Sudah dua hari Nicole membolos. Selama itu pula dia sengaja mengelabuhi ibunya dengan menggunakan seragam sekolah, tapi sama sekali tidak menuju Bakti Senja. Nicole mengitari kota ke mana saja. Ke tempat-tempat, perumahan, jalan, belokan, toko, di mana saja yang pernah ia lewati dengan ayahnya.
Kemarin dia termenung lama di taman tua yang terbengkalai. Letaknya setengah kilo meter dari Hyacinth. Nicole duduk di sana, lama. Di situlah dia dulunya kerap menghabiskan es krim dengan ayah. Merajuk, tak ingin pulang karena ulangan Matematika hanya mendapat dua puluh.
Nicole takut ketika ibu marah-marah dan menambah jam belajar. Untuk itu, ayahnya selalu mencoba banyak hal agar Nicole mau pulang.
Mengingat memori itu, Nicole menangis. Tidak tersedu, hanya menitikkan air mata.
Hari ini, dia mendapat panggilan dari pihak kepolisian. Ini hari terakhir kesempatan bertemu dengan sang ayah sebelum nantinya dikirim ke lapas tempat eksekusi.
Tanpa pikir panjang, Nicole kembali bolos. Ia mendatangi lapas utama pusat kota dan menunggu cukup lama untuk bicara langsung dengan sang ayah. Setelah delapan tahun lamanya. Nicole mungkin tak terlalu mengenali ayahnya, dan dia pun tak menyalahkan ayahnya jika sudah tak mengenalinya.
Semuanya pasti berubah. Berubah terlampau banyak.
Bagaimana reaksi ayah jika tahu kalau putrinya bukan lagi Neng Kol yang serba keren dan selalu menjadi pusat perhatian? Nicole sempat memikirkan hal semacam itu.
Kini, dia duduk di kursi tunggal dengan sederet kursi di masing-masing kubikel. Satu kubikel terdapat bangku seberang dengan pembatas kaca tebal transparan yang memiliki lubang diagonal lingkaran.
Kaki Nicole mengetuk-ngetuk dan jarinya saling menekan. Ia merasakan gemuruh hebat di dada, tak tahu harus mengucapkan apa untuk kali pertama pertemuannya.
Apakah ayahnya marah? Ayahnya berhak marah karena Nicole tak sekali pun mengunjunginya selama ini. Nicole juga berhak marah.
Kebimbangan antara siapa yang berhak dan siapa yang lebih menderita ini justru membuat napas Nicole semakin tak tenang. Sampai akhirnya, seseorang keluar dari pintu hijau pudar dengan kepala yang menoleh ke sekeliling ruangan. Dia mematung di tempat ketika sorot matanya jatuh pada gadis SMA setengah pucat dan rambut cokelat tanggung tak terawat.
Nicole menegakkan punggung dan menahan napas. Jika dibandingkan delapan tahun lalu, ayahnya sekarang jaaaauuuh lebih mengenaskan. Tubuhnya ringkih, hilang bahu tegap dan otot lengannya. Kulitnya kusam dan kerutan di dahi yang tercetak lebih tua dari usia seharusnya. Bahunya turun dan tubuhnya agak bungkuk.
Nicole mengatupkan rahang melihat betapa menyedihkannya orang yang—sejujurnya—paling dia sayang.
"Neng Kol?" bisiknya di depan Nicole. Masih berdiri dan memastikan.
Bibir Nicole bergetar, kemudian dia mengangguk.
Mata ayahnya berkaca-kaca seketika. Dia tersenyum getir dan menempelkan tangan pada dinding pembatas itu. "Ayah kangen."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nicole Sullivan is A Weirdo [TAMAT]
Fiksi RemajaSatu SMA dibuat heboh ketika cewek tak dikenal, bernama Nicole, tiba-tiba menyatakan cinta pada cowok populer di sekolah. Mengherankannya, dia diterima. Semenjak itu, Nicole kerap menjadi buah bibir karena sering melakukan aksi udik untuk membuat pa...