"Dokter Pratiwi Kartika Sari."
Sebuah suara mengagetkan Tiwi yang sedang membaca lembar persiapan keberangkatan tim medis haji indonesia. Kepalanya mendongak mencari tahu pemilik suara itu.
"Hana?" Senyum manis mengembang dari bibir Tiwi.
"Hahaha ... Masih ingat juga," jawab Hana, panggilan dokter Raihana Syifa Ramadhani.
"Masya Allah, ya ingatlah. Cantik kayak gini, gak mungkin dilupakan," sahut Tiwi sambil tertawa memamerkan giginya yang putih.
"Eh, ngapain disini Han?"
"Ini," jawab Hana dengan mengangkat ID card-nya.
"Subhanallah. Kamu juga ikut mendaftar TKHI?"
"He em," ujar Hana riang.
"Dan ini?" tanya Tiwi menggantung. Dia menunjuk lagi kertas yang masih dipegang Hana.
"Iya, jadi kita ini satu tim. Kita bertugas di kloter 21 embarkasi Surabaya," jelas Hana dengan mata berbinar.
"Allahu Akbar. Alhamdulillah. Seneng banget satu tim sama kamu." Tiwi memeluk Hana saking senangnya. Mereka tertawa bersama.
Tak lama kemudian, mereka sudah asyik dengan berbagai persiapan yang akan mereka bawa ke tempat tugas. Selain perlengkapan medis dan obat-obatan, mereka juga membicarakan apa saja yang perlu dibawa.
Dua jam kemudian, Hana berpamitan pada Tiwi untuk pulang duluan.
Tiwi pun melangkah keluar. Dia juga berencana membeli perlengkapan ihram, kerudung, dan mukena baru.
Tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Dina calling.
"Assalamualaikum, iya Din... "
"Waalaikumsalam. Jadi belanja Wi? Sama siapa?" sahut Dina dari seberang.
"Sendiri nih... Mau nemenin ndak?"
"Oke, tunggu disitu. Aku meluncur ke tempatmu."
Setelah menutup panggilan telepon itu, Tiwi melangkah masuk ke kafe yang ada di dekatnya. Menunggu kedatangan Dina.
Tak lama kemudian, dari kejauhan terlihat Dina datang bersama seseorang. Tiwi mengernyitkan mata. Dokter Paulus? Kenapa dia ikut?
"Hai Tiwi," sapa dokter Paulus.
"Pagi dokter," jawab Tiwi sambil tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Ada perlu di sekitar sini dok?" tanya Tiwi canggung.
"Iya nih, mau nganter Dina. Katanya butuh sopir buat shopping," jawab beliau, deretan giginya terlihat rapi saat dia tertawa. Tiwi hanya tersenyum mendengarnya.
"Ish, dokter bisa aja. Emang tadi siapa yang nawarin duluan," elak Dina.
"Ya udah, yuk berangkat. Keburu siang. Aku masih harus ke Dinkes untuk mempersiapkan alat-alat yang dibawa juga," kata Tiwi meraih tas ranselnya lalu melangkah mendahului mereka.
Sepanjang perjalanan, Dina dan dokter Paulus berbincang ringan. Sedangkan Tiwi lebih banyak membaca buku panduan TKHI. Dia tidak ingin terlewat satu informasi pun.
Tanpa sadar, Tiwi terlelap dengan buku di tangannya. Dia terlalu lelah dengan persiapan yang sangat mendadak ini.
"Wi, bangun ... udah nyampe nih."
Dina menggoyang bahu Tiwi pelan.
Dengan enggan Tiwi membuka mata dan mengerjap perlahan."Astaghfirullah ... maaf, aku ketiduran, ya."
"It's ok lah ... yuk," kata Dina lalu menggandeng tangan Tiwi, melangkah memasuki mall dan masuk ke sebuah gerai yang menyediakan perlengkapan Haji dan Umroh.
Saking asyiknya mereka belanja, tanpa disadari dokter Paulus tidak ada diantara mereka. Sepertinya mereka lupa sudah mengajak dokter Paulus, bahkan hingga mereka selesai membayar dan keluar dari toko tersebut, mereka belum menyadarinya. Hingga tak lama kemudian, Dina menghentikan langkah dan berbalik.
"Dokter Paulus Wi... "
"Astaghfirullah!" seru Tiwi menepuk jidatnya.
Dina mengambil telepon genggamnya dan menekan tombol dial.
"Dokter, maaf ... di mana dok?"
".... "
"Oh, oke oke. Kami segera ke situ."
Dina menutup sambungan.
"Starbucks."
Kami pun melangkah menuju cafe yang ada di lantai atas.
"Dina!!" Dokter Paulus melambai ke arah mereka. Dengan langkah tergesa dua gadis itu pun mendekat.
"Maaf dok, kami terlalu asyik belanja, sampai lupa kalau kami kesini bersama dokter."
"Hahaha... Santai saja. Makan dulu?" tawar dr Paulus.
"Tidak usah dok, terima kasih. Kalau bisa kita langsung saja. Saya masih ada perlu ke Dinkes."
"Oke." Dokter Paulus berdiri dan mengikuti langkah mereka.
"Eh, maaf ya Wi. Kayaknya aku ga bisa nganter kamu ke Dinkes. Aku ada janji ama dokter Yoga tadi." Dina melihat Casio di tangannya.
"Ga pa-pa Din. Aku bisa ke sana sendiri kok."
"Aku antar Wi," sahut dokter Paulus.
"Eh, ndak usah dok. Jadi merepotkan," tolak Tiwi halus.
"Halah, kamu itu selalu begitu. Kebetulan aku ada perlu ke Dinkes juga. Mau ketemu dokter William."
Tiwi ragu. Apa ia terima saja ya. Itung-itung ngirit biaya. Tapi itu artinya dia hanya akan berduaan saja dengan dokter Paulus. Dia takut timbul fitnah nantinya. Apalagi kalau ketahuan dokter Sinta yang naksir berat pada lelaki itu. Bisa-bisa Tiwi digantung.
"Iya Wi, bareng saja. Aku jadi lebih tenang melepasmu pergi." Dina ikut mendukung
"Halah! Lebay!" Tiwi memukul bahu Dina sambil tertawa.
"Baiklah. Terima kasih dok."
Dokter Paulus hanya tersenyum. Sekilas Tiwi menatap matanya. Ada sinar bahagia di sana. Benarkah? Atau hanya perasaan Tiwi saja?
Ada apa sebenarnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hajj Love Story
RomanceBismillah. Cerita ini fiksi, mohon maaf bila saya menggunakan profesi dokter di sini. Mohon info juga bila ada yang kurang tepat dalam penggunaan kata dalam cerita ini. Setting waktu cerita terjadi di tahun 2008. Real kondisi, tapi cerita romance-n...