Bab 4

12.2K 635 3
                                    

Ping!!!
Ingat, besok kita reuni!!!
Hanya beberapa kata yang ditulis Nesa tapi mampu membuatku resah dan gundah. Terlebih aku belum memberitahu Edgar tentang acara reuni itu. Namun, dibalik semua itu yang membuatku benar-benar resah dan gundah adalah seseorang yang kemungkinan akan kutemui saat reuni nanti. Bukan karena aku takut tetapi aku khawatir dengan hatiku yang selalu saja melemah jika berkaitan dengan dia. Aku tidak meragukan efek Edgar untuk hatiku, tetapi efeknya masih menyisakan bagian untuk laki-laki itu. Dia belum menghilangkan sepenuhnya efek laki-laki itu di hatiku.
Jika aku benar-benar harus datang besok dan laki-laki itu, Wisnu hadir juga maka itu adalah kali pertama kami bertemu kembali setelah bertahun-tahun berlalu. Dan jauh dalam diriku, akupun ingin tahu apakah Wisnu masih memberikan efek yang sama seperti bertahun-tahun lalu. Karena perpisahanku yang terakhir dengan kekasihku saat kuliah dulu adalah karena hatiku yang belum juga move on darinya.
"Aku perhatikan akhir-akhir ini kamu jadi sering melamun, Nai!"
Mataku mengerjab begitu suara Edgar memecah keheningan yang kubuat dalam renunganku. Dia berdiri diambang pintu dengan masih menggunakan pakaian lengkap seorang dokter. Jas putihnya menjuntai hingga pinggang bawah dan celana bahan yang melekat di kaki panjangnya tampak semakin menyempurnakan penampilan ragawinya. Wajahnya yang ditambah memiliki darah indo akan selalu membuat wanita-wanita memujanya.
Dia sempurna! Batinku berteriak.
"Apa kamu sedang menikmati wajahku, Nona Naila?" dia menggodaku.
Aku hanya tersenyum lalu mengecek jam tangan di pergelangan tanganku, ternyata sudah waktu makan siang. Pantas saja dokter sibuk satu itu bisa menemuiku. Akupun membuka jas dokterku menyampirkannya di kursi, lalu meraih dompet dan ponselku.
"Apa Anda sudah tidak sibuk, Dokter? Jadi, kita bisa segera makan siang." Balasku sembari mendekatinya yang tidak juga beranjak dari tempatnya berdiri.
"Hemmm...karena aku baru saja selesai operasi, aku merasa lapar. Jadi baiklah, ayo kita makan siang!"
Aku mencibir jawaban arogan Edgar, lalu tanpa sungkan mengaitkan tanganku di lengannya.
***
"Jadi, kamu gak bisa makan malam bareng orang tuaku besok?"
Aku mengangguk sembari memasukkan spaggeti yang menjadi menu makan siangku. Dan aku menangkap raut kecewa dari wajah tampan Edgar, tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sudah lebih dulu berjanji kepada Nesa untuk datang di acara reuni itu.
"Maaf ya, Gar! Abis aku udah janji sama Nesa buat datang ke acara reuni. Gak enak dari dulu aku belum pernah datang." Edgar hanya menghembuskan napasnya dengan keras, membuatku merasa bersalah.
"Ya udah, gak apa-apa. Besok mau aku anter atau kamu sama sahabat kamu?" tawar Edgar.
"Hemmm...kamu emang bisa nganter aku? Acaranya jam 3 sore, Gar."
"Jam 3 sore, ya? Ok...ok, aku bisa!"
Aku menatapnya dengan serius, Edgar bisa mengantarku di jam sibuknya? Pikirku.
"Yakin? Bukannya jam segitu kamu ada jadwal konsultasi?"
Semenjak menerima lamaran Edgar, aku sudah mulai terbiasa mengetahui jadwalnya. Jadi aku merasa tidak yakin jika dia besok bisa mengantarku.
"Memang, tapi untuk besok semuanya di pindahkan jadi jumat depan. Kenapa aku merasa kalau kamu sebenarnya tidak ingin aku antar ya, Nai?"
Aku menelan salivaku, merasa gugup dengan pertanyaan Edgar. Untungnya pria itu sedang fokus dengan menu makan siangnya, jadi dia tidak melihat wajahku yang tampak tegang.
