Bab 18 - Kebakaran

6 1 0
                                    

Seminggu seusai melakukan rangkaian ibadah haji. Kini saatnya mereka bersiap meninggalkan kota Mekkah untuk berpulang ke tanah air.

Pagi itu, beberapa petugas datang untuk mulai mengangkut koper-koper para jamaah. Mereka dihimbau agar tidak membawa air zam-zam di dalam koper. Karena bila ternyata nanti ada satu saja yang terdeteksi membawa air zam-zam di koper, maka seluruh penumpang akan dibongkar ulang kopernya.

Ancaman yang sadis itu  menyurutkan nyali sebagian jamaah. Sehingga dengan rela mereka mengeluarkan air zam-zam yang sudah dikemas dalam jerigen 5 literan. Namun, ada juga yang masih nekat menyelipkannya.

Sebelum dimasukkan ke truk pengangkut, koper-koper itu ditimbang dulu. Dan yang melebihi beban akan dikenakan biaya lebih.

Rayan sudah selesai menyerahkan koper saat dia melihat tim medis sedang membereskan alat-alat mereka. Lelaki itu pun kemudian mendekat dan membantu mereka.

Suasana yang ramai dan riang menghiasi aktivitas mereka pagi itu.  Canda tawa memenuhi ruangan tempat mereka mengumpulkan koper.

"Sudah thawaf wada', Nak Rayan?" tanya Pak Mus.

"Belum Pak. Bukannya nanti kita berangkat sama-sama?"

"Boleh. Ada yang berangkat sesuai rombongan masing-masing. Tapi yang jelas, besok sebelum Dhuhur sudah harus kembali ke sini. Kita berangkat ke Jeddah sekitar jam sepuluh pagi."

"Ashiyaap."

"Mantaaaap."

Gelak tawa kembali meramaikan suasana. Mereka mengobrol tentang banyak hal. Saling menimpali satu dengan lainnya.

"Ray, kamu nanti kembali ke Jakarta?" Tiba-tiba Hana mendekati Rayan.

Lelaki itu sedikit terperanjat karena memang dia sedang memandangi ponselnya yang sedari tadi bergetar.

"Eh! Nggak Han. Aku sudah pindah ke Surabaya."

"Oh, ya?" Kilat mata Hana nampak berbinar, "Di mana?"

"Kemarin aku baru mengajukan izin praktek di Ciputra. Insya Allah di RS Nasional juga."

"Wah, keren."

"Alhamdulillah." Senyum Rayan mengembang sempurna. Sejenak terlupakan dia akan panggilan di ponselnya beberapa saat yang lalu.

"Ya, apalah diriku yang hanya mampu kerja praktek di RS Umum daerah."

"Jangan salah. Justru RS itu yang terbesar di Indonesia Timur, loh."

"Iya ... tapi ...."

"Ga ada tapi. Bersyukurlah, insyaAllah, Allah beri kemudahan dan keberkahan."

"Aamiin."

Rayan dan Hana terdiam.

"Eh, gimana pedekatenya?"

Rayan mengernyitkan kening. Dia menatap bingung pada Hana yang mengerlingkan mata, menggodanya.

"Pedekate apaan?"

"Halah! Sok-sok an."

"Hahaha. Beneran. Apaan?" Rayan menampakkan deretan gigi putihnya yang rapi.

"Tuh, Tiwi." Hana menunjuk pada Tiwi dengan dagunya.

"Kenapa dia?" Rayan berusaha berkelit meski dadanya berdebar.

"Ngeles teroooos." Hana mencibir, membuat Rayan tergelak. Gurauan mereka menarik perhatian Tiwi. Dia tertegun melihat keakraban Hana dan Rayan. Ada sedikit rasa tidak nyaman dalam hatinya.

Tiwi memalingkan pandangan. Mencoba mencari aktivitas lain. Dia melangkah meninggalkan ruangan, hendak ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Dia berencana melakukan shalat Dhuha di Musollah.

Namun, langkahnya terhenti saat mendengar obrolan beberapa jamaah di kamar yang ada di sebelah kamar mandi.

"Buat apa cobek itu kamu bawa pulang?" tanya seorang lelaki pada seorang wanita yang nampak masih mengemasi kopernya.

"Terus kalau tidak dibawa pulang, buat apa juga? Wong cobek kecil gini," jawabnya enteng.

"Biarin aja. Mungkin dia mau pakai cobek itu buat pajangan nantinya," sahut wanita lainnya yang disambut gelak tawa penghuni lainnya.

"Bukan, bukan. Buat pigura kali, ya?" sahut yang lain. Derai tawa kembali menguar.

Tiwi tersenyum mendengar hal itu.

Di tanah suci ini, mereka yang sebelumnya tak saling mengenal pun, bisa menjadi saudara.

"Eh, Mbak Dokter. Mau ke mana?" tanya seseorang mengagetkan Tiwi yang sedang melamun.

"Eh, ke kamar mandi. Apa njenengan juga mau ke kamar mandi?"

"Oh, ya, monggo. Mbak Dokter duluan saja. Ndak papa." Tiwi mengangguk dan bergegas masuk ke kamar mandi.

Seusai shalat Dhuha, Tiwi berniat kembali ke ruangannya. Tapi tiba-tiba ...

"Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran!"

Orang-orang berlarian menuju tangga. Ada yang turun, ada yang naik, ada yang sibuk menyeret kopernya, ada yang menjinjing tas besarnya, ada yang hanya mengangkat kain sarungnya tinggi-tinggi.

Beberapa jamaah perempuan saling berpelukan saat dengan tergesa menuruni tangga.

"Di mana sumbernya?" tanya beberapa bapak yang ikut panik, berlari ke atas. Sepertinya sumber kebakaran ada di lantai atas.

"Di lantai tiga Pak! Di kamar sebelah kanan!" teriak seorang ibu sambil menjinjing tasnya.

"Ada apa Pak?" tanya Tiwi ikut panik.

"Ada kebakaran di lantai atas," jawabnya sambil berlalu menuju tangga ke lantai atas.

"Pak! Pak! Ayo cepat turun! Jangan bergerombol di situ!"

"Sini! Sebelah sini!"

"Buk! Buk! Jangan lari! Hati-hati! Jangan terlalu panik!"

Sahut sahutan yang terjadi membuat suasana semakin kacau.

Tiwi berlari ke ruangannya. Sepi. Mungkin semua temannya sudah turun atau bahkan naik menuju lokasi kebakaran.

Saat Tiwi keluar ruangan, dia melihat Rayan dan Hana turun sambil tertawa bersama. Rasanya sungguh semakin tak nyaman. Tapi Tiwi mengabaikan hal itu. Dia mendekati keduanya.

"Gimana? Ada korban kah?"

"Korban?" tanya Hana bingung.

"Lah? Kebakaran ... ?" Tiwi ikut kebingungan.

"Oh, bukan. Ternyata hanya teko pemanas air yang kebakaran." Hana tertawa disambut juga tawa Rayan.

"Ada nenek-nenek masak air di teko pemanas air, eh, dia lupa. Sampai habis airnya. Ya, kebakaran, deh. Alhamdulillah sudah dicabut sama salah satu anggota kamar tadi. Tapi yang lain udah terlanjur panik dan berlarian. Yaa ... namanya juga orang tua."

Oooh ....

Jadi begitu. Tapi ...
Melihat senyum mereka berdua kenapa Tiwi jadi salah tingkah sendiri, ya?

Hajj Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang