"Ya, Kak!"
Lagi-lagi hening sesaat. "Naila, have a nice dream...and I miss you!"
"Ya...you too!"
Klik.
Tanpa memikirkan apa-apa lagi aku langsung memutuskan telpon kami. Aku tidak ingin kembali masuk ke dalam jarring-jaring pesonannya. Dia sudah akan menikah dan aku memiliki Edgar yang jauh lebih baik dalam segalanya. Tidak ada yang perlu aku khawatirkan lagi. Dengan benakku yang memikirkan Edgar, aku kemudian terlelap dalam tidurku.
***
"Sial!" umpatnya.
Di lemparkannya ponsel yang tadi dia genggam itu ke atas kasur. Tadinya dia ingin menghubungi wanita untuk mengucapkan selamat malam dan memberitahunya jika dia akan pulang lebih awal. Tetapi nomornya sibuk di jam malam yang seharusnya orang-orang sudah tertidur.
Matanya menatap ponselnya dengan kilatan amarah yang tersirat. Benaknya memikirkan hal-hal yang sejak dulu di bencinya. Laki-laki itu, laki-laki yang dulu pernah memiliki wanitanya. Kali ini tekadnya sudah bulat, dia harus segera menyelesaikan urusannya dan segera pulang. Dia tidak akan menjadi pecundang untuk yang kedua kalinya.
***
Hari ini aku hanya melakukan control rutin dan ada dua kali pertemuan konsultasi. Jadi, setelah makan siang jadwalku memang kosong. Dan aku sudah menyelesaikan sesi terakhir konsultasi pasienku. Tadinya aku akan langsung pergi ke café depan rumah sakit, tetapi Dokter Faldy mencegatku untuk membicarakan lebih jauh tentang pasiennya yang butuh penanganan psikiater. Akupun tidak lupa untuk mengirim pesan kepada Kak Lukas untuk menungguku di café yang kami datangi beberapa hari yang lalu. Dan dia menyetujuinya, dia akan memberitahuku jika sudah sampai.
"Jadi, bagaimana Dokter Naila?" tanya Dokter Faldy meminta kepastianku.
Aku memikirkan kembali apa aku bisa menangani pasien seperti pasiennya Dokter Faldy yang mengidap OCD, yang hanya pernah aku pelajari saja ketika mengambil spesialis dulu. Tapi bukankah ini saatnya aku menerapkan ilmu yang telah aku terima itu kepada pasien sesungguhnya? Let's me to try!
"Baiklah Dokter Faldy, saya mau membantu menanganinya." Jawabku dengan yakin.
Dokter Faldy tampak terlihat sangat senang mendengar jawabanku. "Oh...terima kasih, Dokter Naila! Aku rasa Edgar benar-benar memilih calon istri yang tepat." Pujinya
Aku hanya tersenyum malu menanggapinya, lalu tak lama ponselku berbunyi tanda pesan masuk. Itu dari Kak Lukas, dia sudah sampai di café. Dengan sopan aku pamit undur diri kepada Dokter Faldy karena tidak bisa lebih lama mengobrol dengannya. Padahal aku ingin bertanya-tanya lagi tentang Edgar. Mungkin lain kali aku akan menyempatkan diri untuk mengobrol lebih banyak dengannya.
***
"Jadi, Kakak mengajakku hanya untuk belanja ke mall?" tanyaku dengan tidak percaya.
Kak Lukas tersenyum, tak bersalah. "Aku ingin kamu membantuku, De. Pilihkan oleh-oleh untuk keluarga calon istriku!"
Aku memutar bola mataku. Kak Lukas memang terkadang menyebalkan dan membuat kesal tapi mungkin disitulah pesonanya. Berbeda dengan Edgar yang selalu terlihat serius dan sedikit manja. Jika diibaratkan, mereka berdua adalah dua kutub yang berbeda. Walaupun begitu aku bisa berinteraksi dengan keduanya.
Baiklah, kembali kepada kegiatanku menemani Kak Lukas untuk mencari oleh-oleh. Kami mulai memasuki dari satu toko ke toko berikutnya dengan tak jarang membawa paper bag dari toko yang kami datangi. Hingga kedua tangan kami penuh dengan barang-barang belanjaan kami. Aku juga membeli sebuah baju couple yang lucu dan kupikir cocok juga jika dikenakan Edgar. Hari ini sepertinya aku terus terpikirkan Edgar, padahal biasanya jika bersama dengan Kak Lukas aku akan melupakan laki-laki manapun yang sedang dekat denganku. Tetapi sepertinya hal itu tidak berpengaruh kepada Edgar, laki-laki itu bisa mengalihkan pikiranku.
"Kamu akan kembali ke rumah sakit, De?"
Kami sedang istirahat di salah satu café yang ada di mall, menikmati makan siang yang tertunda.
Aku mengangguk, mulutku masih sibuk mengunyah menu makan siangku.
"Maaf tidak bisa mengantarmu, De! Aku harus segera ke Bandung sebelum terjebak macet nanti."
"Tidak apa-apa, Kak. Lagi pula jadwalku santai hari ini, kembali ke rumah sakit hanya untuk sekedar chek rutin setelah itu aku pulang." Balasku setelah mulutku kosong.
Kak Lukas mengangguk mengerti. "Baguslah kalau begitu. Aku hanya tinggal menunggu kehadiranmu hari minggu nanti."
"Kakak tenang saja, aku akan datang!"
Kami menghabiskan makan siang kami setelah itu aku mengantar kepergian Kak Lukas. Dia akan ke Bandung menggunakan mobilnya, sepertinya ingin menikmati perjalanannya kali ini. Hingga akhir pertemuan kami Kak Lukas tidak menyinggung soal kata-katanya semalam kepadaku. Dia bersikap seolah itu tidak pernah terjadi dan itu justru membuatku sangat berterima kasih karenanya. Jadi aku tidak perlu bersikap canggung kepadanya. Walau bagaimanapun aku sudah sangat nyaman dengan hubungan kami saat ini dan aku berharap kami bisa terus seperti ini bahkan setelah kami berdua sudah menikah nanti.
***
Aku mengendarai mobilku dengan rasa lelah akibat dari jadwal mendadak yang aku terima setelah aku kembali dari mengantar Kak Lukas. Persetujuanku dengan Dokter Faldy soal menangani pasiennya yang menderita OCD membuatku harus campur tangan saat itu juga. Aku tidak menyangka jika aku akan secepat itu membantu menanganinya. Kupikir butuh 2-3 hari untuk mendapatkan persetujuan dari kepala divisi, tetapi Dokter Faldy membuatnya menjadi hanya dalam beberapa jam saja.
    Setelah bertemu langsung dengan pasien OCD, aku akhirnya mengerti mengapa Dokter Faldy sangat membutuhkan bantuanku. Selain karena pasien ini penderita OCD, dia juga wanita dan mungkin itulah yang membuat Dokter Faldy membutuhkanku. Dan karena itulah aku baru bisa pulang setelah pasien OCD itu tertidur sejam yang lalu. Kemudian tanpa pikir panjang lagi aku langsung memutuskan untuk pulang saja.
Dan di sinilah aku, kelelahan dan perjalanan pulang. Aku sudah menghubungi Nesa untuk memberitahunya jika mala mini aku tidak bisa menginap di rumahnya. Aku membutuhkan apartemenku saat ini, terlebih jaraknya yang tidak terlalu jauh dari rumah sakit membuatku ingin segera sampai. Hanya butuh 30 menit untuk sampai di apartemenku. Walaupun lelah aku sangat lapar, tadi aku melewatkan makan malamku. Jadi setelah memarkirkan mobil, aku langsung menghubungi salah satu restoran fast food langgananku untuk melakukan delivery.
Rasa lelah sepertinya benar-benar menguasaiku, aku bahkan tidak menyadari jika sekarang aku sudah sampai di depan pintu apartemenku. Masih dengan setengah sadar setengah lelah, aku masukkan kombinasi password pintu apartemenku. Aroma jeruk dari pengharum ruangan langsung menyambutku begitu aku membuka pintu.
"Hahhh..." kulempar tubuhku ke sofa di ruang TV. Rasanya sangat malas untuk bangun dan mengganti pakaianku. Baru saja aku akan memejamkan mata, suara bell menginterupsiku. Aku masih malam untuk bangun tetapi mengingat jika aku memesan makanan akupun bangkit. Walau merasa aneh karena kupikir mereka terlalu cepat mengantarkan pesananku dari yang biasanya.
Aku bahkan tidak mengecek lebih dulu di interkom dan malah membuka begitu saja kunci pintu apartemenku. Baru setelah aku membuka pintu, aku terperangah sendiri melihat siapa yang berdiri di depan pintu apartemenku. Rasa lelahku bahkan tiba-tiba saja menghilang entah ke mana melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Tanpa rasa malu aku menghambur kepelukannya. Aku benar-benar merindukan pelukan ini.
"Merindukanku ya?" katanya sembari membalas pelukanku.
***
"Kenapa tidak memberitahuku jika akan pulang hari ini? Akukan bisa mengusahakan untuk menjemputmu. Dan, dari mana kamu tahu apartemenku?" kataku, memberondonginya dengan pertanyaan begitu dia masuk.
"Satu-satu, Nai!"
"Baiklah, baik, jawab saja pertanyaanku!"
Edgar menggeleng pasrah dengan sikapku. Aku menariknya untuk duduk di sofa yang tadi sempat kujadikan tempat berbaring.
"Pertama, aku tidak memberitahuku karena aku ingin memberikan kejutan. Kedua, aku tadi sempat ke rumah sakit dan tidak sengaja melihatmu masih ada di sana di jam-jam biasanya kamu sudah pulang. Jadi, aku memutuskan untuk mengikutimu." Jawab Edgar sembari menatapku.
Aku mengangguk-angguk mendengar jawabannya. Lalu dengan perlahan aku beringsut mendekati Edgar dan memeluknya. Entah mengapa melihatnya kembali membuatku ingin terus memeluknya. Mungkin karena efek lelah yang tiba-tiba hilang jika memeluknya dan membuatku merasa nyaman.
"Kalau kamu merasa lelah, kenapa menerima tawaran Faldy untuk membantunya? Jadwalmu saja sudah cukup padat, Naila." Ucap Edgar sembari mengelus kepalaku.
"Aku tidak tahu akan seperti ini, Gar! Lagi pula aku juga ingin tahu bagaimana pasien OCD itu." jawabku.
Tunggu dulu, dari mana Edgar tahu kalau aku membantu Dokter Faldy? Apa mungkin tadi dia sempat bertemu dulu dengan Dokter Faldy? Hem...mungkin saja seperti itu, lagi pula dia calon penerus pemilik rumah sakit, tidak mungkin tidak ada yang dia tahu soal rumah sakit.
"Kamu sudah makan, Nai?" aku menggeleng.
"Aku menunggu tukang delivery datang, Gar! Tadi aku sudah memesan makanan."
Lagi-lagi, aku hampir terlelap ketika bell berbunyi. Kali ini Edgar berinisiatif membukakan pintu untukku. Dan sepertinya itu tukang delivery karena aku dapat mencium wangi makanan yang kupesan. Kudengar Edgar kembali menutup pintu dan menghampiriku dengan membawa tentangan makananku.
"Uangnya?"
"Sudah aku bayar."
Edgar membantuku menghidangkan makananku. Kuperhatikan dia, tampak jelas sekali terlihat wajah lelahnya ditambah ada lingkaran hitam di bawah matanya. Apa di sana dia tidak tidur? Tanganku terangkat dengan sendirinya mengelus pelipis hingga menyapu rambutnya. Edgar terkejut dengan tindakanku, dia menatapku seolah meminta penjelasan.
"Apa kamu tidak tidur di sana, Gar? Kamu terlihat seperti pekerja rodi di bandingkan dengan dokter." Kataku balas menatapnya.
Edgar tersenyum, "Aku hanya tidak bisa berhenti untuk tidak memikirkanmu, Nai!" jawabnya membuat pipiku memerah.
"Ok, makanan sudah siap!" seru Edgar menyadarkanku.
Untuk menutupi rasa maluku, akupun menyantap makananku. Aku bahkan lupa tidak mengajak Edgar makan, dia pasti belum makan setelah penerbangan tadi.
"Kamu juga makan, Gar!" kataku sembari menyodorkan spaggeti ke mulutnya. Jadilah aku bergantian menyuapinya juga, dan sepertinya Edgar sama laparnya denganku.
"Apa kamu juga tidak makan di sana?"
"Sudah kubilang aku hanya terpikirkan kamu saja, Naila!"
"Kamu ini!"
Kami terdiam dengan masih menyantap makanan yang kupesan. Tidak enak juga jika hanya saling terdiam, aku harus membuka obrolan. Ah...aku ingat harus mengajak Edgar hari minggu nanti.
"Gar, hari minggu ini kamu sibuk tidak?"
Edgar menatapku dengan kening mengerut. "Kurasa tidak, memangnya ada apa?"
"Aku ingin mengajakmu ke Bandung menghadiri pernikahan kakakku!"
"Kakak? Kupikir kamu anak tunggal, Nai."
Aku tersenyum meringis, "Memang, tapi dia sudah kuanggap sebagai kakakku. Jadi, apa kamu bisa?"
"Tentu saja, aku tidak akan membiarkanmu datang ke pernikahan sendirian!"
"Yeahhh!!!"
Aku sangat senang mendengarnya, jadi mungkin nanti kami bisa berangkat bersama Nesa dan Revan. Saking senangnya aku baru menyadari jika makanan yang kupesan sudah habis.
"Aku bereskan ini dulu ya. Anggaplah rumah sendiri, Gar!"
Akupun lalu membereskan sampah sisa makanan kami dan membawanya ke dapur. Sekalian mencuci piring yang kemarin tidak sempat aku bereskan karena terburu-buru untuk menginap di rumah Nesa. Aku mendengar langkah kaki Edgar memasuki dapur tetapi tidak aku pedulikan, mungkin dia membutuhkan sesuatu.
***
"Nai, bagaimana kalau pernikahan kita dipercepat dua minggu lagi?"
Deg!
Aku membeku mendengar tanyaan Edgar, tanganku bahkan menggantung begitu saja. Mengapa Edgar mutuskan hal seperti itu dengan tiba-tiba? Bukankah waktu itu dia bilang sebulan? Lalu kenapa sekarang ingin dipercepat? 2 minggu lagi?
"Kamu tidak mau ya, Nai?" tanya Edgar kembali dengan nada terluka. Aku kini bisa merasakan kehadirannya di belakangku. Dia tepat berdiri di belakangku, hembusan napasnya terasa hangat di leherku.
Aku salah tingkah dengan ucapannya, dengan cepat aku berbalik dan tanpa sengaja menubruk dada bidang Edgar yang berada tepat di depanku. Akupun menengadah untuk menatapnya karena jarak kami yang hanya beberapa centi saja.
"Bukan begitu, Gar. Tapi, kenapa kamu ingin mempercepatnya? Kita bahkan belum mempersiapkan apapun."
Tatapan Edgar tiba-tiba saja berubah dingin menatapku, "Aku hanya tidak ingin kehilanganmu!" katanya.
Aku menatapnya tidak percaya, dari mana Edgar mendapatkan pemikiran seperti itu? Aku bahkan sama sekali tidak pernah memiliki pemikiran untuk meninggalkannya. Dan lagi, bagaimana mungkin aku meninggalkannya di saat aku mencintainya? Konyol sekali!
   Aku menggelengkan kepalaku, lalu tanganku terangkat untuk menyentuh wajah Edgar. Kuelus pipinya, berharap dia akan luluh seperti saat itu. Aku berhasil, tatapan Edgar berubah tidak sedingin tadi. Kini dia menatapku dengan tatapan seolah-olah jika hidup dan matinya berada di tanganku saja. Membuatku tidak tega untuk membuatnya kecewa.
"Kamu tidak akan pernah kehilanganku, Edgar! Kecuali kamu sendiri yang memintaku."
"Aku tidak akan pernah melakukannya, Naila!"
"Kalau begitu tidak ada yang perlu ditakutkan lagi." kataku sembari memberikan senyuman hangatku.
"Tapi aku ingin pernikahan kita tetap dipercepat!" kata Edgar dengan kukuh.
Aku menghela napas berat, sepertinya Edgar tidak akan merubah keputusannya. Aku yakin dia akan terus menyuarakan keinginannya itu sampai aku menyetujuinya.
"Baiklah, baik, tapi 2 minggu, Gar? Kita tidak punya banyak waktu untuk menyiapkannya. Kamu dan aku sama-sama sibuk!" aku mencoba memberikan alasan.
"Kita bisa memakai saja WO! Aku punya kenalan yang memiliki WO yang tidak perlu diragukan lagi hasilnya. Kita bisa menyerahkannya kepada dia. Aku juga akan meminta bantuan Mama untuk gaun dan kebutuhan lainnya." Tutur Edgar dengan bersemangat.
Binar di matanya saat mengatakan itu membuat hatiku tersentuh. Di saat banyak wanita di luar sana yang meminta untuk segera dinikahi kekasihnya, aku justru dengan beruntungnya malah diminta. Seharusnya aku bersyukur, bukan? Tentu saja, terlebih laki-laki yang memintaku untuk menikah adalah laki-laki yang tidak perlu diragukan lagi bibit-bebet-bobotnya. Lalu apa lagi yang membuatku ragu? Tidak ada alasan yang kuat untuk menunda pernikahan.
Kupeluk Edgar dengan erat, aku tidak ingin membuatnya kecewa. Aku tidak ingin melihat tatapan dinginnya lagi kepadaku. Aku ingin Edgarku yang tersenyum hangat dan memelukku hangat. Aku ingin melihatnya setiap hari, menemukannya saat aku membuka mata di pagi hari dan seseorang yang akan aku lihat sebelum aku terlelap tidur di malam hari. Aku ingin melakukan semua itu dengannya!
"Edgar Alfarizi Winoko, ayo kita percepat pernikahan kita!"
                ***

My Destiny is You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang