"Dokter Tiwi kenapa?" tanya pemuda itu tanpa rasa bersalah, "Marah?"
"Marah?" Tiwi mengernyitkan kening, "Marah kenapa?"
"Oh, nggak, ya?" jawab Rayan sambil tersenyum.
"Sebentar. Ini ada masalah apa sebenarnya?" tanya Tiwi penasaran.
"Tidak. Saya kira dokter marah karena saya terlalu asyik berbincang dengan Hana, mengabaikan keberadaan dokter di antara kami."
"Astaghfirullah, Ya Allah." Tiwi tergelak mendengar kata-kata Rayan, "Nggak Ray. Tenang aja."
"Alhamdulillah kalau gitu," ucap Rayan dengan senyum lesung pipitnya yang semakin membuat Tiwi terpesona.
"Tapi, Ndak usah panggil Mbak atau dokter, lah. Panggil Tiwi aja," pinta Tiwi seraya tersenyum manis.
"Oh, baiklah, Tiwi. Kalau gitu, aku pamit dulu, ya?" Rayan berdiri diikuti Tiwi. Dia mengantar Rayan hingga ke depan pintu.
"Loh, gitu doang?"
"Iya. Entah kenapa saya takut kamu salah paham dengan situasi kemarin."
"Masya Allah. Tidak perlu begitu Ray. Kita semua kawan. Saya meninggalkan kalian bukan karena marah tidak dilibatkan, hanya saja, saya merasa kalau waktu itu bisa saya gunakan untuk melakukan hal lain yang belum tentu bisa saya lakukan setiap saat."
"Alhamdulillah. Saya juga akan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Terima kasih atas waktunya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
🌺🌺🌺🌺🌺
“antara rumahku dan mimbarku adalah taman (raudhah) dari taman-taman surga” (HR. At-Tirmidzi)
Barangsiapa yang shalat di sana (Raudhah), seakan-akan ia telah duduk di taman dari taman-taman surga. Sehingga menjadikan shalat yang dilakukan di sana berpahala banyak.
Tempat tersebut tidak terlalu besar, sekitar 10mx10m khusus untuk tempat wanita. Karena di Masjid Nabawi tempat wanita dan laki-laki dipisah. Seluruh permadani di dalam masjid berwarna merah, kecuali di Raudhah, maka bila kau berdiri diatas karpet hijau, maka kau berada di taman surga. Salatlah, berdoalah, menangislah, mohon segala-galanya pada-Nya. Itulah kesempatan yang sangat berharga.
Diatas sajadah hijau itu Tiwi melekatkan keningnya. Berbisik halus kepada bumi tempatnya berpijak. Memohon dalam khusyuk salatnya. Menangis dalam haru jiwanya.
Dia sadar, keberadaannya di Raudhah saat ini adalah karena Ridha dan cinta-Nya, doa ibu, ayah dan adiknya. Maka nikmat Tuhan yang mana yang hendak dia dustakan.
Hampir setengah jam dia bertahan di Raudhah. Di tengah desakan ribuan para jamaah yang juga menginginkan kemuliaan tempat ini. Entah sudah berapa rakaat salat yang dia dirikan, membuat petugas enggan mengusirnya keluar.
Di sana, dipanjangkan sujudnya. Dia haturkan segala syukur dan serahkan segala resah. Dia panjatkan segala cita-cita. Hanya dalam doa yang panjang itu, seolah dia ingin mengosongkan diri untuk diisi dengan lembaran yang baru.
*****
"Tiwi!" Hana berteriak saat melihat Tiwi keluar dari pintu Masjid Nabawi.
"Kenapa Han?" tanyanya pelan.
"Kami mencarimu dari tadi. Kemana saja kamu?"
"Raudhah."
"Segitu lamanya?"
"He em," jawabnya sambil tersenyum. "Kenapa?"
"Banyak pasien menunggu. Tapi Alhamdulillah, tadi ada dokter Rayan yang membantu," kata Hana antusias.
"Oh," jawab Tiwi pelan. "Kamu dari mana?"
"Dari depan Masjid sana. Bermain dengan burung merpati yang banyak di sana." Hana menunjuk halaman depan masjid yang terdapat banyak merpati bergerombol.
Beberapa penjual makanan burung ada di sekitar tempat itu. Seolah merayu orang-orang yang lewat untuk sekedar bercanda dengan merpati yang ada di sana.
Tiwi menghentikan langkah, lalu mengernyitkan kening, matanya melirik Hana. Hana melihatnya sambil mengangkat bahu. Tiwi pun menarik Hana untuk kembali menikmati saat-saat istirahat mereka dengan bermain bersama merpati.
Mereka tertawa, berlompatan, dan berkejaran, seperti anak-anak yang sedang bermain di taman bermain, dan melupakan profesi mereka sebagai dokter.
Sepasang mata melihat aktivitas mereka dari kejauhan dan tertawa sendiri. Lelaki itu sedang menikmati wajah ceria dua gadis yang seakan ingin menularkan kebahagiaan mereka pada semesta.
"Sudah ke Raudhah, Nak?" Kata seorang kakek yang tiba-tiba duduk di sebelah Rayan.
"Sudah, Kek," jawab Rayan seraya menggeser duduknya, memberi tempat pada kakek itu.
"Alhamdulillah. Saya bersyukur sekali bisa sampai di sini. Puluhan tahun menabung, setiap hari harus ada yang disisihkan. Entah seribu atau sepuluh ribu. Uang itu kakek masukkan ke kaleng bekas, tidak pernah dihitung dan tidak dibuka. Subhanallah, ketika mendaftar haji, uangnya tercukupi." Ceritanya panjang lebar. Rayan mendengarkan dengan rasa takjub.
"Masya Allah. Maha Suci Allah ya Kek," kata Rayan disambut anggukan bahagia sang kakek.
"Besok masih ada kesempatan ke Raudhah lagi. Sebelum Subuh, kakek mau berpamitan, memohon kemudahan dan kelancaran menunaikan ibadah Umroh dan Haji nanti," kata Kakek itu pada dengan mata berbinar. Rayan mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum.
*****
"Dokter, kayak anak kecil, deh. Lari-lari ngejar burung merpati," kata pak Muslimin.
"Yah, ketahuan kita Wi," kata Hana sambil terkekeh.
"Sekali-sekali Pak. Melepas ketegangan dalam otak dan melancarkan aliran darah." sahut Tiwi.
"Iya boleh. Tapi jangan capek-capek ya Dok. Besok kita berangkat ke Mekkah. Menunaikan ibadah Umroh. Sekarang kita bersiap saja. Packing barang-barang yang tidak begitu penting."
"Siap, Pak." sahut mereka serempak.
"Mbak Dokter sudah ke Raudhah, kan?" tanya Pak Muslimin.
"Alhamdulillah. Sangat disayangkan kalau belum ke sana."
"Sudah beberapa kali malahan, Pak. Tiwi bahkan hampir tiap hari," ucap Hana sambil melirik Tiwi yang tertawa menanggapi kata-kata Hana.
"Kebiasaan. Lebay!!"
Mereka semua tertawa di sela-sela kegiatan memilih dan memilah barang-barang yang masuk koper besar untuk segera dikemas.
"Pak, apa saja, ya, yang diperlukan untuk Umroh."
"Kalau perempuan, ya, baju umroh. Bisa gamis atau atasan bawahan, kerudung, kaos kaki, penutup tangan, semua itu jangan dimasukkan koper besar, taruh dibtas tenteng, aja," jelas pak Muslimin.
"Ingat, tangan harus tertutup, hanya telapak tangan yang boleh terlihat."
"Oh, begitu."
"Memangnya kemarin nggak ikut manasik haji, Dok?" tanya beliau.
"Ikut sih, Pak. Tapi nggak fokus
Biasa... Hihihi.""Ih, Dokter ini kasih contoh yang tidak baik. Manasik haji itu penting. Tidak boleh diabaikan. Di sana dijelaskan apa saja yang harus dilakukan saat menunaikan ibadah Umroh dan Haji. Terutama saat nanti pelaksanaan Haji."
"Maaf, Pak. Nanti kita nempel Pak Mus aja, deh." Gurau Hana.
"Lalu, Dokter ditempelin ama kakek nenek sekloter, asyiik."
Tawa Pak Muslimin membuat dua dokter cantik di depannya ikut cengar-cengir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hajj Love Story
RomanceBismillah. Cerita ini fiksi, mohon maaf bila saya menggunakan profesi dokter di sini. Mohon info juga bila ada yang kurang tepat dalam penggunaan kata dalam cerita ini. Setting waktu cerita terjadi di tahun 2008. Real kondisi, tapi cerita romance-n...