Bab 5

10.8K 654 9
                                    

    "Apa kamu sudah mulai bisa mencintaiku, Nai?"
Pertanyaan itu terus berdengung di telingaku bahkan setelah sehari berlalu. Malam itu Edgar pulang dengan raut wajah yang tidak biasa setelah mengantarku pulang. Pertanyaannya menghantuiku yang hampir tidak bisa tidur semalaman dan baru tertidur menjelang subuh. Dan ketika aku bangun pertanyaannya kembali menyadarkanku.
Seharian ini aku belum melihat Edgar di rumah sakit. Dia juga tidak memberiku kabar. Sedangkan aku masih disibukkan dengan pasien-pasien dan beberapa konsultasi, jadi aku belum sempat untuk menemuinya. Rencananya nanti aku akan mengajaknya untuk makan siang dan juga memberikan penjelasan tentang alasanku yang tidak menjawab pertanyaannya.
Tok.Tok.Tok
Ketukan di pintu membuat fokusku teralihkan. Kepala suster Aya muncul dari balik pintu.
"Pasien Anda hanya tinggal satu, Dok. Dan tadi dia konfirmasi tadi bisa datang untuk konsultasi, dia minta untuk diganti dengan hari lain."
Aku mengangguk-anggukkan kepala, "kalau begitu tolong Suster Aya pindahkan ke jadwal konsultasi saya yang kosong!"
"Baik, Dok! Dan anda sudah bisa makan siang."
Aku memberikan senyum mengerti kepada Suster Aya sebelum dia menutup kembali pintunya. Akupun merapihkan beberapa berkas pasien yang tidak jadi konsultasi dan memasukkannya ke dalam laci. Aku juga melepaskan jas dokterku dan hanya membawa dompet juga ponselku.
Ketika aku keluar dari ruanganku, kulihat Suster Aya masih sibuk dengan ponsel di telinga dan juga tangan yang sibuk mencatat sesuatu. Dia melirikku dan memberikan senyum hormat kepadaku. Aku membalasnya dengan ajakan makan siang tanpa bersuara dengan bibirku. Suster Aya menjawabku dengan bahasa tersirat jika dia akan makan siang setelah selesai dengan telponnya. Lalu akupun meninggalkannya dan berjalan menuju lantai 4, di mana tujuanku berada. Aku akan mengejutkannya dengan kehadiranku.
***
Aku sudah sampai di depan pintu ruangan Edgar, hanya tinggal membuka pintunya dan aku akan bertemu dengan dia. Tetapi aku merasa seperti ada sesuatu yang menghalangiku untuk membukannya. Aku mencoba untuk terlebih dulu menghubungi Edgar, walaupun dari semalam dia masih belum memberiku kabar setidaknya aku tidak boleh egois.
Kudial nomor Edgar dan yang aku dapatkan adalah suara operator. Setengah kesal aku membuka pintu Edgar yang ternyata terkunci. Apa-apaan ini? Apa Edgar sekekanak-kanakan ini jika sedang merajuk?
"Loh...Dokter Naila? Sedang apa Dokter di sini?"
Suara Suster Hani mengalihkan perhatianku. Ah...bukankah Suster Hani asisten Edgar? Mungkin dia tahu di mana Edgar sekarang.
"Eh, Suster Hani! Saya mencari Dokter Edgar, beliau di mana ya?"
"Loh, memangnya Dokter Edgar tidak bilang ke Dokter kalau beliau ada pertemuan dokter-dokter bedah di Bandung hari ini?"
Keningku mengerut, bisa-bisanya Edgar tidak memberitahuku. Apa dia sudah tidak peduli kepadaku?
"Ah...begitu, mungkin beliau lupa. Kalau begitu terima kasih atas informasinya, Suster!"
"Sama-sama, Dok! Saya permisi."
Aku membalasnya dengan anggukkan.
Hancur sudah mood-ku untuk menghilangkan kecanggungan semalam dengan Edgar. Dan sepertinya aku membutuhkan sedikit pengalihan untuk makan siang. Mungkin Nesa dan Lisa bisa membantuku untuk mengatasinya. Langsung kudial nomor Nesa.
"Halo, Nesa!"
***
"Jadi, Edgar masih belum juga memberimu kabar?" tanya Lisa.
Aku menceritakan masalahku dengan mereka dan itulah tanggapan pertama dari Lisa. Sedangkan Nesa tampak sibuk dengan pikirannya. Akupun menjawab pertanyaan Lisa dengan menunjukkan kontak masuk pesan dan panggilanku kepadanya. Lisa yang melihatnya menggeleng-gelengkan kepala dengan raut wajah prihatin.
Aku kembali menyeruput ice moccacino-ku ketika suara Nesa mengejutkanku.
"Aha! Aku baru ingat sesuatu, Nai!" seru Nesa setelah bergulat dengan pikirannya tadi.
"Apa?" jawabku dengan malas.
"Waktu reuni itu sebelum kamu mengenalkanku dengan Edgar di lobi, aku sempat melihatnya berjalan keluar dari arah taman dengan raut wajah marah. Kupikir kamu bertengkar dengan dia, tapi ketika kamu mengenalkannya kepadaku dengan wajah biasa-biasa saja aku melupakannya." Tutur Nesa.
"Kamu yakin itu Edgar, Nes?"
"Yakin sekali, Nai. Kamu pikir mataku rabun atau min apa!"
"Kalau begitu Edgar...."
Tidak mungkin! Edgar tidak mungkin salah paham ketika melihatku dipeluk Wisnu, kan? Kalau benar dia melihatnya, setidaknya Edgar bertanya kepadaku dan meminta penjelasan.
"Memangnya kamu ada di taman, Nai?"
Aku memandang wajah kedua sahabatku dengan tidak yakin.
"Aku bersama Wisnu di taman."
Jawabanku membuat kedua sahabatku ini membelalakkan kedua mata mereka dan menggeleng tidak percaya.
"Oh Tuhan...Nai! Aku tidak menyangka jika Wisnu masih memberikan efek kepadamu setelah kamu memiliki Edgar."
"Kupikir kamu tidak tertarik lagi dengannya, Nai!"
Aku menggela napas dan sekali lagi memandang mereka berdua.
"Santai guys, aku dan dia tidak seperti yang kalian kira. Dia mengikutiku ke taman dan aku menyelesaikan kesalahpahaman masa lalu kami, lalu selesai!"
"Lalu apa yang membuat Edgar terlihat marah seperti itu jika kamu dan Wisnu hanya menyelesaikan masalah kalian?"
Kugigit bibir bawahku, akhirnya pertanyaan ini datang juga.
"Aku tidak yakin tapi mungkin Edgar melihatku dipeluk Wisnu."
1 detik. 2 detik. Lalu...
"Apa? Kamu berpelukkan dengan Wisnu, Nai? Kamu gila!"
"Hey, aku bilang dipeluk! Dia yang memelukku, aku tidak membalasnya dan itu tidak sampai satu menit."
Kedua sahabatku dengan kompaknya mengelengkan kepala mereka dengan wajah menyalahkanku.
"Kamu harus menemui Edgar dan meluruskan kesalahpahaman kalian!" titah Nesa yang disetujui Lisa.
Ya, inginku juga seperti itu tetapi laki-laki itu sama sekali tidak menghubungiku. Ponselnya bahkan masih tidak aktif dan aku tidak tahu harus bagaimana menemuinya. Tetapi aku masih memiliki satu tempat yang mungkin membuatku bisa bertemu dengannya.
***
103. Nomor itu tertera di samping pintu apartemen ini. Sekarang aku tepat berdiri di depan pintu apartemen Edgar. Aku bisa saja langsung masuk ke dalam karena Edgar juga memberitahuku password-nya. Dia hampir memberitahuku semua akses pribadinya setelah acara pertunangan malam itu. Tetapi walaupun begitu aku tidak pernah mencoba untuk mengusiknya, mungkin jika kali ini aku mencobanya itu karena keadaan darurat. Ini pertama kalinya aku ke apartemen Edgar jadi aku sungguh tidak leluasa.
Aku masih sibuk dengan pemikiranku ketika kudengar suara ketukan sepatu dari belakangku. Dan seketika aku langsung siaga dalam posisi bela diriku, takut-takut jika ada orang jahat yang berani macam-macam di jam malam seperti saat ini. Aku baru selesai jaga jam 8.30 dan sampai di apartemen Edgar jam 9.30. Dan sekarang sudah jam 10.00 tepat.
Sebuah tangan menyentuh pundakku dan hampir saja akan kutarik jika pemiliknya tidak menyuarakan namaku.
"Nai?"
Edgar! Pikiranku berteriak.
Dan benar saja, ketika aku berbalik aku melihat Edgar yang berdiri dengan pakaian yang sudah kusut dan wajah yang terlihat sangat lelah.
"Kamu kenapa berdiri di depan pintu seperti itu? Bukankah aku pernah memberimu password apartemenku?" tanya Edgar dengan wajah lelahnya sembari memasukkan password apartemennya.
Aku membisu. Entah mengapa, sekalipun Edgar berbicara kepadaku seperti itu aku merasa dia masih belum menjadi Edgar yang selama ini kukenal. Aku ingin menyelesaikan kesalahpahaman kami, tapi melihatnya seperti ini, aku menjadi tidak yakin.
"Gar, sepertinya aku lebih baik pulang saja."
Edgar yang sudah masuk apartemen berbalik memandangku. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya saat memandangku itu.
"Jadi, kamu menelponku berkali-kali dan ke apartemenku hanya untuk ini?" tanyanya dengan dingin.
Aku terkejut mendengar pertanyaannya dan juga dinginnya nadanya berbicara yang tidak pernah kudengar sebelumnya.
"Kalau begitu pulang saja, dan ...tidak usah kembali lagi menemuiku!"
Belum sempat aku mencerna pertanyaannya yang tadi, Edgar kembali menjatuhkan bom-nya ke wajahku. Dan dengan dinginnya dia meninggalkanku di depan pintu apartemennya.
***
"Jadi, seperti ini  caramu memperlakukanku, Gar? Aku bahkan tidak tahu kenapa kamu seperti ini." gertakku.
Jujur saja aku sudah gerah dengan sikap dinginnya kepadaku. Walaupun aku sudah mulai menerima dan mencintainya, tapi aku bukan perempuan yang bisa diperlakukan seenaknya seperti ini. Aku tidak ingin melakukan kesalahan lagi dalam mengambil keputusan. Tidak setelah apa yang telah terjadi di antara kami.
Edgar sepertinya mulai tersulut ucapanku, dia berbalik dan berjalan menghampiriku yang berada di ruang tamunya.
"Kamu tidak tahu, Nai? Aku bahkan hanya bercanda jika kamu masih memiliki affair, tetapi kamu malah membuktikannya."
Gottca!
Akhirnya Edgar jujur juga dengan alasannya bersikap dingin kepadaku. Jadi benar dia melihatku dipeluk Wisnu waktu itu. Kini semuanya sudah jelas bagiku, aku hanya perlu meluluhkan Edgar dan memberikannya penjelasan. Dengan perlahan aku menghampirinya yang hanya beberapa langkah dariku. 1, 2, 3 langkah aku sudah berada tepat dihadapannya. Tanganku terangkat mencoba menyentuh wajahnya dan beruntungnya, Edgar tidak menepis atau menghindari tanganku.
Kubelai wajahnya yang tampak sangat kusut dan lelah itu dan perlahan Edgar larut dalam belaianku. Dia mulai tenang dan tidak setensi beberapa detik yang lalu. Hingga akhirnya aku memeluknya, membuatnya sedikit tersentak.
"Nai..."
"Jadi seperti ini jika kamu sedang cemburu, Gar? Tidakkah kamu berpikir jika kamu kenak-kanakkan?" tanyaku masih memeluknya.
"Apa maksudmu, Nai? Aku tidak cemburu!"
"Ya, kamu cemburu, Gar! Malam itu dia yang memelukku bukan aku yang memeluknya, tidak seperti saat ini."
Hening untuk sesaat ketika kurasakan kedua tangan Edgar balas memelukku. Aku sepertinya akan mendapatkan Edgarku kembali.
"Kamu hanya melakukannya kepadaku-kan, Nai?"
Aku terkekeh.
   "Tentu saja, kamu yang tunanganku Gar, bukan dia!"
"Baguslah kalau begitu!"
Lalu pelukan Edgar semakin mengerat di tubuhku. Tanpa penjelasan yang panjang lebar dan cukup dengan sebuah pelukan, masalah terselesaikan. Aku tidak ingin ambil pusing masalah jika dapat diselesaikan dengan cara mudah. Dan sebuah pelukan yang tulus sangat cukup menyampaikan sebuah penjelasan dan juga maaf.
Dan sepertinya ini saat yang tepat. Saat di mana aku memiliki Edgarku dengan khasnya.
"Aku mencintaimu, Edgar!"

My Destiny is You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang