Dering ponsel terdengar memekakkan telinganya. Ishvara bergerak gusar mencari ponselnya yang ia letakkan di atas kabinet. Jemarinya meraba bagian atas meja di samping tempat tidurnya dengan mata yang masih belum terbuka sepenuhnya. Matanya mengerjap sembari memfokuskan penglihatannya.
Sebuah pesan masuk dari Iris yang sontak membuatnya terkejut. Wanita itu segera bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Kini langkahnya tergesa-gesa menekan tombol pada lift. Jam sudah menunjukkan pukul delapan dan dirinya baru saja tiba di kantor. Ishvara hanya bisa mengusap wajahnya frustasi.
Entah kenapa akhir-akhir ini dirinya sulit sekali untuk tidur. Mimpinya tentang Ishvara Berenice masih sangat membekas. Rasanya dia selalu mengalami mimpi buruk ketika tertidur.
Pintu lift kini terbuka menampilkan lantai tempatnya bekerja. Napasnya memburu ketika dirinya tiba di meja kerja. Beruntungnya tidak banyak karyawan yang sedang bekerja di ruangan. Beberapa di antara mereka kini sedang pergi ke area pantry dan sebagian lainnya ikut dalam pertemuan. Ishvara kini menghela napasnya lalu mendudukkan tubuhnya di kursi.
Tangannya bergerak menyalakan komputer. Namun satu notifikasi kembali masuk. Wanita itu mengamati notifikasi yang masuk. Keningnya mengernyit.
Aluna mengirimkan beberapa pesan melalui emailnya. Wanita itu membuka dan membacanya dengan seksama. Namun seketika giginya mengeras.
Mustahil, rasanya tidak mungkin dirinya diberikan wewenang untuk mengurus kegiatan pengembangan produk dalam jangka waktu yang begitu singkat.
Ishvara meringis menggenggam ponselnya kuat menahan kekesalan setelah membaca email yang dikirim oleh Aluna.
Wanita itu kini berdesis mengingat bahwa dirinyalah yang menawarkan diri untuk dimanfaatkan.
Kini Ishvara bangkit dari posisinya. Bergegas untuk mencari Aluna. Pandangannya mengedar mencari sosok wanita yang ingin ia temui.
"Ishvara? Ingin kemana?" tanya beberapa rekan kerjanya yang baru saja kembali.
"Dimana Aluna?"
Dua orang wanita yang berdiri di hadapan Ishvara kini hanya saling menatap bingung. "Mungkin ada di ruang personalia?"
Ishvara kini bergegas pergi menaiki lift. Raut wajahnya sudah tidak lagi bisa lagi dia kondisikan. Bunyi heels yang wanita itu kenakan kini terdengar berirama bersamaan dengan langkahnya yang kian cepat.
Beruntungnya lift tengah kosong. Hingga dirinya tak butuh waktu lama untuk tiba di lantai yang ingin ia tuju. Tepat disaat pintu lift terbuka Aluna terlihat melangkah keluar dari sebuah ruangan.
Langkah Ishvara mendekat lalu mengangkat ponselnya tepat di hadapan wajah Aluna.
"Katakan maksudmu?"
Aluna melirik ponsel milik Ishvara sekilas lalu menatap wanita di depannya. Wanita itu memutar bola matanya jengah. "Jika kau ingin protes maka lakukan padanya." Aluna berucap sembari menatap ruangan yang berada tepat di sampingnya. Ishvara yang menyadarinya pun mengikuti arah pandangan Aluna.
"Aku hanya meneruskan pesan. Jadi masalah ini bukan urusanku," lanjut wanita itu dengan nada malas lalu segera meninggalkan Ishvara.
Ishvara berdecak mendengar penjelasan Aluna. Kini Aluna telah menghilang di balik pintu lift meninggalkannya.
Ishvara melirik ke arah kanan melihat ruangan yang dimaksud oleh Aluna. Benar, wanita tidak mungkin secara langsung membiarkan Ishvara mengambil alih tugasnya.
Karena bagi Aluna, Ishvara adalah ancaman. Entah kesalahan apa yang wanita itu perbuat hingga Aluna begitu tak menyukai kehadiran Ishvara.
Begitu langkah Ishvara memasuki ruangan pupil matanya bergerak membesar ketika melihat seorang pria yang tengah duduk di kursi sembari mengobati luka yang ada di tubuhnya. Tubuh bagian atas pria tersebut kini tidak tertutup oleh apa pun.
"Ada yang ingin kubicarakan," ucap Ishvara sembari berdeham ringan. Kedatangan Ishvara pun baru disadari oleh Kave ketika dirinya berbicara.
Kave melirik ke arah wanita yang berdiri sedikit jauh darinya. Pria tersebut meletakkan obat yang baru saja ia gunakan di atas meja lalu berdiri dan mengambil kemejanya yang tergantung.
Ishvara menatap tubuh bagian belakang pria tersebut. Matanya tertuju pada bekas luka di punggungnya. Bekas luka yang mengingatkannya kembali kepada Asher. Seorang pria yang ia temui di mimpinya.
Meskipun kini masih tidak pasti apakah itu benar-benar bunga tidurnya. Tapi entah mengapa rasanya begitu nyata. Bahkan Ishvara masih bisa mengingat dengan jelas punggung Asher yang tidak tertutupi oleh kain. Napas hangat pria tersebut, bahkan sentuhannya. Ishvara menyadarkan kembali pikiran.
Kini pria tersebut memasang kembali kemejanya sembari duduk di kursi. Ishvara mulai berjalan mendekat lalu meletakkan ponselnya di atas meja.
"Ada apa?" tanya Kave menanggapi kedatangan Ishvara sembari memasang kancing kemejanya.
"Anda yang memberi tugas ini?"
"Benar."
"Bagaimana mungkin saya bisa menyelesaikan pencarian dan pengembangan produk baru seorang diri? Bahkan dalam kurun waktu tersebut?!" protes Ishvara tak terima dengan tangan yang hampir menggebrak meja.
"Aku pikir kau cukup pintar untuk memahami," ucapnya sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi mencari posisi nyaman. Tak lupa jari-jari tangannya kini saling bertautan.
Ishvara mengernyitkan keningnya. Bibirnya terbungkam mencoba mencerna perkataan pria di depannya. Dirinya sungguh tak mengerti pemikiran Kave.
"Jika berhasil. Maka kau akan naik setingkat di atasnya."
Ishvara meringis, kini dirinya mulai sadar kemana arah pembicaraan pria tersebut. "Apa kau mendengar pembicaraanku dengan Aluna?"
"Aku katakan padamu. Aku menghormatimu sebagai atasanku. Dan masalahku akan ku selesaikan dengan caraku sendiri." Tekan Ishvara sembari mengetuk meja menyesuaikan tempo ucapannya.
Wanita itu menghela napasnya sesaat lalu mengambil kembali ponselnya yang berada di atas meja. Ishvara mencoba menahan kekesalannya sampai pada akhirnya wanita itu mencoba menimbang kembali amarahnya.
Kini pandangan Kave sepenuhnya terpusat pada Ishvara. Alis pria tersebut terangkat begitu pula sudut bibirnya. Raut wajahnya terlihat seolah puas mendengar jawaban dari Ishvara. Satu tangannya kini ia masukkan dalam saku celana sembari bersandar.
Kave menatap tajam ke arah Ishvara. Dirinya melihat kesungguhan dari ucapan wanita di depannya.
"Tidak masalah," ucap Kave tanpa beban dengan tubuh yang masih bersandar pada kursi.
"Ada keperluan lain?" tanya Kave lantaran Ishvara masih setia berdiri di hadapannya. Tidak hanya itu, Ishvara bahkan menatapnya dengan penuh tanya.
"Ada lagi yang ingin kutanyakan," ucap Ishvara.
"Katakan, setelah aku menjawabnya maka pergilah."
Pria itu kini kembali pada pekerjaannya, matanya kini fokus pada beberapa folder yang ada di hadapannya. Bahkan sesekali matanya melirik ke arah monitor seolah tengah memastikan.
"Luka di punggungmu, karena apa?" tanya Ishvara langsung tanpa basa-basi lagi.
"Hanya luka lama, tidak apa."
"Hanya luka lama, tidak apa."
Ishvara kembali mengingat sepenggal mimpi buruknya. Tangan Ishvara meremas blazer yang ia kenakan. Dirinya mengingat perkataan Asher. Rasanya dirinya kini dibayang-bayangi oleh mimpi buruk tersebut.
Meskipun dirinya tidak yakin bahwa Kave dan Asher di mimpinya adalah orang yang sama. Tetapi entah mengapa rasanya Ishvara seperti dibohongi. Mungkinkah Ishvara saja yang terlalu terbayang-bayang.
Namun jawaban Kave membuatnya semakin yakin bahwa pria tersebut adalah pria yang sama seperti dalam mimpinya. Jawaban yang dilontarkannya persis seperti saat Ishvara menanyakan luka yang ada pada punggung Asher.
Kepalanya kini sudah cukup pusing memikirkan banyak hal dalam waktu yang bersamaan. Ishvara menatap kosong ke arah meja sesaat setelah mendengar jawaban dari mulut milik Kave.
"Benarkah ?" tanya wanita itu dengan suara yang hampir tidak terdengar.
___
Huhuhu maaf banget kalau update nya lama, aku lagi sibuk 😿
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cruel Duke and Duchess
General FictionHidupnya terasa berubah dalam semalam. Ishvara terbangun dari tidurnya dan mendapati dirinya tengah berada di tubuh Ishvara Berenice. Yaitu tokoh utama wanita yang bukunya sempat dia baca di kehidupan sebelumnya. Kini dia harus membiasakan diri deng...