Bab 4 ~ Nenek

17 2 0
                                    

Madinah sangat indah. Kota yang tenang, damai, rapi dan megah. Gedung-gedung pertokoan berderet di sepanjang jalan menuju Masjid Nabawi. Namun, tak sedikit juga yang menggelar dagangannya di halaman masjid, sesaat sebelum dan sesudah sholat dilakukan.

Meski para Lasykar (sebutan untuk Polisi) sering melakukan razia pedagang liar, akan tetapi tak memudarkan semangat mereka untuk menjemput rejeki.

Lihat saja, mereka dengan lantang berteriak menawarkan barangnya. Bersahut-sahutan satu dengan lainnya.

"Murah, murah, murah... Sepuluh real saja, mari... mari..."

Iya, mereka memang berwajah Arab, India atau Pakistan, tapi mereka sangat fasih berbahasa Indonesia. Karena 80% pembeli mereka adalah orang Indonesia. Mereka bahkan menerima uang Rupiah.

Pagi ini, selepas salat Subuh di Masjid, Tiwi melangkah sendiri menyusuri makam Baqi'. Makam yang juga dikenal dengan sebutan Jannatul Baqi' yang artinya Taman Surga. Lebih dari 10,000 jenazah dikuburkan di tempat ini, termasuk istri-istri, sahabat, cucu dan cicit Nabi Muhammad SAW.

Tiwi berjalan pelan sambil menikmati pagi keduanya di kota Madinah sebelum memulai tugasnya. Rasanya menyenangkan merasakan hangat sinar matahari di sela-sela dingin udara sisa semalam. Tak henti bibirnya berucap Takbir, Tahmid dan Tasbih. Maha suci Allah yang telah memberi dia kesempatan menginjakkan kaki di tanah suci ini.

"Tolong! Tolong!" Terdengar suara teriakan seorang nenek di belakangnya. Sontak dia memutar badan dan mencari suara itu.

Seorang nenek tengah terduduk di tengah jalan sambil tergugu, bibirnya berteriak-teriak meminta tolong. Dia memegang kakinya yang berdarah. Matanya menatap nyalang setiap orang yang lewat, berharap ada yang bersedia menolong.

Tiwi bergegas mendekat. Namun saat dia hendak berjongkok, tiba-tiba seorang pemuda dengan sigap mengangkat tubuh ringkih nenek itu dan dibawanya ke trotoar. Diperiksanya kaki si nenek, kemudian dengan sigap disiramnya luka itu dengan air yang dibawa.

Sesaat, Tiwi terpaku melihat serangkaian kejadian yang sangat cepat berlalu itu. Semacam iklan yang lewat kemudian dia skip.

"Mbak, jangan berdiri di situ. Bahaya!" teriak pemuda itu padanya. Tiwi segera tersadar, lalu mendekati nenek itu.

"Nenek, gimana keadaannya?" tanya Tiwi. Tangannya ikut bergerak memeriksa kondisi kaki si nenek.

"Sudah baikan, Nduk... terima kasih. Tadi nenek tersandung batu itu." Tangannya menunjuk sebuah batu agak besar di tepi jalan.

"Sepertinya, akan sedikit memar. Ada benturan di betisnya, luka sobeknya sih tidak seberapa." Pemuda itu menjelaskan ulang. Matanya menatap Tiwi tajam.

"Beliau rombonganmu?" tanyanya pada Tiwi.

"Sepertinya bukan. Aku dokter kloter 21 embarkasi Surabaya," kata Tiwi.

"Oh,ya. Kalau gitu kita satu kloter dong," katanya sambil tersenyum. Sebuah lesung pipit tercetak di pipinya.

Hati Tiwi berdesir pelan. Sejenak terpana dengan pemandangan di depannya. Tanpa sadar Tiwi pun balas tersenyum.

"Aku Rayan," dia menyebut nama tanpa mengulurkan tangan. "Kamu?"

"Pratiwi, panggil saja Tiwi." Sahut Tiwi sambil  menangkupkan tangan di dada.

"Alhamdulillah, kloter kita ada dokter cantik dan baik seperti anda," ucapnya tulus.

"Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah," balas Tiwi pelan, meski tak urung pipinya merona.

Seolah teringat ada nenek yang sedang menunggu penanganan, Tiwi lalu duduk sejajar dengan nenek itu.

"Nenek, saya antar ke pos medis terdekat ya, nanti biar diantar petugas ke penginapan. Nenek, bisa jalan? Mari saya bantu." Tiwi membantu nenek itu berdiri dengan hati-hati.

"Iya Nduk, bisa." Dia bergelayut di lengan Tiwi, mengikuti langkah Tiwi.

Tiba-tiba Tiwi menghentikan langkah dan menoleh ke arah pemuda itu. "Eh, Mas ... saya duluan, ya."

Rayan mengangguk pelan sambil tersenyum. Lesung itu muncul lagi. Kembali ada yang berdetak lebih cepat di dada Tiwi.

Rayan.

*****

"Wi, kamu dari mana aja, sih?" tanya Hana saat dilihatnya Tiwi masuk kamar mereka yang juga dijadikan pos medis kloter.

"Tadi ada nenek-nenek terjatuh di jalan. Sepertinya tertinggal rombongannya. Aku antar dia dulu ke pos medis," jawabnya cepat.

Tiwi mengambil box makanan di atas meja. Selama di Madinah, jamaah haji masih mendapat jatah makanan yang disediakan dalam kemasan kotakan. Sedangkan nanti saat di Mekkah, tidak ada jatah makanan lagi. Mereka harus memasak sendiri, atau membeli dari para 'mukimin' (sebutan untuk penduduk Indonesia yang tinggal di Mekkah) yang banyak berjualan di sekitar penginapan.

"Parah nggak?" tanya Hana lagi.

"Nggak, cuma memar dan sobek sedikit. Sudah aku kasih obat tadi di pos medis."

Mereka melanjutkan makan dengan tenang. Setelah makan mereka harus keliling, untuk cek kondisi kesehatan para jamaah haji, terutama yang sudah sepuh (tua).

Tiwi membersihkan sampah dan sisa-sisa makanan, lalu membuangnya ke tempat sampah. Saat dia keluar kamar, tanpa sengaja ujung matanya menangkap sosok pemuda yang tadi ditemuinya. Dia sedang berbincang dengan seseorang di depan lift.

Tawanya tertangkap netra Tiwi. Sejenak kembali dia terpana. Lesung pipit itu, aahh...

Hajj Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang