XXXII - An offer

8.5K 657 15
                                    

"Apakah ada yang lainnya?" tanya seorang wanita yang kini mengenakan setelan berwarna putih.

Ishvara masih diam. Suasana ruangan yang hening membuat bunyi jam dinding terdengar menggema. Wanita yang duduk di depannya kini hanya melirik sembari memegangi selembar kertas yang ada di tangan kiri dan pena di tangan kanannya.

"Akhir-akhir ini aku mengalami insomnia. Rasanya mimpi buruk akan selalu datang ketika menutup mata. Jadi aku menghabiskan lebih banyak waktu untuk bekerja di tengah malam."

Setelah beberapa saat berlaku, Ishvara pada akhirnya milau mencurahkan sedikit keresahannya. Meskipun memakan waktu beberapa menit untuk menunggu nya berbicara.

Wanita dengan setelan putih yang berada di hadapannya mengangguk paham. Seolah sabar menanti cerita Ishvara. Di ujung mejanya tertuliskan sebuah papan nama bergelar Sp.KJ.

Ishvara masih duduk di kursinya sembari menatap wanita yang kini tengah sibuk menuliskan resep untuknya.

"Apa kau percaya?" tanya Ishvara sambil mengamati ekspresi dari wanita di depannya.

Wanita itu tersenyum hangat mendengar pertanyaan dari lawan bicaranya. Ujung matanya melirik ke arah Ishvara sesekali. Tangannya masih sibuk menulis.

"Tidak, sebelum aku mengalaminya. Dalam kasus mu aku berpikir tentang dua kemungkinan. Pertama, itu terjadi hanya karena trauma masa lalu. Dan yang kedua, itu benar-benar nyata."

Ishvara menyipitkan mata mendengar penjelasan wanita di depannya. "Jika aku mengatakan datang dari masa lalu apa kau juga akan percaya? Kau memercayai semua pasienmu?" Ishvara berdecak mendengar jawaban dari wanita tersebut.

Wanita itu tertawa mendengar decakan Ishvara. "Nah, ada hal-hal yang tidak bisa kita jelaskan secara teori dan masih dipertanyakan hingga saat ini."

Wanita bernama Anna tersebut kembali mengembangkan senyuman sembari memberi Ishvara secarik kertas bertuliskan nama-nama obat yang asing baginya.

"Untuk saat ini aku akan memberimu resep untuk insomnia. Aku harap kau bisa datang kembali pekan depan."

"Baik. Aku akan kembali."

•••

Sudah hampir satu minggu berlalu sejak pertemuannya dengan Kave di apartemen. Setiap malam entah kenapa mimpi buruknya semakin menjadi. Membuat wanita itu begitu tak nyaman jika harus menutup mata.

Meskipun obat yang diberikan Anna sudah lebih dari cukup untuk membantunya. Tapi seringkali Ishvara merasa jantungnya berdebar tidak normal. Terlebih rasa nyeri di kepala mulai sering menghampirinya.

Jari telunjuknya bergerak menekan tombol lift bertuliskan angka dua puluh. Pandangannya kini terfokus ke lantai. Namun pupil matanya membesar kala melihat pantulan dari lantai keramik yang dia pijak. Pantulan tubuh pria yang Ishvara yakini adalah Kave.

Tangannya hendak menekan tombol agar pintu lift segera tertutup. Namun pergerakan pria itu terasa lebih cepat. Salah satu tangannya kini sudah lebih dulu masuk mencoba menahan pintu lift agar kembali terbuka.

Mata tajam pria itu melirik Ishvara yang berada di dalam lift. Napas Ishvara tercekat sesaat ketika mencium aroma musk disertai wood yang datang bersamaan dengan masuknya pria tersebut.

Keduanya diam, tak ada orang lain yang berada di dalam lift. Pintu lift kini tertutup. "Bagaimana dengan rencana pengembangan produk."

Ishvara melirik pria itu dari samping sesaat. Terlihat Kave berdiri tegap di sampingnya dengan mengenakan setelan suit yang terlihat pas lalu kembali menatap pintu lift.

"Hampir selesai."

"Lalu bagaimana dengan tawaranku malam itu?" Pria itu kini bersandar pada dinding lift sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Telapak tangan Ishvara meremas dress satin yang ia kenakan. Tindakan itu pun tak luput dari tatapan tajam milik pria yang berada tepat di samping Ishvara.

"Aku bukan wanita bodoh yang mau melakukan hal gila dengan orang yang bukan pasanganku," tegas Ishvara sembari mengertakkan giginya. Menunjukkan senyuman palsu.

Wanita itu menatap berani ke mata lawan bicaranya. Kedua tangannya bergerak menyilang mengeratkan blazernya di depan dada. Dengan tubuh yang mulai memberi jarak pada pria disampingnya.

Kave, pria itu hanya mengangkat sudut bibirnya sembari menatap ujung sepatu pantofel nya. Pria itu tahu benar jawaban yang akan dilontarkan oleh Ishvara. Mengingat keangkuhan wanita tersebut.

"Aku masih memberimu kesempatan."

"Aku rasa itu tidak perlu, aku tidak menginginkannya." Ishvara berucap sembari menundukkan sedikit kepalanya bersikap hormat mengingat jabatan pria di sampingnya yang lebih tinggi.

"Hanya kali ini, kesempatanmu. Pikirkan baik-baik dengan kepala dingin. Jangan bertindak sebelum berpikir," ucap Kave menginterupsi keheningan dengan suara baritonnya.

Ishvara mendongakkan kepalanya menatap tajam pria tersebut. Tak ada ras takut ketika ia menatap dalam ke manik mata milik Kave. "Maaf. Tetapi seharusnya kau tidak perlu terlalu ikut campur mengenai urusanku. Untuk apa aku menggunakan mu? Bersenang-senang? Ha, Itu sangat lucu."

"Dan lagi, aku melanjutkan tugas rencana pengembangan produk karena tidak ingin semuanya gagal. Bukan karena aku setuju untuk bekerjasama denganmu merebut posisi Aluna," jelas Ishvara panjang lebar.

Atmosfer di dalam lift terasa memanas. Setelah kalimat panjang yang ia ucapkan. Wanita itu mengabaikan pria di sampingnya. Persetan dengan tanggapan Kave. Wanita itu lebih memilih untuk tidak melanjutkan percakapan mereka sebelum ia tak dapat lagi membendung emosinya.

Pintu lift kini terbuka menampilkan beberapa karyawan yang sudah menunggu. Ada sebuah kelegaan di hati Ishvara. Ini saat yang ia tunggu agak tidak terlalu lama menghadapi Kave seorang diri.

Wanita itu bergerak mundur untuk memberikan ruang beberapa orang yang akan masuk. Sedangkan Kave kini pergi meninggalkannya. Kepergian pria itu tak lepas dari pandangan Ishvara.

Namun ketika Kave melangkah keluar dari lift sebuah kartu nama terlihat jatuh dari sakunya. Hal itu pun terekam jelas  di otaknya. Wanita itu yakin bahwa Kave memang dengan sengaja menjatuhkan kartu namanya dan bukan tanpa alasan.

Ishvara menatap ragu kartu nama yang berada tepat di depan sepatu heelsnya. Matanya melirik ke sisi kanan dan kiri memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua sibuk dengan urusannya masing-masing. Beberapa di antaranya sibuk berbincang satu sama lain. Sedangkan yang lainnya sibuk menata dokumen yang dia bawa juga sibuk dengan teleponnya.

Ishvara menahan napasnya lalu menghembusnya perlahan. Wanita itu menggigit bibirnya ragu. Tubuhnya kini sedikit membungkuk mengambil kartu tersebut menggunakan tangan kanannya.

Sama seperti kartu nama pada umumnya. Namun dibalik kartu nama tertulis sebuah alamat. Keningnya seketika berkerut. Buru-buru ia menggenggam kartu nama tersebut dan menyembunyikan dalam genggaman tangannya. Setelahnya Ishvara kembali berdiri tegak di tengah-tengah rekan kerja lainnya.

Ishvara mengangkat kepalanya melihat punggung Kave yang mulai menghilang di balik pintu lift. Pikirannya kini melayang jauh memikirkan maksud dari pria itu.

Tak hanya sekedar kartu nama biasa, bahkan dibalik kartu nama juga tertulis alamat disertai satu kalimat yang mungkin di tujukan untuk Ishvara.

"Be Found."


The Cruel Duke and DuchessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang