XXXI - God damn it !

9.7K 655 3
                                    

Kave mendorong pintu dengan ujung kakinya. Kedua tangannya kini sibuk mengangkat tubuh Ishvara. Ruang apartemen yang gelap menyambut penglihatan ketika masuk. Pria tersebut berjalan ke arah sofa dan menidurkan tubuh wanita yang berada dalam dekapan.

Tubuh Ishvara kini sudah telentang di atas sofa. Kave, pria itu masih terdiam di samping sofa. Matanya menatap dalam ke arah wanita yang sedang memejamkan matanya.

Namun pria tersebut mulai bangkit dari posisinya. Langkahnya bergerak mendekat ke arah dapur dan menyalakan lampu dapur dengan pencahayaan rendah. Dirinya membiarkan apartemen dalam keadaan remang. Sebab ruangan apartemennya memanjang dan tanpa sekat hingga membuat cahaya kecil pun akan sampai ke arah sofa.

Tidak banyak cahaya yang sampai ke arah sofa. Dirinya tak ingin membuat Ishvara yang masih terlelap, terganggu dalam tidurnya.

Pria itu kini membuka kabinet. Mencari beberapa bahan yang bisa dia pakai untuk memasak. Tak banyak yang tersisa di dalam kulkas.

Tangannya bergerak lihat mengolah daging dua buah daging tender loin yang ia ambil dari dalam kulkas. Sementara itu di bagian dapur yang lain sayuran telah dimasak sebagai pelengkap sajian.

Telinganya mendengar suara nada dering dari ponsel. Pria tersebut menatap layar ponsel yang menyala sembari meniriskan sayur ke dalam piring. Tangannya kirinya meletakkan peralatan masak, sedangkan tangan kanannya mengangkat panggilan masuk dari adiknya.

"Ada apa?"

"Kave, aku baru saja membaca pesanmu. Astaga, dimana Ishvara sekarang? Kau sudah mengantarnya pulang? Oh aku lupa memberikan alamatnya padamu. Tetapi dia tidak tinggal di rumahnya lagi... Benar, di mana anak itu tinggal sekarang. Lalu dimana dia ?" Iris terus berbicara mengabaikan Kave yang kini menyandar pada meja dapur mendengar ocehan adiknya yang tak kunjung tuntas.

Kave menghela napasnya. Tangannya bergerak memijat pelipisnya. "Aku membawanya ke apartemen mu."

"Baguslah. Tolong jaga dia malam ini. Aku tidak bisa pulang karena masih ada perjalanan bisnis. Ah ingat jangan pedulikan ucapan saat sedang mabuk"

"Baik ku tutup," ucap Kave dengan jari yang langsung menekan tombol merah untuk mengakhiri percakapan keduanya.

Pria itu menoleh ke belakang. Menatap Ishvara yang mulai menggeliat tak nyaman di atas sofa. Langkahnya kini beranjak, lalu melangkah mendekat ke arah sofa.

Kave membungkukkan tubuhnya sembari meletakkan punggung tangan pada kening Ishvara.

Suhu tubuh yang normal, namun keringat dingin terus mengalir hingga membasahi anak rambut milik Ishvara. Kave kini berjongkok mencoba melepaskan blazer yang dikenakan Ishvara. Takut jika benda tersebut membuat wanita di depannya merasa sesak dan tak nyaman dalam tidurnya.

Kini pundak wanita itu terekspos menampilkan tulang selangkanya yang menonjol. Kalung yang menghiasi lehernya pun membuat wanita itu terlihat cantik di bawah pantulan cahaya rendah.

"Ash tetaplah hidup..." gumam Ishvara dalam keadaan tak sadar.

Pergerakan tangan Kave kini berhenti. Perlahan tangannya bergerak menjauh dari tubuh wanita di depannya. Jakunnya bergerak naik turun dengan pandangan yang ia alihkan menatap ke sofa.

Tangannya terkepal, ototnya tangannya menegang, membuat garis di tangannya terlihat jelas. Cukup lama ia masih setia dengan posisinya.

Mata Ishvara menyipit, kini wanita itu memfokuskan pengelihatannya menatap sekelilingnya. Tubuhnya sontak bangkit dari posisinya tidurnya menyadari Kave tengah berada di dekatnya.

"Aku memasakkan makan malam. Rapikan dirimu lalu segera ke meja makan."

Kesadarannya masih belum sepenuhnya pulih. Wanita itu menyentuh perut rampingnya. Perutnya terasa tak enak. Ishvara menutup mulutnya menahan rasa mual sembari berlari ke arah wastafel.

Manik matanya menatap cermin yang terbentang di depannya. Rambutnya terlihat berantakan. Lipstik yang ia kenakan juga terlihat memudar. Belum lagi kini dirinya hanya menggunakan atasan satin dengan model spaghetti strap yang memperlihatkan hampir seluruh pundaknya.

Ishvara kini membuka pintu kamar mandi sembari mengeluarkan kepalanya untuk mengintip. Terlihat Kave tengah sibuk menata makan malam di meja makan.

Langkahnya keluar dari kamar mandi, pandangannya tertuju pada balzer miliknya yang tergeletak di sofa. "Apa kau yang melepasnya?" tanyanya yang langsung dihadiahi dehaman ringan Kave.

"Aku tidak ingin makan, perutku tidak nyaman." Ishvara berucap sembari melangkah mendekat ke arah meja makan. Tangannya kini menyandar pada kursi.

Pandangan mata Kave kini menatap tajam ke arahnya. Pria tersebut lantas mengambil kembali sepiring daging tenderloin yang sudah dia siapkan lalu kembali masuk ke area dapur meninggalkan Ishvara yang masih berdiri di sudut meja makan.

Wanita itu menghela napasnya. Ketika berbalik dan ingin melangkah, suara bariton menghentikan langkahnya.

"Duduk dan makan makanan mu," suara bariton tersebut menghentikan pergerakannya. Kave datang dari arah dapur sembari membawa sepiring telur beserta segelas air hangat yang ia letakkan di depan meja Ishvara.

Mau tidak mau wanita itu kini kembali duduk. Matanya fokus menatap telur yang berada di depannya. Kuning telur yang ada di tengah tampak matang sempurna. Tangannya bergerak ragu mengiris telur yang ada di piringnya.

Keduanya kini tak bersuara. Lantaran fokus dengan piringnya masing-masing. Selama makan malam pun tak kunjung ada yang bersuara hingga kedua makanan di piring telah bersih.

Wanita itu kini pergi menuju balkon apartemen meninggalkan Kave yang masih duduk di meja makan. Tubuhnya menyandar pada pagar pembatas menikmati semilir angin malam dari ketinggian.

Pemandangan kota saat malam terlihat jelas dari atas. Rasa tidak nyaman di perutnya pun turut mereda.

"Katakan dimana kunci mobilku," ucap Ishvara mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya.

"Iris mengatakan untuk tidak mempedulikan ucapanmu saat mabuk. Apakah yang ini termasuk?"

Wanita itu kini berbalik menatap lawan bicaranya dengan ekspresi tak suka. "Aku sudah sadar."

"Iris memintaku untuk menjagamu."

Wanita itu berdecak mendengar perkataan Kave. Lalu kembali membalikkan tubuh menatap pemandangan kota di bawahnya.

Langkah pria itu mendekat sembari menyampirkan kain untuk menutupi pundak Ishvara yang terbuka. Angin malam ini berhembus cukup kencang bahkan menerbangkan rambut halus milik wanita di depannya.

"Kenapa kau bertanya mengenai luka ku," tanya pria itu tiba-tiba.

"Luka itu mengingatkanku pada seseorang," jawab Ishvara sembari membenarkannya anak rambutnya yang terkena angin.

"Siapa?"

Ishvara kembali berbalik, wanita itu melangkah mendekat sembari mengeratkan kain di pundaknya. Kepalanya menengadah menatap ekspresi pria di depannya dengan jarak yang terpaut cukup dekat.

"Suamiku."

Manik matanya kini menatap dalam bibir Kave. Fitur wajah pria itu benar-benar seperti Asher. Wanita itu kini hendak melangkah pergi. Namun lengannya ditarik. Pria itu kini mendekat, hanya tersisa sedikit jarak di antara keduanya. Wajah Kave mendekat membisikkan sesuatu.

"Maka manfaatkan aku sepuas mu."

Belum saja Ishvara membuka mulut. Tangan kekar milik pria di depannya kini mengelus pipi kirinya perlahan. Ishvara yang merasakan itu pun segera menolehkan wajahnya menghindari tangan pria tersebut.

Tangan Ishvara mulai terkepal berusaha melepaskan dirinya.

Semuanya berlangsung dengan begitu cepat. Hanya sepersekian detik namun. mampu membuat membuat napasnya tersengal. Belum lagi ia tidak mengerti arti dari tatapan pria tersebut.

Telapak tangan milik Ishvara mendarat tepat di rahang tegas milik pria di depannya. Tamparannya terdengar begitu renyah.

"Brengsek."

Ishvara kini segera masuk ke dalam kamar milik sahabatnya membiarkan Kave yang masih berdiri di balkon apartemen. Tangannya memutar kunci dari dalam lalu segera merebahkan dirinya di atas kasur. Matanya mencoba terpejam sejenak melupakan hal-hal gila yang terjadi dalam hidupnya.

The Cruel Duke and DuchessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang