Bab 8

10.1K 635 11
                                    

Please vote and comments. Happy reading! Thank you. ^^

      Kutaruh dokumen hasil pemeriksaan rutin pasien tadi ke atas meja. Cukup banyak perkembangan dari para pasien yang kutangani, walaupun tidak semua tapi aku bahagia mereka perlahan bisa sembuh. Tadi aku sempat berbicara dengan orang tua pasien penderita skizofrenia, setelah hampir 3 bulan lebih anaknya di rawat kini menampakkan hasil walaupun tidak terlalu siknifikan. Tetapi itu cukup bagi penderita skizofrenia.
     Terkadang pekerjaan ini membuatku harus mengiris hati melihat pasien-pasienku terutama yang anak-anak di mana seharusnya mereka bisa bermain dengan teman-teman sebaya mereka di luar sana. Bukannya malah terkurung di rumah sakit dengan selang dan infuse yang menemani mereka.
"Sepertinya aku butuh liburan!" gumamku sembari mendudukkan bokongku ke kursi kerjaku.
PING. PING. PING.
Suara notifikasi blackberry messenger-ku berbunyi, akupun meraih ponselku yang kusimpan di saku jas. Ada beberapa chat masuk dan bibirku tertarik melihat ada chat dari Edgar. Dan aku juga melihat ternyata ada notifikasi dari akun instagramku. Terlebih dahulu aku membalas chat dari Edgar yang memberitahuku jika dia sudah sampai Bandung dan akan lanjut ke Riau sore harinya. Setelah itu aku lalu masuk ke akun instagramku dan ternyata Kak Lukas menandaiku dalam sebuah foto yang diambilnya tadi pagi bersamaku. Aku tersenyum membaca caption fotonya.
❤40
Lukas20  Long time no see with my precious girl, @nailanai and we have a good morning. ^^

Aku memberikan tanda love untuk fotonya dan ada beberapa komentar dari beberapa teman yang dulu tahu kisah kami. Tetapi aku tidak menanggapinya, biarlah Kak Lukas sendiri yang nanti repot mengklarifikasinya. Aku sedikit berselancar di dunia instagram untuk beberapa saat sebelum panggilan Nesa mengacaukannya.
"Hallo, Nesa?"
"...."
"Iya, iya, aku ingat. Sebentar lagi aku selesai dan aku akan sampai di rumahmu menjelang malam."
"..."
"Iya, bye!"
Kuhela napas lelah begitu selesai menerima telpon dari Nesa. Dia mengingatkanku untuk menginap dirumahnya dan dia pasti akan mengintrogasiku setelah melihat fotoku bersama Kak Lukas di Instagram. Aku juga membayangkan reaksi apa yang diberikan Edgar jika melihat foto itu. Tapi lama-lama membayangkannya aku jadi merindukannya. Weekend masih dua hari lagi, dan aku belum membicarakan undangan Kak Lukas kepada Edgar. Mungkin nanti setelah sampai di rumah Nesa aku akan menghubunginya.
***
Aku berjalan terburu-buru ke tempat parkir khusus dokter dan staff di rumah sakit. Aku sudah melewatkan setengah jam dari jadwal pulangku. Tadi aku tidak sengaja bertemu dengan Dokter Faldy, salah satu rekan Edgar di divisi bedah. Dia banyak bercerita tentang Edgar sekaligus membicarakan salah satu pasiennya yang membutuhkan penanganan psikiater. Jadilah kami larut dalam perbincangan seru hingga aku hampir lupa dengan janji menginap di rumah Nesa. Dan sepertinya sampai apartemen nanti aku harus cepat-cepat.
Baru saja aku akan menyalakan mobil, ponselku berbunyi nyaring. Keningku mengerut saat melihat ternyata Edgar melakukan video call. Ini pertama kalinya dia melakukannya. Akupun meletakkan ponselku di standing phone, lalu menekan tombol jawab.
"Hai Gar! Semuanya berjalan lancar?" tanyaku begitu wajah Edgar muncul di layar ponselku. Tetapi entah hanya perasaanku saja atau memang wajah Edgar sedikit lebih menyeramkan.
"Ya...semuanya berjalan lancar sampai aku melihat ini!" jawabnya sembari menunjukkan ponselnya yang lain yang memperlihatkan fotoku dan Kak Lukas yang diposting di Instagram.
"Ah...itu, dia Kak Lukas, kakakku. Dia baru kembali dari New York." Terangku seadanya. Dia cemburu!
"Kakak heh? Baiklah, aku akan meminta penjelasan lebih lusa."
"Tentu saja, sekalian ada yang ingin aku beritahukan kepadamu. Maaf aku tidak bisa lama-lama, aku harus segera sampai apartemen dan menginap di rumah Nesa."
"Bermalam dengan Leo, heh?" aku tersenyum, teringat kecemburuan Edgar kepada Leo.
"Yups, dia semakin tampan saja membuatku jatuh cinta." Godaku.
"Ya! Kamu hanya boleh mencintaiku saja, Nai!" seru Edgar dengan wajah marah yang imut.
Aku tertawa melihatnya. "Iya...iya, tuan Edgar! Sampai jumpa lusa. And bye!" balasku sembari layangkan flying kiss kepadanya.
Edgar tertawa melihat tingkahku tetapi dia membalas flying kiss-ku juga. Setelah itu aku yang lebih dulu menutup video call kami, jika tidak pasti akan berlanjut. Terlebih karena melihat wajahnya aku jadi merindukannya. Lusa nanti aku yakin Edgar tidak akan jadi marah atau cemburu jika aku memberitahunya tentang pernikahan Kak Lukas. Kecuali jika dia tahu kisah lainku dengan Kak Lukas yang pernah menjalin hubungan. Tetapi, yang lebih penting sekarang adalah membawa beberapa gantiku dan pergi ke rumah Nesa sebelum ibu-ibu satu itu mengamuk.
***
"Jadi, tadi pagi dia datang ke rumah sakitmu, Nai?"
Aku mengangguk sembari memangku Leo yang sedang asik memakan biskuitnya. "Dan kamu tau Nes, pesonanya masih tidak pudar. Lobi rumah sakit menjadi penuh dengan para suster dan pasien wanita gara-gara dia."
Nesa tertawa mendengar ceritaku. "Ya...ya...ya, itu sudah pasti. Buktinya kamu membutuhkan waktu lama untuk move on dari dia."
Aku mendelik tidak suka dengan kata-kata Nesa. Tetapi dia tidak salah, selain Wisnu, laki-laki yang paling tidak bisa membuatku move on adalah  Lukas. Sengaja aku tidak memanggilnya kakak, karena jika berkaitan dengan kata-kata move on aku menjadi sangat sensitive. Butuh waktu 3 tahun untuk move on dari perasaan cinta sebagai seorang wanita kepada seorang laki-laki hingga menjadi perasaan sayang sebagai seorang adik kepada kakak laki-lakinya.
"Ah...hari minggu nanti kamu dan Revan harus ikut aku ke Bandung."
"Memangnya ada apa?"
"Si playboy itu akan menikah di sana."
Beberapa detik aku tidak mendapatkan reaksi dari Nesa sebelum akhirnya sebuah pekikkan terdengar dari bibirnya.
"APA??? Kamu serius, Nai?" aku mengangguk dengan malas membalas reaksi lebay Nesa.
Nesa baru akan membuka mulutnya kembali ketika suara ponselku berdering. Lagi, layar ponselku menunjukkan ada video call dari Edgar. Sepertinya laki-lakiku sedang kesepian di sana. Akupun segera meraih ponselku yang kutaruh di atas meja dan menjawabnya.
"Hei, bocah tampan! Jadi kau yang merebut tunanganku, ya?" sapaan pertama Edgar yang terdengar ketika melihat wajah Leo di layar.
Leo tersenyum girang melihat wajah Edgar yang sedang berpura-pura marah kepadanya. Kunaikan ponselku hingga Edgar bisa melihat jelas wajahku.
"Ada apa menelpon, Gar?"
"Hanya ingin melihat seperti apa wajah bocah yang telah merebut tunanganku!"
"Sudah pasti dia tampan, Naila tidak akan jatuh cinta jika Leo tidak tampan. Makanya kalian cepatlah menikah, jadi kamu akan mendapatkan duplikat Edgar, Nai!" timpal Nesa yang tiba-tiba saja sudah ikut nimbrung.
Edgar tertawa di sana, dia sepertinya sangat menikmati sindiran Nesa.
"Baiklah, awal bulan nanti kamu harus siap menemani Naila sebagai bridesmaid-nya, Nesa!" jawaban Edgar membuatku terbelalak.
"Apa maksudmu dengan awal bulan depan, Edgar Alfarizi Winoko?" tanyaku dengan garang.
"Emm...sepertinya aku lupa ada beberapa berkas yang belum aku selesaikan. Aku bereskan dulu ya, Nai. Sampai jumpa lusa, bye!"
Klik. Video call kamipun diputus oleh Edgar yang tanpa menunggu balasan dariku. Apa-apaan sih dia? Laki-laki itu kenapa suka sekali mengambil keputusan sendiri sih? Memangnya yang mau menikah hanya dia saja, aku juga.
"Sepertinya Edgar sudah menyiapkan semuanya ya, Nai." Celetuk Nesa.
"Apa maksudmu, Nesa?"
Nesa mengendikan bahunya. "Ya...sepertinya Edgar sudah sangat siap untuk menjadikanmu istrinya. Kamu sangat beruntung mendapatkannya!" jawab Nesa sembari membawa Leo yang sudah menguap di pangkuanku.
"Beruntung? Benarkah?"
Aku masih memikirkannya hingga Nesa menidurkan Leo di kamarnya. Aku tidak tahu jika aku adalah wanita yang beruntung, tidak sebelum Nesa menyadarkanku tadi. Aku hanya merasa jika semuanya berjalan terlalu cepat. Lamaran Edgar sebulan yang lalu, pertunangan yang tidak terduga, dan hari pernikahan yang aku tidak pernah tahu kapan, semuanya begitu cepat.
Aku bahkan masih merasa jika aku belum benar-benar mengenal Edgar. Walaupun belakangan ini aku sudah mulai menyesuaikan diri dengan segala sikap dan sifatnya yang tidak jarang sedikit kekanak-kanakan. Tapi aku merasa semua itu masih belum cukup untukku. Terlebih aku belum mengetahui masa lalunya.
PING!!!
I miss you, so much! :*

My Destiny is You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang