Bagi dokter kloter, shalat di masjidil haram tidak bisa dilakukan setiap hari karena banyaknya pekerjaan. Di samping itu, jauhnya lokasi penginapan dari masjid, membuat para tenaga medis harus menyimpan tenaga agar bisa bertugas dengan maksimal.
Tidak hanya menunggu didatangi, kadang para calon jamaah haji itu datang sendiri ke kamar tim medis dengan berbagai keluhan, mulai yang mempunyai keluhan berat atau hanya sekedar mengecek tensi.
Salah satu calon jamaah haji langganan cek tensi ke Tiwi adalah pak Adenan. Beliau adalah lelaki yang sangat humoris dan suka menyanyi. Kebetulan kamarnya satu lantai dengan kamar tim medis.
Seperti pagi itu, beliau datang ke kamar tim medis sambil menyanyi lagu-lagu nostalgia. Beliau bilang, kunci dari sehatnya badan adalah jiwa yang bahagia.
"Assalamualaikum Pak Adenan," sapa Tiwi ceria.
"Waalaikumsalam, Mbak Dokter. Sudah sarapan?" tanya balik lelaki itu.
"Alhamdulillah, sudah Pak. Gimana pagi ini? Terasa lebih segar?"
"Alhamdulillah. Sehat."
"Alhamdulillah." Tiwi mengambil alat tensinya, lalu memasang di lengan Pak Adenan.
"Sudah umroh Sunnah, Pak?" tanya Pak Mus yang kebetulan juga ada di kamar tersebut.
"Sudah sekali, Pak. Cuma ya itu," cerita Pak Adenan semangat.
"Ya itu gimana?"
"Ju-auhnya itu, loh." Logat lucunya mulai keluar, membuat Tiwi menarik bibir mengulas senyum.
"Juu-aauh, to?" goda Pak Mus.
"Loh, ya. Mesti Pak ketu ini belum umroh Sunnah lagi. Lha wong aku kemarin aja sampe seharian, og," jawab Pak Adenan sambil mengerucutkan bibir. Pak Mus memang kadang beliau panggil dengan 'Pak Ketu', kependekan dari ketua kloter. Ada-ada saja.
"Alhamdulillah. Kuat?"
"Alhamdulillah. Kuat, dengan izin Allah."
"Alhamdulillah. Sama siapa aja kemarin?"
"Banyak. Sama Nak dokter Rayan juga. Baik, ya, bocah itu."
"Kok, bocah, to, Pak? Udah dewasa itu," protes Pak Mus.
"Masih dewasa-an aku, sih?" cetus Pak Adenan.
"Loh, kalau Bapak ndak dewasa lagi, tapi tua," sahut Pak Mus yang langsung dijawab tawa oleh Pak Adenan.
"Bener itu, bener. Whahaha."
"Senang, ya, Pak, bisa sampai di sini?" tanya Tiwi seusai memeriksa tensi Pak Adenan.
"Seneng banget, Mbak Dokter. Saya itu bisa ke sini karena dibiayai seseorang. Alhamdulillah. Padahal pekerjaan saya ini apa? Hanya guru ngaji saja."
"Guru ngaji itu bukan 'hanya', Pak," ralat Pak Mus, "Itu pekerjaan termulia. Karena mengajarkan Al Qur'an kitab suci Allah."
"Nggeh. Maksudnya, berapa sih, gaji guru ngaji? Tidak bisa diharapkan jumlahnya. Alhamdulillah, Allah gerakkan hati seorang hamba yang merasa bahagia karena anaknya akhirnya bisa membaca Al Qur'an. Hadiahnya langsung dari Allah."
"MasyaAllah. Tabarakallah, Pak."
"Iya Mbak. Tabarakallah."
"Seneng banget, ya, Pak," ujar Pak Mus ikut berbinar dengan cerita lelaki itu.
"Kemarin, saya ketemu dengan seseorang, Pak." Beliau mulai bercerita. Pak Mus pun mengubah posisi duduknya agar bisa nyaman mendengar cerita Pak Adenan. Sementara Tiwi mulai membereskan alat-alat dan menyiapkan obat-obatan yang akan dibawanya keliling.
"Dia sepulang dari Masjid nangis-nangis di pinggir jalan. Saya tanya, kenapa? Dia jawab, dia baru saja dikabari kalau putrinya sedang berjuang untuk melahirkan cucu pertamanya. Sang putri tidak mau dioperasi, maunya lahir normal tapi kesulitan. Dia sedih membayangkan betapa putrinya menahan sakit tanpa dia di sisinya."
"Lalu?"
"Terus saya bilang, shodaqoh Pak, lalu doa, minta sama Allah supaya proses lahiran putrinya dilancarkan. Mumpung di tanah suci, loh, Pak. InsyaAllah semua doa diijabah. Apalagi dibarengi dengan shodaqoh."
"Terus terus," desak Pak Mus mulai antusias.
"Dia menatap saya lama, Pak. Terus tiba-tiba dia berdiri, lalu mendekati seseorang. Lalu dia bilang pada orang itu, 'Ini aku sodaqoh untuk kelancaran proses lahiran putriku. Ya Allah mudahkan, lancarkan, dan selamatkan putri dan cucuku.'"
"Loh, ndilalah, sejam kemudian dia dikabari, katanya cucunya sudah lahir. Dia langsung sujud syukur saat itu juga."
"Alhamdulillah." Semua yang mendengar cerita itu sontak mengucap syukur.
"Memang, kalau Allah sudah berkehendak, kita bisa apa?" ucap Pak Mus.
"Iya betul," jawab pak Adenan.
"Di situlah kekuatan doa. Apalagi diucapkan dengan sepenuh hati, di tanah suci lagi. Bahkan doa pun bisa mengubah takdir. Jadi jangan pernah lelah untuk berdoa." Pak Mus mulai berceramah.
"Nggeh Pak, insyaAllah."
Pak Adenan kembali menceritakan kisah-kisahnya yang lain. Hana dan Tiwi berpamitan hendak melaksanakan tugas rutin, berkeliling penginapan untuk membantu para calon jamaah haji yang butuh perawatan medis.
🌺🌺🌺
"Han," panggil Tiwi saat mereka berjalan berdampingan menuju salah satu penginapan yang dihuni kloter 21.
Satu kloter kurang lebih ada 450 calon jamaah haji. Mereka dibagi dalam empat penginapan yang jaraknya tidak berdekatan. Dari satu penginapan ke penginapan lain dibutuhkan waktu kurang lebih 10-15 menit jalan kaki. Lumayan jauh juga.
"Heem," jawab Hana tanpa menoleh pada Tiwi. Pandangannya lurus ke depan.
"Kalau ada waktu luang, kamu ada rencana umrah sunnah, nggak?" tanya Tiwi pelan.
Hana menghela napas panjang, "Coba kasih tahu aku, kapan kita ada waktu luang?" tanya Hana sambil menampilkan senyum manisnya.
"Hehehe. Iya juga, sih. Tapi, kan, kita ga tahu, rencana Allah nanti gimana?"
"Ya, kalau gitu, ga usah direncanakan. Asal jalan aja. Kalau tiba-tiba Allah kasih kesempatan, ya, jalani," jawab Hana santai.
"Yup. Usaha kita hanya satu. Doa."
"Betul. Optimis saja. Ibadah itu bukan hanya ritual semisal shalat, zakat, umroh, dan sebagainya. Kita melakukan tugas dengan baik, melayani dan membantu mereka agar bisa maksimal beribadah, itu juga ibadah, kan?"
"Eh, iya. Tumben pinter?"
"Eh, salah. Kamu yang tumben agak lemot. Apa sudah mulai teracuni kisah-kisah asmara?"
"Ha? Ngomong apaan, sih?" tanya Tiwi sedikit ngos-ngosan karena jalanan yang mereka lalui sedikit menanjak.
"Idih. Macam awak tak tahu rona wajah kau ketika berpapas muka dengan Rayan," goda Hana.
"Ha?!"
"Hahahaha." Hana tertawa melihat wajah Tiwi yang nampak kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hajj Love Story
RomanceBismillah. Cerita ini fiksi, mohon maaf bila saya menggunakan profesi dokter di sini. Mohon info juga bila ada yang kurang tepat dalam penggunaan kata dalam cerita ini. Setting waktu cerita terjadi di tahun 2008. Real kondisi, tapi cerita romance-n...