"Kamu takut aku ketemu mantan-mantan SMA-mu ya, Nai?"
Skak mat! Kenapa sih Edgar pintar sekali menebak? Gerutuku dalam hati.
"Kenapa juga aku harus takut? Toh, aku gak punya affair sama mereka." Sanggahku dengan cepat.
Edgar mengangkat wajahnya dan matanya langsung menatapku. Seperti dibius, aku terpaku dengan tatapannya. Aku menunggu reaksi Edgar selanjutnya.
"Kalaupun memang kamu masih punya affair dengan mereka, aku harap kamu dapat menyelesaikannya sebelum kita menikah! Karena setelah kita menikah, aku tidak akan membiarkanmu memiliki affair dengan pria lain."
Kata-kata itu meluncur dengan lancar dari bibir seksi Edgar sebagai ultimatum yang membuat hatiku seakan dicambuk. Dia seakan-akan tahu apa yang sedang kusembunyikan darinya. Tetapi aku yakin Edgar tidak tahu itu, mungkin itu hanya nalurinya sebagai seorang laki-laki.
***
"Kalaupun memang kamu masih punya affair dengan mereka, aku harap kamu dapat menyelesaikannya sebelum kita menikah! Karena setelah kita menikah, aku tidak akan membiarkanmu memiliki affair dengan pria lain."
Kata-kata Edgar itu terngiang-ngiang di telingaku seperti pertanda. Dan sudah seperti alarm saat aku akhirnya melihat laki-laki itu. Cinta yang belum mampu kulepaskan. Di sinilah aku berada, acara reuni yang sudah beberapa kali diadakan namun baru pertama kali aku hadiri. Dan kehadiran pertamaku langsung di sambut dengan pemandangan yang mengesankan. Wisnu Hadinata tengah menggendong seorang gadis cilik sembari mengobrol dengan teman-teman angkatan kami.
"Naila, kemari! Gabung dengan kami."
Oh sial! Suara itu berasal dari Nesa yang ikut mengobrol dengan gerombolan Wisnu di dalamnya. Dengan terpaksa aku menghampirinya. Aku belum melihat kehadiran Lisa sejauh ini.
"Hai Nai! Kudengar kau sudah menjadi dokter ya sekarang?" tanya Aldi yang pertama kali menyapaku.
Dan selanjutnya akupun larut dalam obrolan nostalgia dengan mereka tanpa memedulikan kehadiran Wisnu. Walaupun begitu aku dapat merasakan jika sesekali dia melirikku. Aku tidak tahu apa gadis cilik digendongannya itu adalah anaknya atau bukan, karena Nesa ataupun Lisa tidak pernah bercerita kepadaku jika Wisnu sudah menikah.
"Oh ya Nai, kudengar kau akan menikah dengan anak pemilik rumah sakit tempatmu kerja, apa itu benar?" tanya Arin, yang juga bergabung dalam obrolan kami.
Aku menjadi salah tingkah karena tema yang diangkat tiba-tiba ini.
"Wah...apa kabar itu sudah menyebar? Kau tahu dari siapa, Rin?"
"Ada sepupuku yang menjadi suster di sana, dia memberitahuku. Jadi, itu benar ya? Kapan rencana bahagianya?"
Aku tersenyum menanggapi pertanyaan-pertanyaan Arin yang mulai diikuti yang lainnya juga.
"Rencananya bulan depan, tapi itu belum pasti. Kalian tenang saja, aku pasti akan mengundang kalian!"
Teman-temanku bersorak menanggapi jawabanku, namun hanya satu orang yang diam saja sedari tadi, Wisnu. Namun tidak aku ambil pusing karena suara MC mengintrupsi obrolan kami. Dan acara sebenarnya pun di mulai.
***
"Jadi, kau akan menikah ya?"
Suara itu terdengar jelas di belakangku. Aku yang sedang menghirup udara segar di taman belakang ball room seketika merasa sesak. Aku kira dia tidak akan mengajakku bicara tetapi akhirnya saat ini pun tiba. Aku harus menyelesaikannya!
"Ya, aku harap kau bisa hadir karena sepertinya kau tidak mengundangku saat kau menikah." Sindirku.
Wisnu tersenyum masam, "kau pasti mengira Aira anakku, dia keponakanku. Hari ini jadwalku mengasuhnya, jadi aku terpaksa membawanya."
"Ohh...begitu."
Wisnu berjalan mendekatiku, aku tidak tahu harus berbuat apa bahkan ketika dia menarikku ke dalam pelukannya, aku hanya diam. Pelukan ini dulu terasa sangat kukenal tetapi sekarang terasa asing dan bukan ketengan yang kudapatkan tetapi malah rasa cemas yang kurasa.
"Aku merindukanmu, Naila!"
Kalimat itu menyentakku dan dengan segera kudorong tubuh Wisnu menjauh dariku. Aku menatapnya dengan tidak percaya. Sepertinya rasaku untuknya hanya sisa masa lalu dan rasa khawatirku kemarin-kemarin hanya ketidaksiapanku menghadapinya. Kini, ketika aku sudah berhadapan dengannya setelah sekian tahun lamanya yang kurasakan hanya kehampaan.
"Aku ingin minta maaf untuk hubungan kita di masa lalu. Maaf telah melukaimu dengan perasaanku, kuharap kita bisa berteman." Tuturku.
Wisnu menggeleng dan kembali mendekatiku, kali ini aku mundur menjauhinya. Dan tepat setelah itu ponselku berdering, akupun meraihnya dari dalam tas. Tertera nama Edgar di layar ponselku.
"Iya, Gar?"
"...."
"Iya, aku ke lobi sekarang!"
Begitu Edgar penutup telponnya, akupun kembali memasukkan ponselku.
"Aku pergi duluan ya, Wisnu. Seperti kataku, semoga kita bisa berteman. Selamat tinggal!" pamitku yang tidak ditanggapinya.
Kulangkahkan kakiku dengan lebih ringan, beban yang kutanggung ketika datang ke tempat ini akhirnya melebur begitu saja. Kurasa kini aku sudah bisa menapaki masa depanku tanpa bayang-bayang masa lalu lagi.
***
Kuperhatikan raut wajah Edgar dari samping dia tampak berbeda malam ini, terkesan dingin. Tadi ketika sedang bersama Wisnu, Edgar menelpon jika dia sudah sampai untuk menjemputku. Dia memang sudah berjanji akan menjemputku setelah tidak ada lagi jadwal. Dan aku sempat mengenalkannya kepada beberapa temanku termasuk Nesa. Lisa tidak bisa datang karena keadaan darurat, anaknya tidak bisa ditinggal.
Aku yang sudah berasa bosan didiami begitu saja akhirnya angkat suara.
"Kamu kenapa sih, Gar? Ada masalah tadi di rumah sakit?"
Edgar tidak menjawab, dia masih mengacuhkanku. Tanganku terangkat untuk menyentuh tangannya yang sedang memegang kemudi. Kulihat mobil di sebelah kami berhenti, sepertinya lampu merah.
"Gar, kamu kenapa? Ada masalah di rumah sakit atau aku ada salah sama kamu?" tanyaku sekali lagi dan berhasil membuatnya menoleh kepadaku.
Edgar menatapku dengan tatapan yang tidak dapat kubaca. Aku menanti suara yang akan keluar dari bibirnya.
"Apa kamu sudah mulai bisa mencintaiku, Nai?"
Pertanyaan tidak terduga itu membuatku membatu. Aku tidak menyangka Edgar akan mengangkat masalah itu dalam situasi seperti ini. Aku baru saja keluar dari masalah dan sekarang aku dihadapkan dengan masalah baru.
Tiii...Tii...Tiid.
Bunyi klakson menyelamatkanku dari suasana kaku ini membuat Edgar kembali memacu mobilnya. Kali ini aku bisa selamat, tapi lain kali aku tidak tahu. Bukannya aku tidak bisa menjawab pertanyaan Edgar tetapi aku ingin Edgar menanyakannya di saat yang tepat. Bukan di saat dirinya sedang dalam keadaan kacau seperti saat ini.
Karena aku ingin dia mengetahuinya dengan wajah berbinar, khas Edgar.

My Destiny is You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang