Bab 13 ~ MUzdalifah

7 2 0
                                    

Sore hari seusai wukuf, para jamaah dipersiapkan untuk menuju bus-bus yang tersedia untuk berangkat mabit ke Muzdalifah. Suasana sedikit semrawut karena ada perdebatan antar pemilik KBIH yang menginginkan jamaahnya masuk dalam satu bus. Sementara kapasitas bus tidak begitu memadai untuk menampung banyak jamaah sekaligus.

Tim medis berangkat terlebih dahulu, sementara pak Mus sebagai ketua kloter menyusul setelah memastikan semua anggota kloter sudah terakomodasi dengan baik. 

Setelah hampir tiga jam kemudian, saat adzan Isya' berkumandang di Arafah, akhirnya semua jamaah haji kloter 21 telah berangkat ke Muzdalifah.

Sementara di tempat tujuan, suasana lebih crowded lagi. Karena tidak hanya satu kloter, tapi seluruh umat Islam di dunia berkumpul jadi satu. Dari yang kulit hitam sampai putih. Dari yang pendek hingga yang tinggi menjulang. 

"Han, kita istirahat sejenak di sini, kan?" tanya Tiwi seraya duduk di atas pasir tanpa alas.

"Ya. Sambil menunggu Pak Mus. Tadi beliau bilang, kita tidak perlu menunggu terlalu lama di sini. Segera menuju antrian bus menuju Mina. Begitu katanya," jelas Hana sambil membuka botol minum dan segera menenggak isinya.

"Ya Allah. Ternyata benar adanya, ya? Benar-benar nyata." Tiwi memandang sekeliling. Banyak orang merebahkan badan di atas pasir, baik beralas maupun tidak. Banyak pula yang mengorek-ngorek pasir demi mengumpulkan batu kerikil untuk melempar Jumrah nanti di Mina.

"Pak, apakah batu yang kita pakai untuk melempar Jumrah nanti itu harus diambil di Muzdalifah?" tanya seseorang pada Pak Mus saat di penginapan, di Mekkah beberapa hari sebelumnya.

"Tidak harus Pak. Memang lebih afdholnya batu itu diambil di Muzdalifah, tapi kalau mau bawa dari sini juga boleh. Kan, sama-sama batunya toh? Lagian batu-batu yang ada di Muzdalifah juga ada yang berasal dari sini juga. Coba bayangkan kalau setiap tahun, batu-batu di Muzdalifah diambil oleh milliaran orang, tapi tidak di'refill'. Habis itu batu di sana. Hahaha," canda Pak Mus membuat suasana lebih ceria.

"Apanya yang nyata?" tanya Hana saat melihat Tiwi tersenyum dengan pandangan takjub ke sekelilingnya.

"Nyata bahwa ibadah haji itu memang ibadah fisik. Bagaimana tidak? Untuk menjalani semua ini dibutuhkan kekuatan fisik yang luar biasa. Ya Allah, mudahkanlah orang-orang ini menyelesaikan ibadah hajinya sehingga menjadi haji yang mabrur."

"Aamiin." Hana dan Tiwi melempar senyum dalam keharuan yang semakin dalam.

"Kamu nggak perlu ke toilet?" tanya Hana pada Tiwi.

"Belum. Kamu mau ke toilet?"

"Yuk, Mbak dok. Kita bareng." Agus berdiri bersiap menuju ke toilet.

"Nanti tungguin, ya? Jangan ditinggal."

"Siap."

Agus dan Hana beranjak meninggalkan rombongan menuju toilet. Tidak jauh tapi antriannya sungguh menakjubkan.

"Assalamualaikum," sapa Rayan saat mendekati rombongan tim medis.

"Waalaikumsalam."

"Kok cuma bertiga?"

"Anu, Mas. Mbak dok Hana sama Agus ke toilet," jawab Hendra, salah satu perawat. Rayan menganggukkan kepala.

"Tiwi?"

"Ya. Saya. Eh!" Tiwi menutup mulut karena malu sudah keceplosan menjawab seperti saat dosen memanggilnya. Rayan kembali tersenyum memandangnya.

"Ehem ehem!"

"Uhuk! Uhuk! Ndro, kita menyingkir dulu apa ya?" gurau Noval, perawat yang lain.

"Kenapa?" tanya Hendra bingung.

"Ya elah. Lemot amat!" Noval menabok pelan kepala Hendra sambil menunjuk Tiwi dan Rayan.

"Oh, oh, oh. Baiklah." Noval dan Hendra pun beranjak sedikit menjauh. Tiwi mengernyitkan kening melihat tingkah kedua perawat tersebut. Tapi, dia tak mempermasalahkannya, karena saat ini sedang sibuk dengan ketakjubannya.

Suasana Muzdalifah yang luar biasa.

"MasyaAllah, kan?" Tiwi memandang Rayan sambil tersenyum. Lelaki itu membalas senyum Tiwi, lalu ikut mengedarkan pandangan.

Allahu Akbar. Takbir dan tahmid tak henti mereka lantunkan.

Tak lama, Hana dan Agus pun kembali bergabung dengan rombongan.

Harusnya mereka menginap di Muzdalifah, namun karena banyaknya jamaah yang harus diangkut ke Mina, maka antrian masuk bus ke Mina mulai mengular bahkan sebelum tengah malam. Entah kenapa di sini para jamaah harus berdesak-desakkan hanya agar bisa segera sampai di Mina. Bahkan tak sedikit rombongan yang terpencar-pencar. Tidak mengapa bila orangnya masih kuat. Yang kasihan justru orang-orang yang sudah renta. Untuk berjalan biasa saja mereka sudah kesulitan. Apalagi ditambah barang bawaan tas besar dan berdesak-desakkan pula. Masya Allah.

Hana dan Tiwi miris melihat hal itu, tapi mereka juga tak bisa berbuat apa-apa. Mereka sendiri harus menjaga kondisi tubuh agar bisa melayani para jamaah haji yang tengah berjuang tersebut. Hanya doa dan airmata yang mengiringi langkah mereka menjalani semua ini. Ya Allah, mabrurkan haji mereka.

Setelah hampir satu jam berjuang untuk bisa masuk ke bus menuju Mina, akhirnya mereka sampai bahkan sebelum adzan Subuh berkumandang.

"Han, kita di tenda mana?" tanya Tiwi seusai tiba di depan pintu masuk kelompok tenda Indonesia kloter 21. 

"Sebentar. Aku hubungi Pak Mus," jawab Hana sambil mengambil ponselnya.

Tiwi mengedarkan pandangan ke sekeliling yang meski masih gelap namun tetap ramai. Tak seperti bayangannya, Mina adalah tempat menginap yang jauh dari kesan nyaman. Tenda yang saling berhimpitan. Jalan yang becek. Sampah bertebaran di mana-mana.

Huft!

Welcome to Mina

Hajj Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang