Hari ini pun tiba. Seluruh jamaah haji kloter 21 embarkasi Surabaya sudah bersiap di depan hotel. Memakai baju ihrom dan menenteng tas yang akan dibawa ke Mekkah.
Bus-bus yang sudah terparkir sejak subuh, mulai dimasuki para jamaah. Sekitar pukul 07:00 bus mulai berangkat menuju Bir Ali, untuk mengambil miqot umroh.
Pratiwi duduk bersebelahan dengan Hana. Matanya tak lepas memandang masjid Nabawi yang semakin lama semakin mengecil.
Ya Nabi salam alaika. Ya Rasulullah. Betapa kotamu ini sangat damai. Membuat enggan kami meninggalkannya. Ya Allah, ijinkan aku kembali lagi ke sini. Ke kota Madinah. Doa Tiwi dalam hati.
Isak tangisnya berubah menjadi airbah saat ketua kloter mulai mengumandangkan talbiyah.
'Labbaik allahumma labbaik.'
'Labbaikalaa syarika laka labbaik.'
'Innal hamdah wan ni'mata laka walmulk.'
'Laa syariikalak.'
'Ya Allah, kami memenuhi dan akan melaksanakan perintah-Mu ya Allah.'
'Tiada sekutu bagi-Mu dan kami insya Allah memenuhi panggilan-Mu.'
'Sesungguhnya segala pujian, nikmat dan begitu juga kerajaan adalah milik-Mu dan tidak ada sekutu bagi-Mu.'
Dadanya sesak akan rindu yang mulai terajut. Rindu Rasulullah, rindu suasana religi yang kental di kota Nabi, Madinah.
*****
"Baiklah para jamaah. Kita akan masuk ke Masjid Bir Ali. Silahkan mengambil wudhu bagi yang sudah batal. Lalu salat dua rakaat. Setelah salat kita akan mengucapkan niat berumroh."
"Setelah sudah terucap niat umroh, maka bagi wanita, tidak boleh lagi nampak auratnya. Kalau mau ke kamar mandi boleh, tapi kaos kaki dan penutup tangan dilepas di dalam tempat yang tidak terlihat laki-laki non muhrim."
Para jamaah terlihat khusyuk mendengarkan penjelasan dari Pak Muslimin. Begitu juga dengan dua dokter cantik yang saat ini berdiri di depan.
Satu jam kemudian, mereka sudah kembali ke dalam bus masing-masing dan siap melanjutkan perjalanan menuju kota Makkah Al-Mukarromah. Seruan talbiyah memenuhi ruang dalam bus itu, menambah haru dalam dada.
"Halal, halal, halal."
Seseorang masuk ke dalam bus dan memberikan sebotol air mineral dan kurma dalam kemasan kecil kepada masing-masing jamaah ketika mereka tengah berhenti di pintu masuk kota Makkah.
Di sini, petugas akan memeriksa kelengkapan dokumen jamaah Haji. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi masuknya calon jamaah haji ilegal.
Menjelang Ashar, mereka sudah memasuki kota Makkah. Capek dan penat menyerang sebagian besar jamaah yang memang sudah lanjut usia.
"Belum sampai ya, Pak?" Tanya Tiwi pada Pak Muslimin seraya meregangkan tubuhnya. Rasanya bus ini sudah beberapa kali keluar masuk semacam kampung. Saat berhenti, dia pikir sudah sampai. Eh, ternyata sang sopir bertanya pada seseorang. Entah apa yang mereka bicarakan, karena mereka menggunakan bahasa Arab. Ya iyalah, saat ini kan mereka ada di Makkah. Pasti pakai bahasa Arab.
"Alhamdulillah, akhirnya!" seru Pak Muslimin. Mereka berhenti di sebuah bangunan berlantai 5.
"Ayo, turun dulu. Kita taruh barang, bersih-bersih, istirahat sebentar, lalu kita menuju Masjidil Haram untuk menunaikan ibadah Umroh."
Mereka pun mulai turun. Sepertinya pembagian ruang kamar agak kacau. Tiwi melihat ada sedikit keributan di grup KBIH tertentu. Namun, kesahajaan Pak Muslimin berhasil meredakan konflik yang ada. Sehingga kami pun bisa segera memasuki ruangan untuk beristirahat sejenak.
"Mari silahkan masuk."
Tiba-tiba datang seorang lelaki tinggi kekar memakai gamis abu-abu. Dilihat perawakannya seperti keturuan Arab, tapi kenapa dia berbahasa Indonesia.
"Ini rumah ada 5 lantai. Kamar-kamar ada di lantai 2, 3 dan 4." Jelasnya pada kami sambil berkeliling memasuki kamar-kamar yang ada.
"Tempat jemur baju dimana, Bah?" Sela seseorang.
"Jemur baju? Ada di lantai 5. Di sana tempatnya Masya Allah luasnya." Jawabnya kemudian. "Selain tangga, kami juga menyediakan lift. Jadi kalian tidak capek naik turun," lanjutnya dalam bahasa Indonesia yang fasih.
Ah. Tiwi terlalu capek untuk mengikuti tur singkat itu. Sehingga dia memutuskan untuk masuk kamar dan merebahkan badan sejenak.
"Tiwi," panggil Hana, "Malah tidur. Ayo bersiap, kita mau berangkat ke Masjidil Haram."
"Masya Allah. Iya, iya. Tunggu sebentar," jawab Tiwi bergegas menyiapkan diri untuk menuju Masjid.
Setelah berwudhu, Tiwi terlihat lebih segar.
"Alhamdulillah. Cantik dan seger bener dokter kita," goda Pak Muslimin.
"Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah," jawab Tiwi santun.
"Duile ... Udah cantik, shalihah lagi. Sayang, anak bujangku baru disunat," kata Pak Muslimin terus menggoda Tiwi.
"Duh, Pak Mus. Butuh pupuk banyak tuh, biar cepet gedhe," sahut Herman, salah satu perawat dalam tim kesehatan itu menanggapi godaan Pak Mus pada dokter Tiwi.
"Ga cuma pupuk Her, air dan sinar matahari juga penting," sahut Agus, perawat yang lainnya.
"Hush! Ngomong apa sih kalian," tegur Pak Mus, "ayo berangkat," kata Pak Mus sambil manyun. Mereka tertawa melihat reaksi Pak Muslimin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hajj Love Story
RomanceBismillah. Cerita ini fiksi, mohon maaf bila saya menggunakan profesi dokter di sini. Mohon info juga bila ada yang kurang tepat dalam penggunaan kata dalam cerita ini. Setting waktu cerita terjadi di tahun 2008. Real kondisi, tapi cerita romance-n...