Rayan memasuki tenda dengan perasaan tenang. Rupanya segelas kopi tadi mampu membuat pikirannya terang dan siap melanjutkan aktivitasnya. Rencananya sore ini dia mau mengunjungi salah satu temannya yang juga berangkat haji tahun ini di maktab lain.
Tadi dia sudah mengambil air wudhu dan bersiap untuk shalat Duhur ketika telinganya menangkap kegaduhan di dalam tenda.
"Kenapa? Ada apa?" Rayan melihat ibu-ibu yang kehilangan suaminya menangis kencang sembari memeluk seorang lelaki.
"Suaminya sudah kembali. Alhamdulillah," jawab Agus pelan. Matanya juga nampak berkaca-kaca.
"Alhamdulillah." Rayan ikut tersenyum bahagia melihat mereka. Betapa Allah telah lembutkan hati hingga rasa persaudaraan di antara mereka begitu kental meski tak saling kenal.
"Masya Allah. Tabarakallah." Terdengar suara gadis manis berjaket putih di antara mereka. Tiwi dan Hana berangkulan dengan sesekali nampak menyeka sudut mata yang berair.
"Sungguh Allah memang Maha Kuasa atas segala sesuatu." Mereka terhenyak dengan suara lelaki sepuh yang masih dipeluk istrinya itu. Dia melepas pelukan istrinya lalu mendekati lelaki sepuh lainnya.
"Abah, ngapunten ingkang katha. Kula sampun durhaka dateng panjenengan." Terdengar isak dari sela-sela ucapannya.
"Nggeh Pak. Mboten nopo-nopo. Sampun kulo sepunten." Lelaki itu menjawab dengan jumawa.
Lelaki itu adalah mursyid (guru)-nya. Mereka satu kelompok bersembilan orang. Tiga perempuan dan enam lelaki. Tiga pasang suami istri, dan tiga lelaki yang salah satunya adalah guru mereka. Dua pasang suami istri yang masih muda dan sepasang suami istri yang sudah matang. Ya, sekitar usia 40 atau 50 tahunan.
"Bagaimana Pak? Bapak ke mana saja? Kami kemarin menunggu Bapak hingga hampir tengah malam di Mekkah." Terdengar salah satu teman mereka berbicara.
"Jadi kemarin itu aku sama Nak Wily. Aku thawaf di lantai dua. Lalu terbersit dalam benakku. Betapa perjalanan ini sangat berat. Dan terasa semakin berat karena aku." Bapak itu memulai ceritanya.
"Aku berpikir, Abah pasti kesulitan karena aku. Seandainya saja aku nggak ikut, pasti semua akan baik-baik saja. Pasti perjalanan ini tidak akan seberat itu. Abah pasti capek nungguin aku yang sering berhenti karena lelah."
Sang Bapak nampak menerawang dengan mata berkaca, "Aku berpikir, apa aku memisahkan diri saja, supaya tidak merepotkan rombongan ini."
"Lalu, tanpa sadar pegangan tanganku di pundak nak Wily pun terlepas. Aku terseret arus yang aku sendiri tak menyadarinya. Tiba-tiba saja aku tak mengenali satu pun orang di sekelilingku." Dia menghela napas panjang.
"Aku terus berjalan, bagai tanpa henti. Aku bahkan menangis, memohon ampun pada Allah, memohon ampun pada abah yang saat itu berhasil aku hubungi."
"Tapi, meski abah telah memafkanku, rupanya Allah masih ingin mengujiku. Rasa lelah di tubuhku tak membuatku berhenti berjalan agar bertemu dengan kalian."
"Hingga akhirnya aku menyerah dan menuju seseorang yang berwajah Indonesia. Beliau mengantarku hingga ke petugas Indonesia yang akhirnya aku bisa kembali ke sini."
"Alhamdulillah!" teriak istrinya seraya kembali memeluk lelaki itu. Rasa haru kembali menyelimuti penghuni tenda.
Mereka yang serombongan pun ikut menangis terharu.
Lelaki itu beranjak menuju seorang lelaki lain yang dari tadi dia panggil 'abah'.
"Abah. Ngapunten ... ngapunten ... ngapunten."
Lelaki itu menunduk menciumi tangan 'abah' tersebut. Sementara sang 'abah' tersenyum sambil menepuk lembut bahu lelaki itu.
"Sudah, ndak papa. Sudah aku maafkan," jawab sang abah jumawa.
Rayan menengok sekeliling. Hampir sebagian besar orang tersenyum lega melihat drama di depan mereka. Tak lama kemudian, celoteh riang kembali menghiasi tenda yang mulai terasa panas karena sengatan matahari di Mina.
Seusai mendengar kumandang azan Dhuhur, Rayan pun mendirikan shalat berjamaah dengan yang lain. Teriknya suasana tak bisa menutup rasa dingin dan bahagia dalam dada setiap insan yang ruku' dan sujud di bawah-bawah tenda. Bahagia karena karunia Allah yang luar biasa pada mereka yang mampu berdiri di tanah Mina saat ini.
Seusai shalat Dhuhur, sebagian orang mulai mengantri makan siang yang disediakan secara prasmanan. Barisan panjang mengular di depan tenda masing-masing.
Rayan masih sibuk dengan mushaf di tangannya saat Tiwi dan Hana masuk ke tenda. Mereka bergegas merapikan alat-alat yang tadi mereka bawa berkeliling.
"Sholat dulu atau makan dulu, Wi?" tanya Hana seraya mengambil peralatan mandi. Dia selalu membawa itu meski hanya saat berwudhu.
"Sholat aja dulu, antriannya masih panjang," jawab Tiwi pelan. Nampak kelelahan terdengar dari nada suara itu.
"Biar aku ambilkan makanan buat kalian nanti. Sholat aja dulu," sahut Rayan.
Hana dan Tiwi menoleh cepat. Mereka saling berpandangan, dan tiba-tiba saja Hana tersenyum sembari menatap Tiwi penuh arti.
"Cie cie ... perhatian amat," goda Hana.
"Iya, perhatian amat. Lagi dapet, ya?" goda balik Tiwi.
Mereka tertawa bersama dalam lemparan canda singkat itu. Rayan hanya tersenyum melihat mereka berdua. Meski kadang dadanya tetap berdebar saat menatap wajah Tiwi.
Ah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hajj Love Story
RomanceBismillah. Cerita ini fiksi, mohon maaf bila saya menggunakan profesi dokter di sini. Mohon info juga bila ada yang kurang tepat dalam penggunaan kata dalam cerita ini. Setting waktu cerita terjadi di tahun 2008. Real kondisi, tapi cerita romance-n...