V

28K 2.4K 16
                                    

Ishvara membanting tubuhnya di kasur sembari menatap langit-langit kamarnya. Cukup lama dia menghabiskan waktu untuk acara perjamuan, kakinya mulai pegal, bahkan korset yang di kenakan membuat napasnya terasa sesak.

Tak banyak hal yang terjadi selama perjamuan, meskipun dia banyak mendengar gosip tentang dirinya yang masih diperbincangkan. Namun Ishvara tidak terlalu memikirkannya, baginya perjamuan itu bukanlah apa-apa. Lagi pula perjamuan yang telah dilaksanakan tidak menghadirkan banyak orang. Hanya ada beberapa orang yang memiliki koneksi dekat dengan wilayah Houston.

Lagi pula Ishvara sudah terbiasa bersilat lidah atau mendengar berita buruk, setiap menghadiri sebuah acara di kehidupan sebelumnya.

Dunia kerja yang keras memaksa Ishvara untuk menjadi wanita yang bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Hal inilah yang membuatnya tidak terlalu bergantung kepada pria. Bahkan dia belum sempat mencicipi nikmatnya perasaan cinta yang di agungkan orang-orang.

"Apakah nyonya ingin membersihkan diri atau beristirahat sebentar?" tanya Eria di sampingnya.

"Siapkan saja bak mandinya," jawab Ishvara dengan mata yang terpejam.

Kepergian Eria membuat mata yang semula terpejam kini terbuka. Perasaannya hampa. Sejak Ishvara berada di tempat ini, dia rasa emosi tidak terlalu mudah untuk diatasi. Bahkan dia bingung apa yang harus dilakukan, lantaran dia tak bisa merasakan dengan jelas apa yang dirasakan tokoh utama.

"Nyonya, saya sudah menyiapkan semua yang diperintahkan."

Ishvara menyandarkan tubuhnya ke dalam bak mandi. Menikmati air hangat yang diberikan wewangian oleh Eria. Pikirannya kini menjadi sedikit tenang.

"Eria, aku ingin menanyakan pendapatmu" gumam Ishvara dengan mata yang tertutup menikmati hangatnya air panas.

"Ya nyonya," jawab Eria dengan tangan yang masih sibuk mengusap lembut lengan Ishvara.

"Apa kau merasa ada yang berbeda dariku? Katakan saja sejujurnya."

Hening. Tidak ada sepatah kata pun yang di ucapkan Eria. Namun tangan gadis itu masih mengusap lengannya dengan lihai. Ishvara membuka kelopak matanya menunggu jawaban Eria.

"Saya tidak berhak berkata seperti itu. Setiap orang bisa berubah dalam kondisi apa pun. Begitu pula dengan nyonya dan saya."

"Lalu bisakah orang berubah karena cinta?"

"Saya.. saya tidak tahu nyonya. Saya sendiri belum merasakan apa itu cinta dan kasih sayang," jawab Eria sedikit ragu.

Benar, Eria merupakan gadis yang kaku. Dia tidak akan berbicara jika tak ada yang mengajaknya lebih dahulu. Dan Ishvara lah yang harus mengajak robot ini berbicara lebih dahulu lantaran tak tahu harus berbicara dengan siapa lagi.

Kini ritual mandinya telah usai. Ishvara memilih menghabiskan waktunya menggoreskan tinta di atas kertas sembari mencatat beberapa rencana yang mungkin bisa dia gunakan untuk menghadapi dunia antah-berantah ini.

Meskipun dia tidak bisa mengetahui secara pasti, namun kehidupan para bangsawan tidak semudah yang dibayangkan. Dan beberapa peristiwa yang dia alami mungkin hanyalah permulaan.

Drapp

Terdengar suara lompatan kaki di balkon kamar. Suaranya tidak begitu keras namun Ishvara masih dalam kondisi terjaga. Wanita itu menutup lembaran kertas dan meletakkan pena yang di genggamnya.

Tiba-tiba sebuah anak panah melesat cepat ke arahnya. Jika saja Ishvara tidak memiliki refleks yang baik. Maka panah itu bisa saja tertancap di pundaknya. Pintu balkon terbuka dengan keras disertai hembusan angin yang kencang. Membuat jantung Ishvara berdegup lebih cepat dari biasanya.

Ishvara tidak bisa berpikir jernih, dia memundurkan langkahnya waspada terhadap sekitarnya. Kini dia hanya sendiri, tidak ada penjaga yang berjaga di depan pintu, waktu sudah cukup larut bagi para penghuni istana untuk beraktivitas. Tetapi ini adalah waktu yang tepat bagi seseorang untuk merencanakan pembunuhan.

Sebuah bayangan hitam bergerak cepat dari sisi kanan ke kiri balkon. Ishvara dengan tidak peduli mengejar bayangan tersebut seolah menghampiri kematiannya. Namun usahanya sia-sia. Dia tidak dapat menemukan seorang pun di balkon kamar.

Suasana kembali sunyi, angin yang tadi berhembus kencang kini tidak lagi. Wanita itu berjalan mundur menutup pintu untuk kembali ke dalam namun keseimbangannya tiba-tiba hilang. Kini tubuhnya terjatuh di lantai disertai pedang yang mengarah tepat di depan dada. Perlahan pedang itu beranjak naik hingga hanya menyisakan jarak beberapa senti dari wajahnya.

Ishvara menatap dalam seseorang yang berdiri tegap di depannya. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis. Tak ada rasa takut yang ter gambarkan di wajah Ishvara. Yang terlihat hanya wajah damai seolah pedang di depannya bukanlah sebuah ancaman.

"Bagaimana tanggapan orang-orang jika mendengar Duke yang tidak pernah pulang, tiba-tiba datang dan langsung mengarahkan pedang ke istrinya?"

- - - - - - -

Be meaningful to someone ✨

The Cruel Duke and DuchessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang